Merayakan Keunikanmu & Keunikan Orang Lain
Photo by Ronaldo Oliveira on Unsplash |
“Salah satu perjuangan kita adalah
untuk mengakui bahwa tidak semua orang menyukai kita.”
—dr.
Nurlan Silitonga, Angsamerah Foundation
Ya, ini salah satu
kutipan favorit saya dari dr. Nurlan Silitonga dalam salah satu sesi panel
diskusi di Feminist Festival 2017 Indonesia yang membahas mengenai pentingnya
kesehatan mental bagi para perempuan. Kutipan dr. Nurlan Silitonga ini benar.
Memang salah satu perjuangan kita dalam hidup adalah untuk mengakui bahwa tidak
semua orang menyukai kita. Salah satu perjuangan saya dalam hidup adalah untuk
mengakui bahwa tidak semua orang menyukai saya. Dan tidak disukai oleh semua orang itu bukanlah masalah.
Namun, saya harus
mengakui bahwa mengaminkan ini adalah sebuah perjuangan. Tidak mudah. Mungkin tidak bagi sebagian orang, tapi
setidaknya saya harus mengakui bahwa ini tidak mudah bagi saya. Bukan berarti
seperti saya, kita, juga sangat desperate
untuk disukai semua orang dan menuntut bahwa semua orang harus menyukai
saya, kita. Tidak juga. Namun, ada bagian-bagian kenyataan hidup dimana
orang-orang tertentu, yang mungkin telah berelasi dengan kita, ternyata pergi
atau berhenti berelasi dengan kita, atau menunjukkan sebuah tanda ketidaksukaan
terhadap bagian kedirian kita : di saat itulah, proses penerimaan kenyataan
bahwa tidak semua orang menyukai kita adalah sebuah perjuangan. Kita pikir, kita cocok. Kita pikir, kita baik-baik saja. Kita pikir, mereka menyukai kita. Dan ternyata kita salah.
Sebaliknya pun,
saya merenung, saya juga melakukan hal yang sama pada orang-orang yang ternyata
saya pikir dan saya rasa kurang cocok
dengan karakter dan sifat kedirian saya. Jadi, pada saat yang sama, saya
belajar memahami orang-orang yang merasa tidak cocok terhadap saya tadi. Memang
tidak semua orang harus cocok dengan semua orang. Memang kita harus belajar
menerima dan mengakui bahwa tidak semua orang menyukai kita. Karena kita
manusia, yang masing-masing diciptakan unik dan berbeda. Kita tak seragam, tapi
beragam. Perbedaan memang kadang berat untuk kita hadapi sebagai manusia yang
hidup dan bersosialisasi.
Suatu kali, saya
pernah mendapat komentar dari salah satu rekan kerja, yang menyampaikan
pendapat rekan kerja yang lain mengenai saya. Katanya, saya terlalu diam. Saya
kurang banyak bicara, ngobrol, bersosialisasi. Saya hanya tersenyum. Saya tahu
ini benar dan juga sekaligus tidak benar. Benar, karena ya memang sebagai seorang
introvert, saya mungkin termasuk kelompok “the
silent ones” dan tidak terlalu banyak bicara di muka umum. Tidak benar,
karena sebenarnya perilaku ini sangat tergantung pada situasi. Saya juga bisa
jadi terlalu banyak bicara, jika
sudah berada bersama sahabat-sahabat inner
circle saya atau dengan yang saya anggap dekat, misalnya. Namun, harus
diakui, mostly saya memilih untuk
diam dan banyak mendengarkan, jika atmosfer sosialnya bukan dalam inner circle saya. Dan, ada kalanya pun,
di inner circle sendiri, saya memilih
untuk diam daripada ribut bicara itu-ini. Ya, itu tadi, itu bagian dari personality saya sebagai seorang introvert.
Introvert will get tired of social
interactions, karena sumber energi para introvert berasal dari alone time dan ruang sendiriannya – keterbalikan dari para extrovert yang
justru mendapatkan energinya dengan bersosialisasi dan berinteraksi dengan
orang lain.
Saya menerima
masukan rekan kerja saya itu, tapi saya kira memang tidak ada yang perlu diubah
banyak. Mungkin kuncinya hanyalah pada perihal saling menerima, menghargai, dan
merayakan keunikan orang lain tanpa saling menghakimi. Toh saya juga tidak pernah
berkomentar soal teman-teman saya yang sangat berenergi untuk bersosialisasi
kesana dan kemari, berharap dan menuntut mereka untuk lebih banyak diam dan
duduk tenang. Kira-kira seperti itu.
Salahnya memang,
dalam keberagaman keunikan, kita saling berekspektasi yang tidak rasional dan
menuntut sana-sini. Kita tidak mencoba saling mengerti dan memahami. Misalnya,
jika seorang introvert dituntut untuk go
socialize terlalu banyak, she/he will
get tired and exhausted. Bisa berpengaruh, tentu, pada kesehatan mental.
Sama saja, seorang extrovert dituntut untuk duduk diam dalam waktu sangat lama
tanpa interaksi sosial, she/he will get
tired and drained. Kesehatan mental, kembali menjadi taruhannya. Toh
bukannya saya, sebagai introvert, benar-benar tidak bersosialisasi. Saya
bersosialisasi, sewajarnya, sesuai batas kemampuan saya. Toh bukannya teman
saya misalnya, sebagai seorang extrovert, tidak bisa dan tidak mengambil waktu
duduk diam dan tenang di saat-saat tertentu, bebas dari interaksi sosial.
Photo by Bart LaRue on Unsplash |
Belakangan ini,
saya terbantu banyak untuk mengenali dan menerima diri saya, dengan bantuan
sumber bacaan berkualitas mengenai personalities
di list pencarian google. Salah
satunya adalah www.introvertdear.com (sumber
yang lain seperti hypersensitive.net dan hsperson.com), yang membantu saya menyadari bahwa saya adalah pribadi yang unik
dan tidak ada yang salah dengan saya meski saya berbeda. Ya, dari tes-tes yang
bisa dipertanggungjawabkan keilmiahannya secara psikilogis itu, saya menemukan
bahwa ternyata saya masuk ke kelompok personality INFJ
(Introvert-Intuitive-Feeling-Judging) dari 16 personalities MBTI, ditambah
dengan trait Highly Sensitive Person (HSP).
Ini bukan paduan personality yang
mudah saya hadapi dan jalani.
INFJ sendiri
merupakan kelompok personality paling langka dari 16 personalities MBTI dan HSP
pun dimiliki hanya oleh 15-20% orang dari populasi manusia. Tidak heran bahwa
saya merasa sangat berbeda dengan sekeliling (atau dianggap berbeda oleh
sekeliling), kadang dalam persepsi yang sangat negatif sampai saya menyalahkan
diri sendiri. Padahal, there is nothing
wrong with me. All of it is my uniqueness. I must embrace it with grateful
heart, and not reject it as shameful weakness. Nyatanya, setelah
mengulak-ulik website Introvert, Dear, saya menemukan bahwa keunikan saya
adalah kekuatan saya. Meskipun sama dengan personalities
lainnya, personality saya pun
memiliki kelemahan dan kekurangannya sendiri – saya tidak boleh fokus pada kelemahan
atau kekurangan. Saya harus dapat mengelola personality
saya agar lebih menjadi kekuatan daripada kelemahan. Supaya tidak merugikan
diri saya sendiri ataupun merugikan orang lain. Salah satu kekuatan itu
misalnya, adalah kemampuan untuk berempati yang sangat tinggi dari kelompok
INFJ & HSP.
Kembali soal
belajar menerima fakta bahwa tidak semua orang menyukai kita – saya kira ini
terkait erat dengan dua alasan. Alasan pertama, karena kita ingin go well with everyone. Kita ingin
mengejar kedamaian. Namun, nyatanya, kedamaian tidak dapat diusahakan oleh satu
orang tunggal saja. Kedamaian butuh usaha bersama. Usaha bersama, untuk
menerima dan merayakan keberagaman. Saya pikir juga, kedamaian dan penerimaan
atas keunikan orang lain bukan berarti kita harus memaksakan diri cocok dengan
semua orang. It is okay if we can’t go
well with somebody. Asal kita menyikapinya dengan baik, dengan positif,
dengan perspektif yang dewasa. Kita tahu karakter kita berseberangan dan kita
menjaga jarak tanpa bermusuhan, menjaga jarak agar tidak memicu konflik yang
mungkin rentan terjadi. Jikapun konflik terjadi, kita dewasa untuk
menyelesaikannya kembali dan saling memahami kondisi dan karakter satu sama
lain. Ini tidak berarti sama dengan menolak keberagaman dan menolak perdamaian.
Kita hanya menyiasatinya dan menyikapinya dengan sebaik-baiknya.
Alasan kedua,
karena sebenarnya kita terlalu fokus terhadap diri sendiri. Ya, kita egois.
Kita ingin semua orang menyukai kita karena kita butuh pengakuan dan butuh
penerimaan secara sosial. Ada hal yang belum dibereskan dan diselesaikan di
masa lalu kita. Semacam menjadi gejala narsistik. Untuk mengatasinya, tentu
berarti bukan orang lain yang harus berubah, tetapi kita dulu.
Sangat penting
untuk belajar menerima keunikan diri sendiri. Sangat penting pula untuk belajar
menerima keunikan orang lain. Dengan menerima keunikan diri sendiri, artinya
kita telah mengenali diri kita dan mencintai diri kita apa adanya. Dengan menerima
keunikan orang lain, artinya kita telah mencoba berempati dan mengasihi yang
lain seperti kita mengasihi diri kita sendiri. Bukankah ini kunci penting untuk
perdamaian sosial, perdamaian dunia?
“Penerimaan akan keunikan orang lain sama pentingnya
dengan penerimaan akan keunikan diri sendiri. Beragam lebih indah dari
seragam.”
— Perenungan Personal, September 2017
Di akhir tulisan
ini, harapan saya, semoga kita bisa terus belajar menerima keunikan satu sama
lain dan belajar untuk merayakan keberagaman dalam penghargaan dan
penghormatan. Beragam lebih indah dari
seragam.
No comments: