Dua Pesan dari Yuli-Remaja Belasan Tahun
Ada dua pesan dari
yuli-remaja-belasan-tahun yang saya tidak akan pernah lupa. Dua pesan ini
sebenarnya bukan pesan original dari si yuli-remaja—tetapi berasal dari pesan
orang lain yang begitu mencelikkan mata-hati, sehingga teringat sampai
nanti-nanti. Dua pesan ini adalah sebuah awal yang mengajarkan saya realita
yang sulit, bahwa beberapa “kebenaran” memang sulit dicerna dan diterima. Tidak
enak. Tidak nyaman. Tapi menolaknya juga bukan hal yang bijak untuk dilakukan.
Ternyata, sejauh ini, dua pesan ini memang adalah pemandu jalan yang baik.
1. Tidak ada yang
abadi dan tidak akan berubah di muka bumi ini, satu-satunya yang abadi hanyalah
perubahan itu sendiri.
Sepatah pesan dari salah
satu pengajar di bimbel ketika SMA. Waktu itu, kakak pengajar sedang berdiri di
depan papan tulis sambil berkata tegas dan mantap—ternyata mengutip Heraclitus,
seorang filsuf Yunani. Nothing endures
but change. Waktu itu, saya ingat saya tertegun. Mind blowing. Memang benar, perubahan, yang sifat dasarnya adalah
ketidakkekalan malah justru menjadi satu-satunya yang kekal dalam ketidakkekalannya.
Secara praktis, itu berarti tidak ada jaminan atas apapun—kepemilikan, relasi, pencapaian,
kebanggaan, apapun itu semuanya akan berperiode dan berakhir. Jadi, jangan berpegangan terlalu erat pada apapun
yang tidak abadi. Meski sulit, saya mencoba terus mengingatkan diri sendiri tiap-tiap hari.
2. Jangan berharap
pada manusia, karena tidak ada satupun manusia di muka bumi ini yang tidak akan
pernah mengecewakan.
Sepatah pesan dari ibu,
di masa-masa sebelum saya berangkat merantau. Dititipkan dengan ekspresi raut
wajah sangat serius, mungkin karena itu benar-benar menancap tepat di kedalaman
hati saya. Tidak bisa saya sangkal. Ini semacam one of the hardest truths. Tak hanya soal orang lain kepada saya,
tetapi juga saya kepada orang lain—hubungan timbal-balik resiprokal. Dengan
perbedaan perspektif dan sistem nilai yang dianut tiap-tiap orang, pasti
berbeda-beda pula ekspektasi dalam hati.
Masalahnya adalah tidak (mungkin)
ada orang yang selalu sempurna bisa selalu memenuhi ekspektasi orang lain:
kepentingan dan kebutuhan satu sama lain bisa berbenturan, setiap orang memiliki
bebannya masing-masing, pun perbedaan sistem nilai tadi. Kadang mengecewakan “dilakukan” tanpa intensi
sengaja mengecewakan atau sengaja tidak ingin memenuhi ekspektasi. Kekecewaan
memang adalah bagian dari kehidupan yang mau tak mau perlu diterima dan dilalui
begitu saja. Ekspektasi juga sama. Jangan genggam keduanya terlalu erat sampai hati
terluka.
Sebenarnya ibu saya masih
menambahkan, dengan bumbu spiritualitas—yang sempat saya genggam erat namun akhirnya
saya proses lagi. Jangan berharap pada
manusia, karena tidak ada satupun manusia di muka bumi ini yang tidak akan
pernah mengecewakan. Berharap sama Tuhan saja yang tidak pernah mengecewakan. Siapa
bilang Tuhan tidak pernah mengecewakan?
Kembali lagi menyoal
ekspektasi. Ekspektasi tergantung sistem nilai. Sistem nilai bisa berbeda-beda
untuk tiap orang yang pasti berbeda. Yang baik bagi Tuhan belum tentu kita
anggap baik—lalu kitapun kecewa dan merasa Tuhan mengecewakan. Tidak salah dong? Ternyata, bahkan Tuhan
bisa mengecewakan. Akui saja.
____________________
Namun,
yuli-remaja-belasan-tahun kemudian menyadari bahwa dua pesan ini ternyata belum
cukup solutif. Ini seperti hanya menelan dua tablet obat pahit tanpa dibantu
dengan segelas air putih. Sulit dan pahit. Karena itu, yuli-dua-puluhan-tahun
kemudian berpikir ulang, berefleksi, dan menambahkan beberapa solusi. Simpel
dan praktis, seperti segelas air putih.
Tetap saja, dua pesan ini
berdampak dan menjadi pandu sampai nanti-nanti.
No comments: