Merenungi Lansia & Demensia, Dari Perjalanan Hidup Ayah

February 08, 2019

Tidak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa masa lansia ternyata sangat berat. Saya memang tidak pernah tahu, karena selama ini tidak pernah ada lansia di keluarga terdekat saya. Kakek dan nenek (opung dari ayah, eyang dari ibu—karena saya berdarah Batak-Jawa) sudah meninggal sejak ayah dan ibu bahkan belum menikah. Hanya eyang putri yang masih hidup sampai saya duduk di bangku SMA. Itupun, saya tak bisa dibilang dekat dengan eyang karena jarak domisili yang jauh, dari Medan ke Yogyakarta. Jadi, saat itu saya belum bisa merenung banyak.

Namun, setelah ayah saya menginjak usia lanjut—tahun ini genap berusia 70 tahun—saya mulai menyadari betapa beratnya menjadi lansia. Saya mulai belajar berkenalan dengan jenjang usia ini, yang sangat jauh berbeda dengan jenjang usia sebelum-sebelumnya. Menjadi dewasa itu berat, tetapi sekarang saya merasa menjadi lansia itu jauh lebih berat. Berat sekali.



Photo by rawpixel on Unsplash

Transisi ke jenjang usia lansia ternyata sulit bagi mereka yang mengalami. Khususnya, jika ada beberapa penyakit, seperti stroke dan demensia, dengan dampak ke disabilitas tertentu pada lansia. Ketika lansia mengalami kelumpuhan bagian badan dan tidak lagi mampu berdiri secara mandiri, otomatis lansia akan sangat bergantung kepada orang-orang di sekelilingnya. Sesederhana untuk aktivitas mendasar sehari-hari seperti makan-minum dan buang air, juga akan menjadi lebih sulit. Belum lagi ada perubahan-perubahan lainnya yang sangat memerlukan adaptasi—bukan hanya dari pasien, tetapi dari para pendamping.


Sedikit Cerita Ayah Saya

Ayah saya mengalami pembuluh darah di kepala pecah akhir Oktober 2018 lalu. Belum lama. Kejadiannya terlalu tiba-tiba, antara kelelahan ekstrim, gaya hidup apalagi makanan-minuman yang kurang displin, dan ketidaksengajaan yang fatal. Hanya karena mencuci rambut, karena ingin mengecat uban-uban supaya tak lagi tampak putih. Begitu air menyentuh kepala, ayah merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Benar saja, ibu saya melihat bibir ayah sudah mulai miring dan kaku sebelah. Satu rumah panik. Ayah dilarikan ke rumah sakit. Dokter mengatakan ayah harus segera dioperasi. Besoknya, operasi dilakukan. Ayah tidak sadar selama beberapa hari, masih tergolong cepat dibandingkan pasien-pasien lain yang bisa memakan waktu berminggu-minggu bahkan bulan. Tiga minggu di ICU, akhirnya ayah dapat pindah ke ruang rawat biasa dan pulang ke rumah.

Namun, sekitar Desember awal di tahun yang sama, ayah kembali harus menjalani operasi. Kali ini, untuk menanam semacam selang permanen di kepala yang terhubung ke perut, untuk membuang cairan yang sudah terlalu penuh menekan otak. Meski ayah dan keluarga kami merasa operasi kedua ini cukup menantang secara emosional, karena ingatan operasi pertama satu bulan sebelumnya saja masih membekas, operasi kedua berjalan lancar dan kondisi ayah semakin membaik dengan keberadaan selang itu.

Photo by Marcelo Leal on Unsplash

Hanya saja, memang ada perubahan-perubahan signifikan yang terjadi pada ayah. Bukan hanya karena ayah mengalami kelumpuhan badan bagian kanan, yang sudah mulai diterapi agar tidak permanen—tetapi juga cara ayah bersikap. Saya dan keluarga harus berhadapan dengan kenyataan bahwa ayah yang setahun lalu masih sehat, kuat, dan mandiri meski usianya sudah tergolong lansia (masih kuat menyetir mobil, meski tidak selama dan sesering sebelum lansia—sudah mulai cepat lelah), sekarang menjadi seperti anak-anak kembali. Ini berat, sangat berat bagi saya. Ini terlalu tiba-tiba.

Pun sebagaimana lansia yang ditampilkan galak dan suka menuntut di film-film dan layar televisi, seperti itulah ayah saya. Mirip. Ayah juga sering marah-marah, meski ada kalanya bersikap sangat naif seperti anak kecil dan ada kalanya masih ingat bercanda, seperti sewajarnya ayah yang memang extrovert tipikal entertainer (ESFP di MBTI Test). Kenalan-kenalan kami berkata, itu wajar. Jika stroke menyerang otak kiri, biasanya pasiennya akan banyak marah-marah—tapi jika menyerang otak kanan, biasanya pasien akan lebih banyak menangis. Saya tidak tahu seberapa ilmiah hal ini, yang jelas fakta bahwa ayah saya yang marah-marah di kondisi saat ini membuat kondisi jadi jauh lebih menantang.


Kebergantungan & Penyangkalan

Hal terberat yang harus saya hadapi dari kondisi ayah adalah menghadapi perubahan kondisi ayah dalam transisi masa lansia. Melihat ayah menjadi lemah dan serba bergantung kepada orang lain di sekitarnya untuk setiap hal, bahkan bangkit dari tempat tidur—ketika dulu sesehat, sekuat, dan semandiri itu—menyakitkan dan menyedihkan saya. Menyadari bahwa fase hidup ayah saya sudah harus berganti: memasuki masa lansia yang cukup renta, membuat saya terkejut. Saya belum cukup siap untuk menerima.



Photo by rawpixel on Unsplash

Bukan tidak mau mengurus ayah, tapi karena saya merasa kemandirian adalah jalan hidup—melihat orang lain menjadi sebegitu bergantungnya kepada orang di sekitarnya, membuat saya takut, gelisah, dan sedih. Saya mungkin berekspektasi kedua orang tua saya bisa hidup tua lansia dengan kondisi sehat dan masih mandiri, meski mungkin kondisi tubuh tidak lagi sekuat atau sebaik masa muda. Setidaknya mereka masih bisa berjalan dan melakukan aktivitas dasar sehari-hari secara mandiri dan masih dapat diajak jalan-jalan. Sayangnya, masa lansia yang rentan dengan penyakit memang fase hidup, yang kadangkala tidak bisa ditolak. Kita hanya bisa berusaha melapangkan hati untuk menjalani.

Demensia juga tidak mudah dihadapi. Meski ayah tidak didiagnosis demensia, bedah otak memang berdampak bagi beberapa ingatan ayah. Memori ayah sebenarnya tergolong baik, jauh melebihi prediksi para dokter, tetap saja ayah saya harus kembali diingatkan huruf-huruf, seperti anak balita. Harus dibantu pula mengingat detail-detail tertentu, seperti nama keluarga. Karena stroke juga menyebabkan ayah jadi sulit berbicara, saya makin merasa ayah kembali seperti anak-anak lagi. Hal ini sangat berat dan menyakitkan. Ayah saya, yang dulunya bisa sesemangat itu membahas isu politik, menulis dan mengarang lagu, pun berbagi perenungan spiritual dan berbicara di depan banyak orang—dalam sekejap mata karena penyakit stroke, kini seperti mengulang fase hidup anak-anak lagi, dalam usia yang sudah tua.


Ketika Keluarga Membutuhkan Bantuan Tambahan

Transisi ke jenjang usia lansia ternyata bukan hanya sulit bagi mereka yang mengalami, tapi juga bagi mereka yang mendampingi. Saya harus mengakui, bahwa dibutuhkan tenaga lebih, kesabaran, dan kekuatan untuk mendampingi para lansia. Saya harus mengakui, bahwa pendamping sering merasa lelah, repot, dan berat—meskipun bukan berarti para pendamping tidak sayang pada para lansia. Hal-hal ini adalah wajar dalam kemanusiawian kita yang terbatas. Bayangkan saja, harus terbangun sepanjang subuh dari jam 2 sampai jam 5 pagi (yang seharusnya adalah jam beristirahat), karena ayah tak bisa tidur dan terus-menerus memanggil meminta minum setiap tiga menit sekali atau mengeluh ingin pipis atau ganti pampers—kadang sambil marah-marah. Ini tentu saja melelahkan. Tak bisa disangkal.

Photo by Dominik Lange on Unsplash

Belum lagi jika para pendamping memiliki anak usia balita yang juga harus dijaga. Saya ingat hal ini pernah dibahas di kelas Sosiologi Keluarga, ketika saya kuliah dulu. Sandwich generation, istilahnya: kita seperti berada terhimpit di tengah-tengah, ketika kita harus menjaga-mengurus anak-anak kita, tetapi di saat yang sama juga harus menjaga orang tua kita yang sudah lansia. Saya tidak bisa mengatakan bahwa ini mudah untuk dijalani. Apalagi, jika ditambah tanggung jawab pekerjaan di luar rumah (yang sekarang ini semakin berat dan menuntut banyak waktu). Karena itu, wajar jika keluarga membutuhkan bantuan dan mempekerjakan tenaga medis atau homecare, seperti perawat lansia. Atau, menitipkan orang tua untuk dirawat di panti werdha (retirement home)—yang sayangnya, masih dimaknai terlalu negatif dalam masyarakat kita.

Saya pikir itu adalah stigma juga, untuk masyarakat berasumsi bahwa keluarga atau anak tidak menyayangi orang tuanya yang sudah lansia, jika tidak bisa merawatnya sendiri dan mempekerjakan tenaga homecare seperti perawat lansia ataupun menitipkan orang tua di panti werdha. Padahal, terlalu banyak kondisi yang butuh dilihat dan dipertimbangkan—kita tidak bisa langsung menghakimi sepihak begitu. Selama panti werdha itu menyediakan fasilitas layak dan baik, pun perawat homecare bisa merawat dengan maksimal dibanding kita yang harus membagi-bagi perhatian—kedua opsi ini justru bisa menjadi win-win solution. Tentu saja tanpa melupakan kebutuhan emosional para lansia.


Masa Lansia, Kesendirian, & Kesepian

Belakangan ini, saya banyak melihat konten di media sosial tentang lansia. Salah satu yang paling membekas dalam ingatan saya adalah adegan selingan dalam drama Korea berjudul Top Star Yoo Baek (2018). Di pulau terpencil tempat tokoh utama mengasingkan diri, ada dua orang nenek yang hidup bersama, tanpa keluarga lain. Mereka memang tidak memiliki anak dan suami mereka sudah tidak ada pula. Jadi, meski mereka tidak memiliki hubungan darah, mereka sudah seperti kakak dan adik, satu keluarga yang saling menjaga. Hal yang menyedihkan adalah ketika nenek yang lebih muda ternyata terserang demensia. Tidak mau merepotkan kakaknya (nenek yang lebih tua) karena sadar bahwa penyakitnya akan membuatnya tidak sanggup untuk aktivitas mendasar seperti makan dan buang air, ia memilih untuk mengakhiri hidup dengan bunuh diri—namun, dapat diselamatkan oleh penduduk desa.

Photo by rawpixel on Unsplash

Adegan selingan itu membuat saya banyak merenung dan berpikir mengenai keluarga, apalagi dalam kaitannya dengan usia lansia. Keluarga memang memainkan sebuah siklus yang masih sulit untuk saya pahami. Pasangan memutuskan untuk memiliki anak memang untuk kepentingan dan kebutuhan supaya ada yang mengurus mereka di masa tua nanti. Bukan hanya secara fisik atau materi, tetapi juga emosional. Lalu, siklus itu berulang terus dari generasi ke generasi.

Harus diakui bahwa masa lansia memang menempatkan kebanyakan orang pada posisi rentan, yang harus bergantung pada orang lain. Bahkan, jika lansia tersebut memilih hidup sendiri (tidak menikah dan tidak memiliki anak) tetapi telah mempersiapkan biaya yang cukup untuk membiayai masa tuanya, ia masih perlu orang lain untuk membantu. Tenaga homecare atau para karyawan di panti werdha, misalkan. Atau, orang yang akan mengurus administrasi jika terjadi kondisi-kondisi urgensi tidak terduga, seperti serangan penyakit yang mengharuskan kunjungan rumah sakit. Karena itu, para lansia yang memilih untuk hidup sendiri dan tidak berkeluarga, mungkin mengalami kesepian dan kesendirian yang lebih akut daripada yang memiliki anak-anak dan keluarga yang setidaknya masih rutin mengunjungi di panti werdha atau tinggal serumah. Kesepian dan kesendirian memang salah satu isu penting yang harus diperhatikan dalam masa lansia.

__________________________

Dalam obrolan dengan ibu saya, saya berkata saya tidak ingin hidup sampai tua lansia. Keinginan ini sudah ada sejak dulu, semakin menguat ketika merenungi apa yang dialami ayah saya. Bagi saya, masa lansia terlalu berat untuk dijalani. Unbearable. Melihat ayah saya saja yang harus melalui masa lansia membuat saya sedih, saya tidak terbayang jika saya yang harus melaluinya. Namun, saya tetap berharap setiap orang yang diberikan kesempatan menjalani masa lansia dapat menerima dan melewatinya dengan baik. Fase hidup ini tidak mudah, tapi semoga setiap lansia mendapat bantuan dan dukungan yang cukup dari orang-orang di sekelilingnya.

No comments:

Powered by Blogger.