Joyeux Anniversaire (& Keadilan Sosial)
Ada
satu ucapan selamat di hari pertambahan usia saya menjadi genap 23 tahun di 18
Juli 2014 kemarin yang sangat berkesan untuk saya. Pertama, saya tidak mengira
juga teman saya ini akan memberikan ucapan, melalui twitter. Kami memang tidak
terlalu dekat, dulu hanya satu komunitas di maker—tapi bagaimanapun dia tetap
teman sevisi saya, sudah saya anggap seperti saudara bahkan. Namanya Gery. Dan dia
adalah mahasiswa Sastra Perancis di Universitas Indonesia, yang menganut paham
sosialis. Seperti saya juga. Tapi tentu saja, bukan sosialis murni seperti yang
dipopulerkan Karl Marx. Paham sosialisme yang kami anut ini sudah dimodifikasi.
Karena tak semua pandangan dan nilai dari Marx, kami rasa baik.
Berikut
ucapan selamat dari Gery di twitter saya.
Ya, sebulanan ini memang beberapa kali saya dan Gery berdiskusi soal sosialisme dan pemikiran-pemikiran sosial out-of-box di media sosial bernama twitter ini. Jadi, mungkin Gery teringat kesitu dan ucapan selamatnya jadi berbentuk seperti ini :) Tapi ucapan selamat ini justru sangat unik di mata saya, dan sangat memberkati saya. Menjadi salah satu hal unik yang datang dari saudara dan teman-teman saya, yang membuat hari ulang tahun saya menjadi lebih istimewa.
Dua
tweet dari Gery membuat saya banyak merenung dan berpikir lagi soal sosialisme
dan kesejahteraan sosial. Seperti pikiran-pikiran dilematis sebelumnya. Tentang,
apakah kondisi dimana tidak ada orang
miskin sama sekali di muka bumi ini adalah kondisi paling ideal yang adalah
baik untuk kita capai? Tapi jika kemiskinan terkait dengan pekerjaan
tertentu, seperti petugas sampah—jika kemiskinan dilenyapkan, orang kaya mana
yang mau jadi petugas sampah? Padahal, petugas sampah memaikan peran yang
sangat signifikan dalam kehidupan sosial-ekonomi masyarakat. Jika mengingat
Durkheim, maka struktur sosial memang mengandung kenyataan seperti itu. Dimana memang harus ada orang kaya dan orang miskin,
yang mengisi sistem dan kelas-kelas sosial, menyandang status dan memainkan
perannya masing-masing yang sama-sama signifikan untuk menjaga ritme
keteraturan sosial masyarakat. Bagi Durkheim, asalkan kelas sosial itu terbuka,
sehingga siapapun yang awalnya berada di posisi bawah bisa mendapat akses untuk
berpindah ke atas, kenyataan ini bukanlah masalah. Masalahnya, siapa yang
bilang kelas sosial ini terbuka?
Saya
suka pemikiran Gery yang mencerahkan dan mengingatkan saya kalau kita tidak
bisa menghapus kemiskinan. Yang kita bisa lakukan adalah memperjuangkan
kesejahteraan kaum miskin agar dalam kondisi kemiskinannya pun, dia bisa hidup
dengan sejahtera dan merasakan keadilan
secara sosial. Jadi bukan hanya yang kaya yang bisa hidup sejahtera, tetapi
yang miskin juga. Karena, memang sepertinya tidak mungkin meniadakan orang
miskin. Bahkan di negara semaju United States of America. Dan lagipula,
kemiskinan itu ukurannya relatif kan? Miskin di USA belum tentu miskin di
Indonesia. Kompleks.
Karena
itu, Gery benar. Dibandingkan mengurusi masalah untuk meniadakan kemiskinan yang terlalu
kompleks untuk diselesaikan tuntas, adalah
lebih baik untuk memikirkan masalah keadilan sosial untuk kesejahteraan semua.
Dan keadilan sosial sejenis ini adalah mungkin, ketika kita memperjuangkannya dalam kasih Tuhan. Ketika kita memegang erat dan mengaplikasikan dengan sungguh prinsip mendasar mengenai kasihilah sesamamu seperti kamu mengasihi diri sendiri.
No comments: