Lone Ranger, Berani Untuk Sendirian
Sejak
kemarin, aku teringat suatu momentum dimana saya dan sahabatku, Chrystine Tampubolon, duduk berdua di sofa Dunkin Donuts lantai dua di Depok Town Square
Mall. Itu sore yang teduh, dengan sinar matahari yang kuning terang menembus
dinding kaca tembus pandangnya. Langit biru membentang, bisa terlihat dari
tempat kami duduk. Di depan kami, di atas meja, gadget-gadget tergeletak. Netbook,
tablet, note, smartphone, headset. Ditemani botol air mineral dan donut seperti
kesukaan kami. Sore itu kami menikmati waktu santai kami setelah lulus. Ber-wifi-ria.
Ber-gadget-ria. Lalu sejenak kami mengacuhkan kesemua gadget dan wifi itu. Kami
bertukar cerita.
Photo by Kelly Sikkema on Unsplash |
Ceritanya
mengenai lone ranger. Sebut saja
begitu. Aku tak ingin menjelaskannya secara detail di halaman ini, aku hanya
ingin mengingatnya. Pertanyaan yang mengambang di udara. Mengenai apakah ada
dari manusia yang ditakdirkan menjadi lone
ranger. Karena tak satupun manusia bisa diharapkan atau diandalkan. Manusia
dituntut dan dipaksa oleh keadaan menjadi lone
ranger. Yang harus bisa bertahan sebagaimanapun sulit kondisinya, ketika berjuang
sendirian. Tak berkawan. Salah. Tak benar-benar berkawan. Itulah lone ranger. Yang saya ingat. Yang coba
saya terjemahkan.
Waktu
itu, ketika obrolan heart-to-heart dengan
Chrystine, aku berdiri di posisi tak percaya kalau ada manusia yang ditakdirkan
sebagai lone ranger. Sahabatku ini
berpendapat sebaliknya. Tapi sekarang, aku berpikir aku ingin pindah kubu. Ke kubu
sahabatku.
Aku
jadi ingat pembicaraanku dan teman-teman sevisi yang lain di sebuah grup
whatsapp. Tentang in-group dan out-group. Secara ringkas, maksudnya,
selalu ada pembeda-bedaan. Antara siapa yang ada “di luar” kita dan yang ada “di
dalam” kita. Siapa yang bisa dianggap “termasuk ke dalam” atau malah “masih di
luar” (kelompok). Kelompok ini juga tak harus menunjuk kelompok formal dengan
nama resmi. Bahkan sesepele peer group, atau
kelompok teman-teman main meski tak bernama.
Yang
menjadi masalah adalah ketika kita merasa kita “in-group” tapi ternyata kita sebenarnya
“out-group”. Ketika orang-orang sekelompok itu tak memberikan pengakuan kalau
kita adalah bagian daripada mereka. Atau
mungkin pernah ada pengakuan tetapi pada kenyataannya, kita tak benar-benar
dilibatkan. Seperti kasat mata. Jika ingat diajak. Jika tidak ingat? Ya kok
bisa tidak ingat? Berarti kan kita tak berasa penting bagi mereka? Begitu kan
artinya? Masa lupa terus-menerus sih.
Nah,
yang dieksklusikan secara sengaja-tidak-sengaja dan secara
langsung-tidak-langsung inilah dia! Lone
ranger, yang saya defenisi disini. Tapi bukan dalam konteks sedih. Sebaliknya,
saya mendefenisikan lone ranger sebagai
ranger. Orang super. Orang kuat. Yang
berani untuk sendirian. Yang berani untuk tak berkawan. Yang bertahan.
Memang
katanya manusia adalah homo socius, atau
makluk sosial. Dan sepertinya pembahasanku tentang lone ranger ini membantah dan mendebat fakta itu. Sebenarnya tidak.
Lone ranger bukannya tidak
bersosialisasi. Bukannya tidak berinteraksi sosial dengan orang lain. Bukannya tidak
bergantung pada orang lain. Lone ranger hanya
kehilangan relasi-relasi yang dalam, yang kuat mengakar. Karena banyak relasi
adalah palsu.
No comments: