Merenungi Lansia & Demensia, Dari Perjalanan Hidup Ayah
Tidak pernah terbayangkan
sebelumnya bahwa masa lansia ternyata sangat berat. Saya memang tidak pernah
tahu, karena selama ini tidak pernah ada lansia di keluarga terdekat saya.
Kakek dan nenek (opung dari ayah, eyang dari ibu—karena saya berdarah
Batak-Jawa) sudah meninggal sejak ayah dan ibu bahkan belum menikah. Hanya
eyang putri yang masih hidup sampai saya duduk di bangku SMA. Itupun, saya tak
bisa dibilang dekat dengan eyang karena jarak domisili yang jauh, dari Medan ke
Yogyakarta. Jadi, saat itu saya belum bisa merenung banyak.
Namun, setelah ayah saya
menginjak usia lanjut—tahun ini genap berusia 70 tahun—saya mulai menyadari betapa beratnya menjadi lansia. Saya
mulai belajar berkenalan dengan jenjang usia ini, yang sangat jauh berbeda
dengan jenjang usia sebelum-sebelumnya. Menjadi dewasa itu berat, tetapi
sekarang saya merasa menjadi lansia itu jauh
lebih berat. Berat sekali.
Transisi ke jenjang usia
lansia ternyata sulit bagi mereka yang mengalami. Khususnya, jika ada beberapa
penyakit, seperti stroke dan demensia, dengan dampak ke disabilitas tertentu
pada lansia. Ketika lansia mengalami kelumpuhan bagian badan dan tidak lagi
mampu berdiri secara mandiri, otomatis lansia akan sangat bergantung kepada
orang-orang di sekelilingnya. Sesederhana untuk aktivitas mendasar sehari-hari
seperti makan-minum dan buang air, juga akan menjadi lebih sulit. Belum lagi
ada perubahan-perubahan lainnya yang sangat memerlukan adaptasi—bukan hanya
dari pasien, tetapi dari para pendamping.
Sedikit Cerita Ayah Saya
Ayah saya mengalami
pembuluh darah di kepala pecah akhir Oktober 2018 lalu. Belum lama. Kejadiannya terlalu tiba-tiba, antara kelelahan ekstrim,
gaya hidup apalagi makanan-minuman yang kurang displin, dan ketidaksengajaan
yang fatal. Hanya karena mencuci rambut, karena ingin mengecat uban-uban supaya
tak lagi tampak putih. Begitu air menyentuh kepala, ayah merasa ada yang tidak
beres dengan tubuhnya. Benar saja, ibu saya melihat bibir ayah sudah mulai
miring dan kaku sebelah. Satu rumah panik. Ayah dilarikan ke rumah sakit.
Dokter mengatakan ayah harus segera dioperasi. Besoknya, operasi dilakukan.
Ayah tidak sadar selama beberapa hari, masih tergolong cepat dibandingkan
pasien-pasien lain yang bisa memakan waktu berminggu-minggu bahkan bulan. Tiga
minggu di ICU, akhirnya ayah dapat pindah ke ruang rawat biasa dan pulang ke
rumah.
Namun, sekitar Desember
awal di tahun yang sama, ayah kembali harus menjalani operasi. Kali ini, untuk
menanam semacam selang permanen di kepala yang terhubung ke perut, untuk membuang
cairan yang sudah terlalu penuh menekan otak. Meski ayah dan keluarga kami merasa
operasi kedua ini cukup menantang secara emosional, karena ingatan operasi
pertama satu bulan sebelumnya saja masih membekas, operasi kedua berjalan
lancar dan kondisi ayah semakin membaik dengan keberadaan selang itu.
Photo by Marcelo Leal on Unsplash |
Hanya saja, memang ada
perubahan-perubahan signifikan yang terjadi pada ayah. Bukan hanya karena ayah
mengalami kelumpuhan badan bagian kanan, yang sudah mulai diterapi agar tidak
permanen—tetapi juga cara ayah bersikap. Saya dan keluarga harus berhadapan
dengan kenyataan bahwa ayah yang setahun lalu masih sehat, kuat, dan mandiri
meski usianya sudah tergolong lansia (masih kuat menyetir mobil, meski tidak
selama dan sesering sebelum lansia—sudah mulai cepat lelah), sekarang menjadi
seperti anak-anak kembali. Ini berat, sangat berat bagi saya. Ini terlalu
tiba-tiba.
