Tendensi Membandingkan Diri, Rasa Syukur & Kita Yang Terjebak di Tengahnya
Di satu pelatihan,
seorang teman pernah berkata, adalah wajar bahwa kita sebagai manusia
seringkali membanding-bandingkan diri satu sama lain. Itu semacam sebuah
tendensi manusiawi yang natural, sulit dicegah maupun ditolak. Masalahnya, di
masa dimana media sosial menghujani kita dengan konten-konten “luar biasa” (meski
kadang artifisial), tendensi membandingkan diri ini bisa menuntun kita
perlahan-lahan menuju masalah kejiwaan seperti stres dan depresi. Karena itu,
menurut teman saya, kita perlu belajar untuk tidak melihat selalu ke atas—ke mereka yang sepertinya telah mencapai
hal-hal yang lebih baik dan lebih besar dari kita—karena kita akan merasa
semakin kecil dan terpuruk. Sebaliknya, kita mungkin harus belajar melihat ke bawah—kepada mereka yang katanya mengalami hal yang jauh lebih
sulit dan lebih berat daripada kita—supaya kita belajar bersyukur. Supaya kita tahu bahwa kondisi kita masih bisa
ditanggung dan tidak seburuk yang kita kira.
Saya ingat saya merasa
gelisah dan mengerutkan dahi saat itu, meskipun tidak bisa dan tidak ingin
memberikan pendapat tambahan setelah pernyataan teman saya. Di dalam hati dan
kepala, saya bertarung banyak dengan pandangan ini. Saya tidak bisa menerima asumsi
bahwa kita perlu melihat ke bawah untuk
belajar bersyukur. Bagi saya, ini menantang secara etis. Seperti kita tega
untuk bersyukur, tetapi di atas penderitaan orang lain. Apakah ini adalah
sesuatu yang harus kita lakukan—demi dapat bersyukur?
Membandingkan
Diri Adalah Suatu Kewajaran
“Jangan membandingkan
diri” adalah juga satu nasehat yang belakangan ini saya pertanyakan kembali.
Apakah mungkin untuk kita manusia sama
sekali tidak membandingkan diri dengan
manusia lain? Dalam penelusuran saya, pun terhadap hasil merenungi pengalaman
pribadi, saya jatuh pada kesimpulan yang sama seperti yang dikemukakan psikolog
Leon Festinger, dalam Social Comparison
Theory-nya di 1954. Membandingkan diri dalam kehidupan sosial adalah suatu
kewajaran bagi manusia. Faktanya, adalah
tidak mungkin bagi kita untuk tidak membandingkan diri. Namun,
membandingkan diri tidak selalu berarti negatif, baik bagi kita (merasa rendah
diri) atau bagi orang lain (ketika kita rendahkan). Perbandingan sosial ini
dapat menjadi cara yang akurat untuk kita mengevaluasi diri sendiri dan
berkembang menjadi pribadi yang lebih baik.
Photo by Brittany Simuangco on Unsplash |
Ini masuk akal. Perbandingan
sosial adalah salah satu mekanisme untuk mempertahankan nilai dan norma dalam
masyarakat juga. Kita melihat seseorang melakukan kekerasan seksual terhadap
orang lain—kita membandingkan pilihan perilaku itu dengan konformitas dan nilai
yang dipercayai sebagai panduan: bahwa kekerasan seksual adalah perilaku yang tidak
benar. Saya melihat kawan saya yang mulai serius untuk mengurangi jejak
lingkungan dan sampahnya, kemudian membandingkan dengan diri sendiri yang masih
kompromistis—tetapi jadi terinspirasi untuk mengikuti apa yang kawan saya
lakukan. Harus diakui, bahwa evaluasi (apalagi secara sosial) membutuhkan
ukuran dan situasi pembanding. Jadi, membandingkan diri secara sosial tidak
selalu berarti buruk.
Sejak kecil, kita juga
belajar mengenali nilai dan norma dengan imitasi perilaku orang tua, keluarga,
dan teman sebaya. Kita melihat ibu kita makan menggunakan sendok dan kita
melihat diri sendiri yang kerepotan makan dengan tangan, lalu kita melihat
anggota keluarga lainnya yang menggunakan sendok untuk makan di meja makan.
Akhirnya, kita ingin menggunakan sendok juga untuk makan seperti mereka semua. Kita
melihat teman-teman kita menggunakan maskara yang membuat bulu mata mereka
kelihatan lentik dan kita yang masih
belum akrab dengan maskara, jadi
penasaran dengan alat make-up satu
ini dan ingin belajar juga menggunakannya seperti teman-teman kita. Kita
belajar beradaptasi secara sosial mempergunakan perbandingan sosial.
Membandingkan
Diri Untuk Bisa Bersyukur
Setelah “berdamai” dengan
tendensi untuk membandingkan diri secara sosial, saya kembali kepada pernyataan
dari teman saya tadi. Ya, dalam hubungannya dengan rasa syukur. Membandingkan
diri secara sosial memang adalah suatu hal yang perlu dan wajar untuk
mengevaluasi diri dan beradaptasi. Namun, apakah kita harus membandingkan diri
untuk bisa bersyukur?
Ada beberapa contoh yang
terjadi sehari-hari. Teman kita bercerita tentang kondisinya yang memutuskan resign dari kantor dan berusaha bertahan
dalam masa pengangguran, yang kadangkala tidak mudah—lalu kita jadi merasa bersyukur
bahwa kita masih memiliki pekerjaan, penghasilan, dan tidak menganggur, meski
atasan kita melakukan kekerasan verbal serius terhadap karyawan-karyawannya
termasuk kita. Seorang teman lain bercerita betapa ia kesepian ketika hari
raya, karena tak lagi ada anggota keluarga yang bisa berkumpul bersama—lalu kita
jadi merasa bersyukur bahwa kita masih bisa berkumpul bersama keluarga besar
meski penuh dengan drama dan kondisi sangat messy
dalam hubungan interpersonal satu dengan yang lainnya. Kita bersyukur
memiliki pasangan yang cuek dan tidak perhatian tetapi sering menggoda
perempuan lain, ketika mendengar cerita teman kita yang mengalami kekerasan
fisik dari pasangannya—berpikir setidaknya
pasanganku tidak memukuliku seperti pasangannya. Saya bertanya-tanya seberapa wajar kondisi ini?
Yang paling klise yang
sering dikatakan orang adalah terkait kondisi sosial-ekonomi. Kalau kamu masih punya rumah yang layak dan
nyaman, masih bisa makan tiga kali sehari dengan menu yang sehat, masih
memiliki fasilitas-fasilitas yang membuat hidup lebih mudah, bersyukurlah—kamu perlu
melihat ke bawah dan menyadari bahwa lebih banyak orang yang hidupnya tidak
seberuntung kamu di pinggir jalan raya. Mereka miskin, tidak punya tempat
tinggal, hanya punya sehelai baju yang lekat di badan, dan untuk makan sekali
sehari saja rasanya susah sekali.
Kebanyakan orang, tanpa
berpikir kritis, seperti saya di masa kecil dan remaja dulu, bisa jadi terenyuh
membaca kata-kata seperti ini. Akhirnya bersyukur atas kondisi hidup, bersyukur
di atas penderitaan orang lain yang hidupnya terlihat “lebih susah”. Padahal, ada yang salah, janggal, dan tidak
etis dalam “ajakan untuk bersyukur” (bersyukur
saya tidak mengalami seperti yang mereka alami) ini.
Hal “bersyukur” sejenis
ini bisa jadi sangat melukai di konteks situasi kehilangan. Saya memikirkannya
ketika terjadi kecelakaan pesawat yang menewaskan begitu banyak orang—lalu ada
cerita dimana penumpang yang entah bagaimana tidak jadi berangkat, merasa bersyukur karena mereka tidak
jadi berangkat dan selamat. Ya, tidak salah memang untuk bersyukur karena
selamat dari tragedi yang mengenaskan seperti ini. Namun, jika itu dilakukan di
depan keluarga penumpang yang meninggal dan merasa sangat kehilangan—dengan
membandingkan kondisi selamat vs tidak selamat—rasa syukur seperti ini rasanya
tidak tepat, iya kan?
Bagaimanapun juga, kita
memiliki tendensi membandingkan diri dan situasi hidup. Di masa-masa yang
buruk, seperti kata teman saya, membandingkan diri dengan mereka yang mengalami
hal lebih buruk jadi semacam siasat untuk merasa lebih baik. Tetapi, kita jadi
menyangkal bahwa situasi yang sedang kita alami mungkin memang buruk. Kita
tersandung untuk proses penerimaan (acceptance)
akan apa yang terjadi—tanpa menyangkal atau memolesnya supaya bisa lebih mudah
untuk “dikonsumsi”.
Saya tergugah untuk
bertanya, kenapa tidak kita akui saja? Bahwa pekerjaan kita memang berat dan
melelahkan dengan verbal abuse atasan
kita—tetapi kita masih memerlukan gaji bulanan untuk bertahan hidup mengingat
segala kebutuhan, jadi ya sudah, kita masih harus bertahan (tanpa harus
membandingkan diri dengan teman yang menganggur). Bahwa pasangan kita memang
cuek, tidak perhatian, dan mata keranjang, bukan tipikal pasangan yang bisa
membangun kita secara sehat dalam emosi—tetapi kita masih menyayanginya dan belum
bisa mengakhiri hubungan (tanpa harus membandingkan diri dengan pasangan orang
lain). Bahwa keluarga besar kita memang sebegitu kacau berantakan dalam
hubungan interpersonal—tetapi ya sudah, mereka adalah keluarga yang tidak bisa
kita cut begitu saja (tanpa harus
membandingkan diri dengan teman kita yang hidup sebatang kara).
Kita seringkali terjebak
di tengah-tengah antara tendensi membandingkan diri dan rasa syukur. Bersyukur
adalah semacam salah satu ritual spiritual yang harus dilakukan—yang sebenarnya berat di masa-masa sulit, sehingga
kita yang merasa harus bersyukur, akhirnya
memilih untuk membandingkan diri dan merendahkan orang lain, supaya kita bisa
bersyukur. Ya, jika memang sedang tidak bisa bersyukur, mengapa
harus dipaksakan untuk bersyukur?
Antara
Tendensi Membandingkan Diri & Rasa Syukur: Menolak Terjebak di Tengah
Saya kembali ke Social Comparison Theory dari psikolog Leon
Festinger. Bahwa, perbandingan sosial sebenarnya bisa berfaedah baik, untuk
mengevaluasi dan mengembangkan diri (self-evalution
& self-enhancement). Saya berpikir ini mungkin dilakukan tanpa harus merendahkan diri kita atau
sebaliknya, merendahkan orang lain, dalam perbandingan itu. Perbandingan tidak
selalu harus dilihat dalam jenjang bertingkat yang vertikal ke atas dan ke
bawah, membagi orang-orang dalam kelas-kelas berlevel kan? Perbandingan bisa
dilihat secara horizontal, perbedaan situasi sebagai suatu bentuk keberagaman,
yang setara. Situasi berbeda yang tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk—keduanya
sama-sama sulit dan menantang, ya sudah.
Penting untuk menantang
pemikiran dan nilai-nilai kita. Situasi kita yang menghadapi atasan dengan verbal abuse pada karyawan-karyawannya
belum tentu lebih baik dibandingkan situasi teman kita yang menganggur. Bisa
jadi keduanya sama-sama buruk dan menantang, dalam ukurannya masing-masing.
Photo by Isaiah Rustad on Unsplash |
Situasi pasangan kita
yang cuek, kurang perhatian, tapi mata keranjang sebenarnya mungkin sama
buruknya dengan situasi pasangan teman kita yang melakukan kekerasan fisik—sama-sama
menguras emosi dan berdampak secara psikologis. Orang-orang miskin yang tidak
memiliki tempat tinggal di pinggir jalan, sama juga dengan kita, yang mungkin
memiliki masalah ekonomi dalam ukuran kebutuhan berbeda. Kita mungkin memiliki
rumah untuk tinggal, makan tiga kali sehari, dan punya banyak pakaian di dalam
lemari, tetapi masih harus bergulat dengan masalah tabungan atau masalah biaya
pendidikan anak.
Setiap orang memiliki masalah dan bebannya
masing-masing, yang kadangkala tidak perlu dibandingkan. Diakui saja, bahwa itu berat, dan kalau bisa, saling
membantu supaya beban itu bertambah ringan (kalau tidak bisa saling membantu,
setidaknya tidak saling memberatkan dengan perbandingan yang tidak perlu).
Menolak untuk terjebak di
tengah-tengah antara tendensi untuk membandingkan dan rasa syukur, menurut
saya, sama dengan berupaya bersikap etis terhadap orang lain—dengan menolak tendensi
merendahkan orang lain ketika membandingkan diri dengan mereka yang sepertinya lebih di bawah kita. Di sisi
lain, kita juga tak lupa berupaya bersikap etis terhadap diri sendiri, dengan
menolak tendensi merendahkan diri sendiri ketika kita membandingkan diri dengan
orang yang sepertinya berada di atas
kita.
Menolak terjebak di
tengah-tengah berarti mengingat bahwa, tidak perlu bersyukur jika untuk bisa
bersyukur, kita harus membandingkan diri dan merendahkan orang lain. Menolak
terjebak di tengah-tengah berarti mengingat bahwa, perbandingan sosial sebaiknya
membangun kita dan orang lain, berdampak positif—bukan berdampak negatif.
No comments: