Yang Paling Saya Ingat dari Buku “A Subtle Art Of Not Giving A F*ck”
Kamu sudah baca buku A Subtle Art of Not Giving A F*ck—atau,
dalam terjemahan bahasa Indonesianya berjudul Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat, karya Mark Manson? Terbit
setahun yang lalu di Indonesia dari Penerbit Grasindo (2018), buku dengan judul
yang menggugah rasa kepo para pembaca ini adalah buku terlaris versi New York
Times dan Globe and Mail lho. Harus
diakui, buku karya Mark Manson ini memang sebuah buku yang menarik untuk
dibaca.
Photo by Annie Spratt on Unsplash |
Sebenarnya tentang apa
buku A Subtle Art of Not Giving A F*ck ini?
Secara ringkas, buku ini merupakan sejenis buku pengembangan diri (self-improvement book), yang menolong
kita untuk belajar lebih sedikit peduli dan
lebih banyak bersikap bodo amat. Melalui
buku ini, Mark Manson membantu kita memahami bahwa tidak semua hal harus kita perhatikan dan pedulikan—karena ada terlalu banyak hal di muka bumi ini. Memberi
perhatian dan peduli pada semuanya akan
membuat kita masuk ke dalam lingkaran setan yang jelas berbahaya untuk kesehatan
jiwa dan emosional kita.
Sebagai catatan, bersikap
masa bodoh yang dimaksudkan Mark Manson dalam buku ini memiliki beberapa seni.
Seni #1 masa bodoh bukan berarti menjadi acuh tak acuh; masa bodoh berarti
menjadi nyaman saat menjadi berbeda. Seni #2 untuk bisa mengatakan “bodo amat”
pada kesulitan, pertama-tama kita harus peduli terhadap sesuatu yang jauh lebih
penting dari kesulitan. Seni #3 entah kita sadari atau tidak, kita sellau
memilih suatu hal untuk diperhatikan. Lebih lanjut, kamu bisa menyimak langsung
dalam bab pertama buku ini.
Bagi saya sendiri,
membaca buku ini memberi beberapa pencerahan atau validasi-konfirmasi yang
banyak membuat saya mengangguk-anggukkan kepala. Saya suka bagaimana Mark
Manson bersikap jujur terhadap realita, tidak menawarkan positivisme-setiap-saat
dan justru menantangnya dengan mengajak pembaca berpikir mengenai momen-momen
hidup apa adanya. Memang pemikiran Mark Manson tentang penderitaan atau hidup
yang biasa saja ini terasa pahit awalnya, tapi sangat membantu untuk kita membenahi persepsi, yang akhirnya melegakan hati.
Berikut beberapa kutipan
langsung dari buku ini, yang paling saya ingat dan menarik untuk di-highlight. Saya mengutip dari buku Mark Manson versi terjemahan bahasa Indonesia (Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat), cetakan ke-II (Maret 2018).
1. Karena kebahagiaan
membutuhkan perjuangan. Kebahagiaan tumbuh dari masalah. Kegembiraan
tidak keluar dari tanah seperti bunga aster dan pelangi. Kepenuhan dan makna hidup yang nyata, serius, berumur
panjang harus diraih dengan cara memilih dan mengelola medan juang kita
sendiri. Entah Anda menderita karena rasa cemas dan kesepian atau
gangguan kompulsif obsesif atau akibat seorang bos brengsek yang menghancurkan
separuh jam kerja Anda setiap hari, solusinya
terletak pada penerimaan dan keterlibatan aktif atas pengalaman negatif
tersebut—bukan dengan menghindarinya, bukan pula dengan adanya penyelamat
yang datang. (Mark Manson dalam A Subtle Art of Not Giving A F*ck, halaman
43)
2. Meyakinkan diri sebagai makhluk yang spesial,
merupakan sebuah strategi yang gagal. Ini hanya membuat Anda “tinggi”/nge-fly. Tapi, itu bukan kebahagiaan. Pengukuran yang benar tentang penghargaan diri seseorang
bukan pada bagaimana seseorang merasakan pengalaman positifnya, namun lebih pada bagaimana dia merasakan pengalaman negatifnya. (Mark Manson dalam A
Subtle Art of Not Giving A F*ck, halaman 55)
3. Tiket untuk meraih kesehatan emosional, sama halnya
dengan kesehatan fisik, datang dari sayur-sayuran yang Anda makan—yaitu, menerima kebenaran hidup yang hambar dan biasa: kebenaran
seperti “Tindakan Anda sebenarnya tidak berarti banyak dalam keseluruhan perjalanan sejarah” dan “Sebagian besar
hidup Anda akan berjalan membosankan dan tidak berharga, dan itu wajar.” Resep
sayuran ini akan terasa pahit awalnya. Sangat tidak enak. Anda akan berusaha
menghindarinya. Namun sekali tercerna, tubuh Anda akan terbangun dengan
perasaan lebih kokoh dan lebih hidup. (Mark
Manson dalam A Subtle Art of Not Giving A
F*ck, halaman 72)
4. Jika penderitaan tidak bisa ditolak, jika
permasalahan dalam kehidupan kita tidak dapat dihindari, pertanyaan yang harus
kita ajukan bukan “Bagaimana saya menghentikan
penderitaan?” tapi “Mengapa saya menderita—demi tujuan apa?” (Mark Manson dalam A
Subtle Art of Not Giving A F*ck, halaman 81)
5. Pertanyaannya bukan apakah kita mengevaluasi diri kita berdasarkan pencapaian orang
lain; namun, pertanyaannya adalah dengan standar apa kita
mengukur diri kita sendiri? (Mark
Manson dalam A Subtle Art of Not Giving A
F*ck, halaman 91)
6. Meskipun ada sebuah
ungkapan “apapun yang terjadi, tetaplah optimis,” sejatinya, kadang hidup
menyebalkan, dan hal paling sehat untuk dilakukan adalah mengakuinya. Pengingkaran terhadap emosi negatif menuntun kita
untuk mengalami emosi negatif yang lebih dalam dan berkepanjangan, serta
disfungsi emosional. Terus-menerus bersikap positif justru merupakan salah satu
bentuk pengelakan terhadap masalah, dan bukan cara yang tepat untuk
menyelesaikannya—masalah-masalah yang boleh jadi justru menguatkan dan
memotivasi Anda, seandainya Anda bisa memilih nilai dan ukuran yang benar. (Mark Manson dalam A
Subtle Art of Not Giving A F*ck, halaman 99)
7. Inilah mengapa nilai-nilai—kenikmatan, kesuksesan
material, selalu benar, tetap positif—merupakan idealisme yang buruk bagi
kehidupan seseorang, karena sebagian momen-momen
besar manusia tidak menyenangkan, tidak sukses, tidak dikenal, dan tidak positif.