Pun sebagaimana lansia
yang ditampilkan galak dan suka menuntut di film-film dan layar televisi,
seperti itulah ayah saya. Mirip. Ayah
juga sering marah-marah, meski ada kalanya bersikap sangat naif seperti anak
kecil dan ada kalanya masih ingat bercanda, seperti sewajarnya ayah yang memang
extrovert tipikal entertainer (ESFP
di MBTI Test). Kenalan-kenalan kami berkata,
itu wajar. Jika stroke menyerang otak kiri, biasanya pasiennya akan banyak
marah-marah—tapi jika menyerang otak kanan, biasanya pasien akan lebih banyak
menangis. Saya tidak tahu seberapa ilmiah hal ini, yang jelas fakta bahwa ayah
saya yang marah-marah di kondisi saat ini membuat kondisi jadi jauh lebih
menantang.
Kebergantungan & Penyangkalan
Hal terberat yang harus
saya hadapi dari kondisi ayah adalah menghadapi perubahan kondisi ayah dalam
transisi masa lansia. Melihat ayah menjadi lemah dan serba bergantung kepada
orang lain di sekitarnya untuk setiap
hal, bahkan bangkit dari tempat tidur—ketika dulu sesehat, sekuat, dan
semandiri itu—menyakitkan dan menyedihkan saya. Menyadari bahwa fase hidup ayah
saya sudah harus berganti: memasuki
masa lansia yang cukup renta, membuat saya terkejut. Saya belum cukup siap
untuk menerima.
Bukan tidak mau mengurus
ayah, tapi karena saya merasa kemandirian adalah jalan hidup—melihat orang lain
menjadi sebegitu bergantungnya kepada orang di sekitarnya, membuat saya takut,
gelisah, dan sedih. Saya mungkin berekspektasi kedua orang tua saya bisa hidup
tua lansia dengan kondisi sehat dan masih mandiri, meski mungkin kondisi tubuh
tidak lagi sekuat atau sebaik masa muda. Setidaknya mereka masih bisa berjalan
dan melakukan aktivitas dasar sehari-hari secara mandiri dan masih dapat diajak
jalan-jalan. Sayangnya, masa lansia yang rentan dengan penyakit memang fase
hidup, yang kadangkala tidak bisa ditolak. Kita hanya bisa berusaha melapangkan
hati untuk menjalani.
Demensia juga tidak mudah
dihadapi. Meski ayah tidak didiagnosis demensia, bedah otak memang berdampak bagi beberapa ingatan ayah. Memori ayah sebenarnya tergolong baik, jauh melebihi prediksi
para dokter, tetap saja ayah saya harus kembali diingatkan huruf-huruf, seperti
anak balita. Harus dibantu pula mengingat detail-detail tertentu, seperti
nama keluarga. Karena stroke juga menyebabkan ayah jadi sulit berbicara, saya
makin merasa ayah kembali seperti anak-anak lagi. Hal ini sangat berat dan
menyakitkan. Ayah saya, yang dulunya bisa sesemangat itu membahas isu politik, menulis
dan mengarang lagu, pun berbagi perenungan spiritual dan berbicara di depan
banyak orang—dalam sekejap mata karena penyakit stroke, kini seperti mengulang
fase hidup anak-anak lagi, dalam usia yang sudah tua.
Ketika Keluarga Membutuhkan Bantuan Tambahan
Transisi ke jenjang usia
lansia ternyata bukan hanya sulit bagi mereka yang mengalami, tapi juga bagi
mereka yang mendampingi. Saya harus mengakui, bahwa dibutuhkan tenaga lebih,
kesabaran, dan kekuatan untuk mendampingi para lansia. Saya harus mengakui,
bahwa pendamping sering merasa lelah, repot, dan berat—meskipun bukan berarti
para pendamping tidak sayang pada para lansia. Hal-hal ini adalah wajar dalam
kemanusiawian kita yang terbatas. Bayangkan saja, harus terbangun sepanjang
subuh dari jam 2 sampai jam 5 pagi (yang seharusnya adalah jam beristirahat),
karena ayah tak bisa tidur dan terus-menerus memanggil meminta minum setiap
tiga menit sekali atau mengeluh ingin pipis atau ganti pampers—kadang sambil marah-marah. Ini tentu saja melelahkan. Tak
bisa disangkal.
Photo by Dominik Lange on Unsplash |
Belum lagi jika para
pendamping memiliki anak usia balita yang juga harus dijaga. Saya ingat hal ini
pernah dibahas di kelas Sosiologi Keluarga, ketika saya kuliah dulu. Sandwich generation, istilahnya: kita
seperti berada terhimpit di tengah-tengah, ketika kita harus menjaga-mengurus
anak-anak kita, tetapi di saat yang sama juga harus menjaga orang tua kita yang
sudah lansia. Saya tidak bisa mengatakan bahwa ini mudah untuk dijalani. Apalagi,
jika ditambah tanggung jawab pekerjaan di luar rumah (yang sekarang ini semakin
berat dan menuntut banyak waktu). Karena itu, wajar jika keluarga membutuhkan
bantuan dan mempekerjakan tenaga medis atau homecare,
seperti perawat lansia. Atau, menitipkan orang tua untuk dirawat di panti werdha
(retirement home)—yang sayangnya, masih dimaknai terlalu negatif dalam
masyarakat kita.
Saya pikir itu adalah
stigma juga, untuk masyarakat berasumsi bahwa keluarga atau anak tidak
menyayangi orang tuanya yang sudah lansia, jika tidak bisa merawatnya sendiri
dan mempekerjakan tenaga homecare seperti
perawat lansia ataupun menitipkan orang tua di panti werdha. Padahal, terlalu
banyak kondisi yang butuh dilihat dan dipertimbangkan—kita tidak bisa langsung
menghakimi sepihak begitu. Selama panti werdha itu menyediakan fasilitas layak
dan baik, pun perawat homecare bisa
merawat dengan maksimal dibanding kita yang harus membagi-bagi perhatian—kedua opsi
ini justru bisa menjadi win-win solution.
Tentu saja tanpa melupakan kebutuhan emosional para lansia.
Masa Lansia, Kesendirian, & Kesepian
Belakangan ini, saya
banyak melihat konten di media sosial tentang lansia. Salah satu yang paling
membekas dalam ingatan saya adalah adegan selingan dalam drama Korea berjudul Top Star Yoo Baek (2018). Di pulau
terpencil tempat tokoh utama mengasingkan diri, ada dua orang nenek yang hidup
bersama, tanpa keluarga lain. Mereka memang tidak memiliki anak dan suami
mereka sudah tidak ada pula. Jadi, meski mereka tidak memiliki hubungan darah,
mereka sudah seperti kakak dan adik, satu keluarga yang saling menjaga. Hal
yang menyedihkan adalah ketika nenek yang lebih muda ternyata terserang
demensia. Tidak mau merepotkan kakaknya (nenek yang lebih tua) karena sadar
bahwa penyakitnya akan membuatnya tidak sanggup untuk aktivitas mendasar
seperti makan dan buang air, ia memilih untuk mengakhiri hidup dengan bunuh
diri—namun, dapat diselamatkan oleh penduduk desa.
Photo by rawpixel on Unsplash |
Adegan selingan itu
membuat saya banyak merenung dan berpikir mengenai keluarga, apalagi dalam
kaitannya dengan usia lansia. Keluarga memang memainkan sebuah siklus yang
masih sulit untuk saya pahami. Pasangan memutuskan untuk memiliki anak memang
untuk kepentingan dan kebutuhan supaya ada
yang mengurus mereka di masa tua nanti. Bukan hanya secara fisik atau
materi, tetapi juga emosional. Lalu, siklus itu berulang terus dari generasi ke
generasi.
Harus diakui bahwa masa
lansia memang menempatkan kebanyakan orang pada posisi rentan, yang harus
bergantung pada orang lain. Bahkan, jika lansia tersebut memilih hidup sendiri
(tidak menikah dan tidak memiliki anak) tetapi telah mempersiapkan biaya yang
cukup untuk membiayai masa tuanya, ia masih perlu orang lain untuk membantu.
Tenaga homecare atau para karyawan di
panti werdha, misalkan. Atau, orang yang akan mengurus administrasi jika
terjadi kondisi-kondisi urgensi tidak terduga, seperti serangan penyakit yang
mengharuskan kunjungan rumah sakit. Karena itu, para lansia yang memilih untuk
hidup sendiri dan tidak berkeluarga, mungkin mengalami kesepian dan kesendirian
yang lebih akut daripada yang memiliki anak-anak dan keluarga yang setidaknya masih rutin mengunjungi di
panti werdha atau tinggal serumah. Kesepian dan kesendirian memang salah satu
isu penting yang harus diperhatikan dalam masa lansia.
__________________________
Dalam obrolan dengan ibu
saya, saya berkata saya tidak ingin hidup
sampai tua lansia. Keinginan ini sudah ada sejak dulu, semakin menguat
ketika merenungi apa yang dialami ayah saya. Bagi saya, masa lansia terlalu
berat untuk dijalani. Unbearable. Melihat
ayah saya saja yang harus melalui masa lansia membuat saya sedih, saya tidak
terbayang jika saya yang harus melaluinya. Namun, saya tetap berharap setiap orang
yang diberikan kesempatan menjalani masa lansia dapat menerima dan melewatinya
dengan baik. Fase hidup ini tidak mudah, tapi semoga setiap lansia mendapat
bantuan dan dukungan yang cukup dari orang-orang di sekelilingnya.
No comments: