Kucing, Saya, & Mimpi Buruk di Malam Awal Tahun Baru
Terkejut, saya bangun
dari tidur dan mendapati air mata sudah turun deras di wajah saya. Pagi belum
datang, masih lewat tengah malam, dan saya sudah terbangun dari mimpi yang
rasanya begitu buruk. Saya tak sering mengalami mimpi seperti ini. Hanya
sesekali, ketika rasanya sedang penat sekali. Mimpi buruk yang tak menyoal
hantu-hantu, tapi cerminan kekuatiran dan ketakutan psikologis yang mungkin
terpendam di dalam pikiran dan hati, kemudian terefleksi sebegitu kuatnya di
dalam mimpi. Saya merasa mimpi buruk seperti ini jauh lebih menakutkan dan
menggelisahkan dibandingkan mimpi bertemu hantu.
Photo by James Sutton on Unsplash |
Rasanya senyata itu. Saya
tak hanya menangis di alam bawah sadar itu, tetapi juga ketika saya bangun di
alam sadar. Dengan perasaan yang sebegitu awut dan campur aduk. Dengan
kesedihan yang menyergap tiba-tiba, tak bisa tak diacuhkan begitu saja. Saya
masih sangat ingin menangis setelah saya terbangun—dan begitulah, tangis itu
berlanjut. Sampai tangan saya menyentuh bulu-bulu yang halus lembut.
Saya menolehkan kepala ke
atas. Kucing saya, Oreo, ternyata sedang tiduran percis di samping kepala
saya—dengan kedua mata yang memandangi saya, seolah mengerti dan kuatir
sekaligus melihat air mata saya dan perasaan kalut yang tak bisa disembunyikan setelah
mimpi yang begitu buruk tadi.
Keberadaan Oreo disana, di sebelah saya, membuat saya merasa lebih tenang. Lega. Tidak sendirian. Di rumah saat itu
memang hanya ada saya, selain kucing-kucing, karena keluarga sedang berkumpul
di kota lain untuk momen tahun baru. Saya memilih tinggal di rumah itu untuk
menjaga dan mengurus kucing-kucing kami. Jadi, terbangun lewat tengah malam karena
mimpi buruk ketika sedang di rumah sendirian, terasa cukup sepi.
Saya hapal, Oreo jarang
mau tidur disana—di sisi tempat tidur di sebelah kepala saya. Biasanya ia akan
memilih sisi tempat tidur yang lebih atas dan lebih luas. Tapi memang Oreo
adalah kucing yang paling peka terhadap perasaan kami, saya dan adik saya, hooman-nya, dibandingkan kucing-kucing
kami yang lain. Ia sepertinya paham jika adik saya sedang merasa sakit di
badannya—Oreo akan naik ke tempat tidur, mendekati, mencium dan mengeluskan
bulu dan kepalanya ke wajah adik saya—seperti ingin menghibur setulus hati. Ia
selalu masuk ke dalam kamar menemui saya, tepat dimana saya merasa rumah begitu
sepi—lalu memilih tidur nyenyak di sebelah laptop saya, seperti ingin menemani.
Jadi, tengah malam itu,
di awal tahun baru, saya merasa Oreo juga seperti bisa merasakan bahwa sesuatu
yang tidak baik sedang terjadi pada saya.
Saya masih membiarkan air
mata saya mengalir, sambil mengelus lembut bulu Oreo. Sebagai upaya memvalidasi
emosi sendiri, bahwa kesedihan saya adalah sesuatu yang wajar setelah mimpi
seburuk itu. Oreo tetap disana. Memandangi saya dengan tatapan naif kucingnya. Membiarkan
saya merasa jauh lebih tenang dengan keberadaannya. Sampai akhirnya saya merasa
lelah dan tertidur lagi. Di sebelah kucing saya, Oreo. Lewat tengah malam, di
beberapa hari setelah awal tahun baru.
p.s. :
Loyalitas Kucing—Kamu Perlu Tahu
Mungkin tidak semua orang
tahu, tapi kucing adalah salah satu binatang peliharaan yang setia—tak kalah
setia dari anjing. Saya tidak sreg dengan pendapat orang-orang yang sering
menyandingkan kucing dan anjing, menempatkan anjing jauh lebih baik
dibandingkan kucing. Pada kenyataannya, setelah dua tahun lalu mulai mengadopsi
kucing, saya mengalami sendiri bahwa kucing memiliki keunikan.
Photo by Krista Mangulsone on Unsplash |
Dibandingkan anjing,
kucing memang binatang yang independen, membutuhkan me-time yang harus seimbang dengan waktu bersama hooman-nya—ditambah, kucing tidak perlu dibawa berjalan-jalan dan bisa mandi
sendiri. Kemandirian kucing ini yang mungkin membuat orang-orang berpikir bahwa
kucing tak seloyal itu (saya heran mengapa kemandirian kadangkala dikaitkan
dengan perihal loyalitas). Namun, bicara soal loyalitas—kucing juga tidak perlu
diragukan.
Kucing saya, selalu tahu dan tak lupa pulang ke rumah, meski kadangkala sering saya lepas keluar rumah. Kucing saya,
selalu tak lupa mencari-cari saya dan adik saya jika ia tidak kelihatan di
depan mata (kadang sampai mengeong-ngeong panik, seperti kecarian anaknya). Kucing
saya, selalu mengikuti kami ketika kami pergi keluar rumah, sampai di titik
dimana mereka merasa kami harus berhenti
karena ini batas wilayah kami—tapi sesetia dan sesabar itu menunggu disana
atau di teras rumah sampai melihat kami kembali.
Jadi, kucing juga
binatang peliharaan, bagian dari keluarga, dengan loyalitas tinggi, kan? ;)
No comments: