Yang Paling Saya Ingat dari Buku “A Subtle Art Of Not Giving A F*ck”

February 25, 2019

Kamu sudah baca buku A Subtle Art of Not Giving A F*ck—atau, dalam terjemahan bahasa Indonesianya berjudul Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat, karya Mark Manson? Terbit setahun yang lalu di Indonesia dari Penerbit Grasindo (2018), buku dengan judul yang menggugah rasa kepo para pembaca ini adalah buku terlaris versi New York Times dan Globe and Mail lho. Harus diakui, buku karya Mark Manson ini memang sebuah buku yang menarik untuk dibaca.

Photo by Annie Spratt on Unsplash

Sebenarnya tentang apa buku A Subtle Art of Not Giving A F*ck ini? Secara ringkas, buku ini merupakan sejenis buku pengembangan diri (self-improvement book), yang menolong kita untuk belajar lebih sedikit peduli dan lebih banyak bersikap bodo amat. Melalui buku ini, Mark Manson membantu kita memahami bahwa tidak semua hal harus kita perhatikan dan pedulikan—karena ada terlalu banyak hal di muka bumi ini. Memberi perhatian dan peduli pada semuanya akan membuat kita masuk ke dalam lingkaran setan yang jelas berbahaya untuk kesehatan jiwa dan emosional kita.

Sebagai catatan, bersikap masa bodoh yang dimaksudkan Mark Manson dalam buku ini memiliki beberapa seni. Seni #1 masa bodoh bukan berarti menjadi acuh tak acuh; masa bodoh berarti menjadi nyaman saat menjadi berbeda. Seni #2 untuk bisa mengatakan “bodo amat” pada kesulitan, pertama-tama kita harus peduli terhadap sesuatu yang jauh lebih penting dari kesulitan. Seni #3 entah kita sadari atau tidak, kita sellau memilih suatu hal untuk diperhatikan. Lebih lanjut, kamu bisa menyimak langsung dalam bab pertama buku ini.

Bagi saya sendiri, membaca buku ini memberi beberapa pencerahan atau validasi-konfirmasi yang banyak membuat saya mengangguk-anggukkan kepala. Saya suka bagaimana Mark Manson bersikap jujur terhadap realita, tidak menawarkan positivisme-setiap-saat dan justru menantangnya dengan mengajak pembaca berpikir mengenai momen-momen hidup apa adanya. Memang pemikiran Mark Manson tentang penderitaan atau hidup yang biasa saja ini terasa pahit awalnya, tapi sangat membantu untuk kita membenahi persepsi, yang akhirnya melegakan hati.

Berikut beberapa kutipan langsung dari buku ini, yang paling saya ingat dan menarik untuk di-highlight. Saya mengutip dari buku Mark Manson versi terjemahan bahasa Indonesia (Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat), cetakan ke-II (Maret 2018).

1. Karena kebahagiaan membutuhkan perjuangan. Kebahagiaan tumbuh dari masalah. Kegembiraan tidak keluar dari tanah seperti bunga aster dan pelangi. Kepenuhan dan makna hidup yang nyata, serius, berumur panjang harus diraih dengan cara memilih dan mengelola medan juang kita sendiri. Entah Anda menderita karena rasa cemas dan kesepian atau gangguan kompulsif obsesif atau akibat seorang bos brengsek yang menghancurkan separuh jam kerja Anda setiap hari, solusinya terletak pada penerimaan dan keterlibatan aktif atas pengalaman negatif tersebut—bukan dengan menghindarinya, bukan pula dengan adanya penyelamat yang datang. (Mark Manson dalam A Subtle Art of Not Giving A F*ck, halaman 43)

2. Meyakinkan diri sebagai makhluk yang spesial, merupakan sebuah strategi yang gagal. Ini hanya membuat Anda “tinggi”/nge-fly. Tapi, itu bukan kebahagiaan. Pengukuran yang benar tentang penghargaan diri seseorang bukan pada bagaimana seseorang merasakan pengalaman positifnya, namun lebih pada bagaimana dia merasakan pengalaman negatifnya. (Mark Manson dalam A Subtle Art of Not Giving A F*ck, halaman 55)

3. Tiket untuk meraih kesehatan emosional, sama halnya dengan kesehatan fisik, datang dari sayur-sayuran yang Anda makan—yaitu, menerima kebenaran hidup yang hambar dan biasa: kebenaran seperti “Tindakan Anda sebenarnya tidak berarti banyak dalam keseluruhan perjalanan sejarah” dan “Sebagian besar hidup Anda akan berjalan membosankan dan tidak berharga, dan itu wajar.” Resep sayuran ini akan terasa pahit awalnya. Sangat tidak enak. Anda akan berusaha menghindarinya. Namun sekali tercerna, tubuh Anda akan terbangun dengan perasaan lebih kokoh dan lebih hidup. (Mark Manson dalam A Subtle Art of Not Giving A F*ck, halaman 72)

4. Jika penderitaan tidak bisa ditolak, jika permasalahan dalam kehidupan kita tidak dapat dihindari, pertanyaan yang harus kita ajukan bukan “Bagaimana saya menghentikan penderitaan?” tapi “Mengapa saya menderita—demi tujuan apa?” (Mark Manson dalam A Subtle Art of Not Giving A F*ck, halaman 81)

5. Pertanyaannya bukan apakah kita mengevaluasi diri kita berdasarkan pencapaian orang lain; namun, pertanyaannya adalah dengan standar apa kita mengukur diri kita sendiri? (Mark Manson dalam A Subtle Art of Not Giving A F*ck, halaman 91)

6. Meskipun ada sebuah ungkapan “apapun yang terjadi, tetaplah optimis,” sejatinya, kadang hidup menyebalkan, dan hal paling sehat untuk dilakukan adalah mengakuinya. Pengingkaran terhadap emosi negatif menuntun kita untuk mengalami emosi negatif yang lebih dalam dan berkepanjangan, serta disfungsi emosional. Terus-menerus bersikap positif justru merupakan salah satu bentuk pengelakan terhadap masalah, dan bukan cara yang tepat untuk menyelesaikannya—masalah-masalah yang boleh jadi justru menguatkan dan memotivasi Anda, seandainya Anda bisa memilih nilai dan ukuran yang benar. (Mark Manson dalam A Subtle Art of Not Giving A F*ck, halaman 99)

7. Inilah mengapa nilai-nilai—kenikmatan, kesuksesan material, selalu benar, tetap positif—merupakan idealisme yang buruk bagi kehidupan seseorang, karena sebagian momen-momen besar manusia tidak menyenangkan, tidak sukses, tidak dikenal, dan tidak positif. (Mark Manson dalam A Subtle Art of Not Giving A F*ck, halaman 101)

8. Kita membutuhkan semacam krisis eksistensial yang memaksa kita untuk melihat secara objektif bagaimana kita telah mendapatkan makna dalam hidup kita, lalu mempertimbangkan untuk merubah arah. (Mark Manson dalam A Subtle Art of Not Giving A F*ck, halaman 179)

9. Jika kita mengikuti prinsip “lakukan sesuatu”, kegagalan terasa tidak penting. Ketika standar kesuksesan hanya “melakukan sesuatu”—ketika setiap hasil dianggap sebagai sebuah kemajuan dan penting, inspirasi dilihat sebagai sebuah imbalan ketimbang suatu prasyarat—kita mendorong diri kita lebih maju. Kita merasa bebas untuk gagal, dan kegagalan itulah yang menggerakkan kita ke depan. (Mark Manson dalam A Subtle Art of Not Giving A F*ck, halaman 188)

10. Setiap orang menikmati apa yang mengenakkan. Setiap orang ingin hidup dengan riang gembira, senang dan mudah, jatuh cinta dan merasakan seks dan hubungan yang luar biasa, terlihat sempurna dan berduit, populer, dihormati dan dikagumi, dan jadi jagoan di lantai dansa, yang membuat kerumuman orang akan terbelah seperti Laut Merah ketika Anda berjalan santai memasuki ruangan. Setiap orang menginginkannya. Mudah untuk menginginkannya. Sebuah pertanyaan yang lebih menarik, sebuah pertanyaan yang tidak pernah disadari sebagian besar orang, adalah, “Rasa sakit apa yang Anda inginkan dalam hidup Anda? Apa yang membuat Anda rela berjuang?” Karena itu tampak seperti faktor yang sangat menentukan menjadi apa hidup kita nantinya. (Mark Manson dalam A Subtle Art of Not Giving A F*ck, halaman 42)

________________________

Buku ini saya beri bintang empat dari lima di Goodreads. Jujur, memang ada bagian-bagian yang sepertinya kontradiktif (atau mungkin saya yang sulit atau keliru memahaminya? Haha). Tapi, saya tetap menyukai ide-ide pikiran Mark Manson yang ia tuangkan dalam buku ini—sebagaimana sebagian saya kutip dalam tulisan ini. Secara esensi, saya setuju dengan Mark Manson. Kita perlu bersikap masa bodoh (not giving a f*ck) terhadap hal-hal yang tidak penting—kita perlu memilih medan juang kita.

Jika kamu tertarik membaca buku ini, kamu masih bisa dengan mudah mendapatkannya di Gramedia atau di toko-toko buku lainnya, apalagi dengan covernya yang berwarna oranye terang menyala. Tapi, jangan beli buku palsu (non-original) di online shop ya. Saya tahu bahwa harga buku ini, apalagi versi berbahasa Inggris (imported), bisa mencapai ratusan ribu. Kamu bisa mengakalinya dengan beli terjemahan bahasa Indonesianya yang jauh lebih murah (hanya sekitar 60 ribu), seperti saya. Kita hargai kerja keras penulisnya yuk.

Ngomong-ngomong buku ini adalah buku kedua yang sudah saya selesaikan dari target sepuluh buku yang berniat saya baca di tahun ini. Tulisan ini seperti sebuah review sederhana, untuk mengkristalisasi pesan yang saya dapat dan kesan saya ketika membaca buku ini, sebagaimana yang pernah saya tuliskan sebelumnya di blogpost berjudul “Membaca Buku Dengan Cara Berbeda”. Semoga bermanfaat bagi yang telah singgah membaca ;)

No comments:

Powered by Blogger.