Dua Pesan dari Yuli-Remaja Belasan Tahun

February 26, 2019

Ada dua pesan dari yuli-remaja-belasan-tahun yang saya tidak akan pernah lupa. Dua pesan ini sebenarnya bukan pesan original dari si yuli-remaja—tetapi berasal dari pesan orang lain yang begitu mencelikkan mata-hati, sehingga teringat sampai nanti-nanti. Dua pesan ini adalah sebuah awal yang mengajarkan saya realita yang sulit, bahwa beberapa “kebenaran” memang sulit dicerna dan diterima. Tidak enak. Tidak nyaman. Tapi menolaknya juga bukan hal yang bijak untuk dilakukan. Ternyata, sejauh ini, dua pesan ini memang adalah pemandu jalan yang baik.

Photo by Wendy Aros-Routman on Unsplash

1. Tidak ada yang abadi dan tidak akan berubah di muka bumi ini, satu-satunya yang abadi hanyalah perubahan itu sendiri.

Sepatah pesan dari salah satu pengajar di bimbel ketika SMA. Waktu itu, kakak pengajar sedang berdiri di depan papan tulis sambil berkata tegas dan mantap—ternyata mengutip Heraclitus, seorang filsuf Yunani. Nothing endures but change. Waktu itu, saya ingat saya tertegun. Mind blowing. Memang benar, perubahan, yang sifat dasarnya adalah ketidakkekalan malah justru menjadi satu-satunya yang kekal dalam ketidakkekalannya. Secara praktis, itu berarti tidak ada jaminan atas apapun—kepemilikan, relasi, pencapaian, kebanggaan, apapun itu semuanya akan berperiode dan berakhir. Jadi, jangan berpegangan terlalu erat pada apapun yang tidak abadi. Meski sulit, saya mencoba terus mengingatkan diri sendiri tiap-tiap hari.

2. Jangan berharap pada manusia, karena tidak ada satupun manusia di muka bumi ini yang tidak akan pernah mengecewakan.

Sepatah pesan dari ibu, di masa-masa sebelum saya berangkat merantau. Dititipkan dengan ekspresi raut wajah sangat serius, mungkin karena itu benar-benar menancap tepat di kedalaman hati saya. Tidak bisa saya sangkal. Ini semacam one of the hardest truths. Tak hanya soal orang lain kepada saya, tetapi juga saya kepada orang lain—hubungan timbal-balik resiprokal. Dengan perbedaan perspektif dan sistem nilai yang dianut tiap-tiap orang, pasti berbeda-beda pula ekspektasi dalam hati.

Masalahnya adalah tidak (mungkin) ada orang yang selalu sempurna bisa selalu memenuhi ekspektasi orang lain: kepentingan dan kebutuhan satu sama lain bisa berbenturan, setiap orang memiliki bebannya masing-masing, pun perbedaan sistem nilai tadi. Kadang mengecewakan “dilakukan” tanpa intensi sengaja mengecewakan atau sengaja tidak ingin memenuhi ekspektasi. Kekecewaan memang adalah bagian dari kehidupan yang mau tak mau perlu diterima dan dilalui begitu saja. Ekspektasi juga sama. Jangan genggam keduanya terlalu erat sampai hati terluka.

Sebenarnya ibu saya masih menambahkan, dengan bumbu spiritualitas—yang sempat saya genggam erat namun akhirnya saya proses lagi. Jangan berharap pada manusia, karena tidak ada satupun manusia di muka bumi ini yang tidak akan pernah mengecewakan. Berharap sama Tuhan saja yang tidak pernah mengecewakan. Siapa bilang Tuhan tidak pernah mengecewakan?

Kembali lagi menyoal ekspektasi. Ekspektasi tergantung sistem nilai. Sistem nilai bisa berbeda-beda untuk tiap orang yang pasti berbeda. Yang baik bagi Tuhan belum tentu kita anggap baik—lalu kitapun kecewa dan merasa Tuhan mengecewakan. Tidak salah dong? Ternyata, bahkan Tuhan bisa mengecewakan. Akui saja.

____________________

Namun, yuli-remaja-belasan-tahun kemudian menyadari bahwa dua pesan ini ternyata belum cukup solutif. Ini seperti hanya menelan dua tablet obat pahit tanpa dibantu dengan segelas air putih. Sulit dan pahit. Karena itu, yuli-dua-puluhan-tahun kemudian berpikir ulang, berefleksi, dan menambahkan beberapa solusi. Simpel dan praktis, seperti segelas air putih.

Tetap saja, dua pesan ini berdampak dan menjadi pandu sampai nanti-nanti.

No comments:

Powered by Blogger.