(Mark Manson dalam A Subtle Art of Not Giving A F*ck, halaman
101)
8. Kita membutuhkan semacam krisis eksistensial
yang memaksa kita untuk melihat secara objektif bagaimana kita telah
mendapatkan makna dalam hidup kita, lalu mempertimbangkan untuk merubah arah. (Mark Manson dalam A
Subtle Art of Not Giving A F*ck, halaman 179)
9. Jika kita mengikuti prinsip “lakukan sesuatu”,
kegagalan terasa tidak penting. Ketika standar kesuksesan hanya “melakukan sesuatu”—ketika
setiap hasil dianggap sebagai sebuah
kemajuan dan penting, inspirasi dilihat sebagai sebuah imbalan ketimbang
suatu prasyarat—kita mendorong diri kita lebih maju. Kita merasa bebas untuk
gagal, dan kegagalan itulah yang menggerakkan kita ke depan. (Mark Manson dalam A
Subtle Art of Not Giving A F*ck, halaman 188)
10. Setiap orang menikmati apa yang mengenakkan.
Setiap orang ingin hidup dengan riang gembira, senang dan mudah, jatuh cinta
dan merasakan seks dan hubungan yang luar biasa, terlihat sempurna dan berduit,
populer, dihormati dan dikagumi, dan jadi jagoan di lantai dansa, yang membuat
kerumuman orang akan terbelah seperti Laut Merah ketika Anda berjalan santai
memasuki ruangan. Setiap orang menginginkannya.
Mudah untuk menginginkannya. Sebuah pertanyaan yang
lebih menarik, sebuah pertanyaan yang tidak pernah disadari sebagian besar
orang, adalah, “Rasa sakit apa yang
Anda inginkan dalam hidup Anda? Apa yang membuat Anda rela berjuang?” Karena
itu tampak seperti faktor yang sangat menentukan menjadi apa hidup kita
nantinya. (Mark Manson dalam A Subtle Art of Not Giving A F*ck, halaman
42)
________________________
Buku ini saya beri
bintang empat dari lima di Goodreads. Jujur, memang ada bagian-bagian yang
sepertinya kontradiktif (atau mungkin saya yang sulit atau keliru memahaminya? Haha).
Tapi, saya tetap menyukai ide-ide pikiran Mark Manson yang ia tuangkan dalam
buku ini—sebagaimana sebagian saya
kutip dalam tulisan ini. Secara esensi, saya setuju dengan Mark Manson. Kita
perlu bersikap masa bodoh (not giving a
f*ck) terhadap hal-hal yang tidak penting—kita perlu memilih medan juang
kita.
Jika kamu tertarik
membaca buku ini, kamu masih bisa dengan mudah mendapatkannya di Gramedia atau
di toko-toko buku lainnya, apalagi dengan covernya yang berwarna oranye terang
menyala. Tapi, jangan beli buku palsu (non-original) di online shop ya. Saya tahu bahwa harga buku ini, apalagi versi
berbahasa Inggris (imported), bisa
mencapai ratusan ribu. Kamu bisa mengakalinya dengan beli terjemahan bahasa
Indonesianya yang jauh lebih murah (hanya sekitar 60 ribu), seperti saya. Kita
hargai kerja keras penulisnya yuk.
Ngomong-ngomong buku ini
adalah buku kedua yang sudah saya selesaikan dari target sepuluh buku yang berniat saya baca di tahun ini. Tulisan ini seperti sebuah review sederhana, untuk mengkristalisasi pesan yang saya dapat dan
kesan saya ketika membaca buku ini, sebagaimana yang pernah saya tuliskan
sebelumnya di blogpost berjudul “Membaca Buku Dengan Cara Berbeda”. Semoga bermanfaat bagi yang telah singgah membaca ;)
No comments: