Fiksi - Cerita Masa Kecil

February 22, 2019

Setiap orang memiliki ceritanya masing-masing. Dari masa kecil, remaja, dewasa, sampai lansia—jika memang telah berusia sepanjang itu. Terlalu banyak cerita. Memenuhi kamar-kamar ingatan dan kenangan yang beberapa seringkali jadi terlupa. Tapi cerita masa kecil itu, adalah sesuatu yang berbeda. Ia tidak hanya sekedar ada disana, sengaja tidak ingin terlupa. Ia membekas, dan memberikanmu hadiah—yang kadangkala kau sesali ketika dewasa.

Photo by Filip Mroz on Unsplash

Aku masih ingat cerita-ceritamu. Ceritamu, ketika masih anak-anak, diisi tentang baju ungu dengan tudung kepala dan lengan panjang—satu-satunya baju kesayanganmu, atau boneka panda yang tidak pernah lupa kau bawa setiap malam kau selalu tidur sendirian tanpa ibu. Tentang cita-citamu menjadi seorang dokter hewan supaya bisa merawat berbagai jenis binatang,. Tentang ketidaksukaanmu akan wortel dan susu berwarna putih rasa vanilla yang rasanya tidak seenak susu rasa cokelat—meski begitu, ibumu selalu mewajibkanmu untuk menyantap keduanya. Atau pelajaran menggambar yang rasanya terlalu singkat dibandingkan pelajaran matematika di sekolah, kau benci matematika bukan karena matematika sulit tapi karena matematika mengingatkanmu akan ayah. Juga tentang ibumu yang menangis kesakitan setiap kali dipukul ayah. Ribut-ribut di rumahmu yang sudah menjadi menu rutin mingguan, meski kau teramat membencinya. Ada amarah ayah yang selalu tumpah pada ibu. Ada tangis ibu yang selalu tumpah karena ayah. Ada kebingungan dan kesedihan yang bersama-sama kompak menjebakmu, si anak tunggal, yang tak tahu harus berbuat apa pada amarah ayah maupun tangis ibu. Ada cerita dimana kelelahan membuatmu ketiduran di dalam lemari setelah bersembunyi, karena tidak tega melihat kesakitan ibu dan karena tidak ingin ikut dipukuli ayah, meski ayah hanya memukul ibu dan ibu lagi. Cerita tentang ibumu yang setelah itu sering menggendongmu kembali ke tempat tidur, kembali ke pelukan boneka panda.

Aku masih ingat cerita-ceritamu. Aku tak pernah melupakannya.
Apakah kau masih ingat cerita-ceritaku?

Cerita-ceritaku tak jauh berbeda, ingat? Ada mainan masak-masakan hadiah tante yang menjadi harta karunku yang utama. Ada boneka beruang besar di dalam kamar, satu-satunya boneka yang pernah dibeli ayah untuk dimainkan berempat sampai berebut dan beradu mulut—aku, adik perempuanku, adik perempuanku yang satunya, dan adik perempuanku yang paling kecil, selama bertahun-tahun lamanya sampai kami remaja. Ada makanan pedas yang selalu membuatku sakit perut tetapi sering dimasak ibu karena ayah menyukainya, serta jajanan pinggir jalan yang hanya sesekali bisa kubeli bersamamu karena dilarang ibu. Rokok-rokok yang puntungnya berceceran di atas meja di depan televisi setiap malam.

Dan, ada amarah tumpah dan tangis juga. Ada kebingungan dan kesedihan yang berulang singgah. Ada ribut-ribut yang jadi menu rutin keluarga juga. Ada piring dan gelas yang pecah setiap kali ribut-ribut. Ada bangku yang patah dan pintu yang rusak. Ada jerit adik-adikku yang takut dan gemetar ketika ayah mengangkat tinggi pemukul tilam. Ada gentar di hatiku melihat ketakutan nyata menyala di bola-bola mata mereka semua. Ada luka-luka memar di badan ibu. Juga badanku. Juga badan adik-adikku.

Aku masih ingat cerita-ceritamu dan cerita-ceritaku. Aku masih mengingatnya, karena katamu, kau membenci ayahmu sedalam itu untuk tangis ibu yang selalu tumpah dan luka biru-biru berdarah yang tak bisa cepat sembuh di wajahnya. Aku jadi ingat bahwa aku juga membenci ayah untuk setiap memar di badan dan di hati lima orang perempuan yang tinggal bersamanya di rumah. Luka kami semua.

Aku ingat karena kita sama-sama membenci ayah. Karena tangis, amarah, ribut, piring-pintu-bangku yang rusak, luka, biru, merah, hitam, memar, dan darah itu. Tidakkah kau selalu setuju, bahkan sampai kita dewasa, sungguh sulit bagi kita untuk melupakannya?



p.s. :

Medan, Februari 2019. Sebuah cerita fiksi. Untuk setiap korban/penyintas kekerasan dalam rumah tangga, yang telah bertahan dan berjuang, tetapi proses melalui memang tidak semudah itu untuk dihadapi.

No comments:

Powered by Blogger.