Soal Curhat & "Emotional Cost"
Sungguh tidak
mudah menjadi psikolog, psikiater, konselor maupun terapis. Belakangan ini, setelah
semakin terpapar mengenai kajian ilmu psikologi di komunitas, saya semakin
menyadari bahwa pekerjaan-pekerjaan ini termasuk pekerjaan yang paling berat untuk dilakoni. Emotional cost, alasannya. Jangan pikir
bahwa pekerjaan psikolog, psikiater, konselor maupun terapis hanyalah sekedar mendengarkan curahan
hati orang lain. Jangan pikir juga bahwa pekerjaan mendengarkan curahan hati orang lain itu mudah. Pekerjaan mendengarkan curahan hati orang lain
ternyata bisa berdampak serius terhadap kondisi kesehatan mental pendengarnya,
khususnya untuk masalah-masalah kehidupan yang sangat berat untuk ditanggung.
Photo by Andrea Tummons on Unsplash |
Emotional cost memang
bukan hal yang bisa dipandang sebelah mata. Bahkan, jika kita tidak berprofesi
sebagai psikolog, psikiater, konselor maupun terapis–dan mungkin ‘hanya’
berperan sebagai seorang kawan yang mendengarkan curahan hati kawan yang lain. Selalu
akan ada semacam ‘harga emosional’ yang harus kita tanggung ketika mendengarkan
curahan hati seseorang. ‘Harga emosional’ ini seperti dampak psikologis yang kita
rasakan ketika kita mencoba berempati dengan apa yang dialami dan dirasakan
kawan kita. Semacam “terbawa perasaan”. Seperti ikut feeling blue, ikut stres, ikut bingung, ikut feeling down. Khususnya, jika kita lupa memberi batasan dan kondisi
emosional-psikologis kita memang sedang kurang baik ketika mendengarkan curhat
teman kita. Karena itu, penting sekali untuk kita memberikan
batasan dan tak lupa merawat diri
sendiri (self-care). Baik sebagai orang yang curhat, apalagi yang
mendengarkan curhat.
Saya sendiri
mungkin pernah melakukan keduanya di masa lalu: lupa memberikan batasan ketika
menjadi orang yang curhat pun ketika menjadi orang yang mendengarkan curhat. Akhirnya,
saya harus mengakui, saya merasa lelah
dan juga melelahkan orang lain. Ini sungguh tidak baik. Berpengaruh pada
relasi? Pasti. Emotional cost secara khusus juga bisa berdampak sangat
parah bagi para highly sensitive person dan
para empath—saya termasuk highly sensitive person, tetapi tidak
termasuk empath. Karena sangat mudah
berempati, sensitif, dan terhubung dengan perasaan orang lain, ‘tabungan’ emosi
yang cenderung negatif (sedih, marah, kesal, bingung, tertekan, dst) dari emotional cost tentu bisa sangat
melelahkan dan berefek domino terhadap kehidupan personal.
Menjadi Orang Yang Mendengarkan Curhat
Harus tahu
menjaga batas dan harus peka terhadap
kondisi mental sendiri—menurut saya dua hal ini sangat penting bagi orang yang
mendengarkan curhat. Jadi, jika kondisi mental sendiri sedang tidak baik, lebih
baik untuk memohon maaf kepada teman untuk tidak bisa mendengarkan curhat
sampai kondisi mental sendiri membaik (kalau memang temanmu benar-benar sedang merasa sangat tertekan dan butuh
curhat, bantu dia terhubung ke tenaga ahli seperti konselor/psikiater/psikolog sesuai kebutuhannya, atau ke teman yang lain). Ini jalan terbaik. Karena jika
memaksakan diri, dari pengalaman pribadi, saya justru semakin lelah dan
tertekan—karena harus menanggung beban emosi sendiri, juga beban emosi orang lain (emotional
cost). Di sisi lain, ketika kondisi mental kita juga tidak baik dan kita
mencoba menolong orang lain untuk lebih baik, hasilnya tidak akan efektif. Bisa
saja ada trigger yang membuat emosi
kita tumpah tanpa diduga dan tanpa bisa kita kontrol. Curhat malah berujung
perselisihan karena hal ini, aduh lebih
baik jangan.
Photo by Becca Tapert on Unsplash |
Tentang batasan,
juga sangat penting. Saya selalu berulang kali mengingatkan diri sendiri: kita tidak bisa menanggung beban hidup orang
lain sepenuhnya. Membantu ya, menanggung semua, tidak. Orang-orang yang
empatinya tinggi selalu ingin membantu orang lain yang datang curhat semaksimal
mungkin, supaya bisa meringankan beban masalahnya. Namun, ada kalanya memang kita tidak sanggup membantu dan tidak
apa-apa. Kita memang tidak bisa selalu menjadi jawaban bagi masalah semua
orang. Orang-orang yang empatinya tinggi pun memiliki tendensi untuk sangat terhubung dengan emosi dan
pengalaman orang lain yang datang curhat, sampai-sampai setelah curhat selesai,
kita masih terus memikirkan dan merasakan emosi, masalah, dan pengalaman itu. Jangan, kita perlu mengingat bahwa kita
punya kehidupan sendiri, dengan bebannya sendiri, yang harus dijalani. Masalah
itu juga hanya satu bagian dari kehidupan, jangan lupa melihat bagian yang
lain.
Sebagai orang yang
mendengarkan curhat, kita juga perlu tahu bahwa ada beberapa orang yang
memiliki tendensi untuk menjadi toxic
friends atau emotional vampires. Toxic friends biasanya berlaku
sangat egois dan fake (pura-pura dan
palsu, bisa saja menusuk dari belakang dengan gosip yang mereka sebar tentang
kita—meski mereka kadangkala memuji-mengapresiasi kita di depan), cenderung
mendominasi seluruh percakapan (jadi
hanya dia yang melulu curhat tanpa
memberi ruang untuk sebaliknya kita bisa curhat padanya juga), tidak
menyampaikan kritik yang membangun atau selalu
menyampaikan kritik dalam cara yang harsh
meski ada benarnya (tidak bisa berempati), ketika konflik terjadi selalu
akan melihat bahwa ada yang salah dengan kita dan bukan dia. Karena hal-hal
ini, berelasi dan bersahabat dengan toxic
friends menempatkan kita dalam semacam emotional
roller coaster, dimana toxic friends memegang
kendalinya.
Mirip dengan toxic friends, emotional vampires juga cenderung mendominasi percakapan. Namun,
bedanya, emotional vampires menyerap
emosi positif kita dan mengubahnya menjadi negatif. Tentu ini bukan karena
kekuatan supernaturalnya, tetapi melalui interaksi sosialnya dengan kita. Emotional vampires cenderung berpikiran
pesimistik dan negatif, berpikir bahwa dalam setiap masalahnya ia adalah korban, merasa frustasi dengan
hidupnya, selalu meminta dan membutuhkan waktu yang jauh lebih banyak daripada
teman-temanmu yang lainnya. Karena ia menyerap emosi positif dan mengubahnya
jadi negatif, setelah berinteraksi dengan emotional
vampires, kita juga justru lebih merasakan kelelahan, kuatir, dan tertekan.
Kita perlu peka
mengenali dan jangan ragu untuk memutus relasi jika teman yang (terus-menerus) curhat
ini berlaku sebagai toxic friends atau
emotional vampires, bahkan tanpa ia
sadari. Apalagi, sebagai seorang teman, jika kita sudah mencoba jujur dalam
cara yang baik dan ia tetap tidak bisa menerima atau berusaha ingin berubah. Kita
harus ingat bahwa toxic friends atau emotional vampires dapat memberi dampak
psikologis dan emotional cost yang
tidak sepele bagi kita, khususnya dalam jangka waktu panjang.
Photo by Harli Marten on Unsplash |
Menjadi Orang Yang Curhat
Tahu diri. Mungkin
dua kata ini cukup untuk menggambarkan apa yang harus dilakukan ketika kita
menjadi orang yang curhat. Tahu diri, dalam
arti kita tidak menempatkan diri kita sebagai orang yang selalu butuh bantuan dan orang lain harus menolong kita, bagaimanapun juga. Kita harus menjaga
ekspektasi kita tetap dalam batasan wajar dan tidak berlebihan. Kita tidak bisa
menuntut mereka selalu ada atau selalu siap menolong kita. Kita harus menyadari
bahwa orang lain pun juga manusia seperti kita, yang memiliki kondisi dan
kebutuhannya sendiri. Sama-sama tidak sempurna dan sama-sama bisa tidak
berdaya. Mereka juga tidak bebas dari masalah atau beban hidup. Teman, sahabat,
pacar, atau keluarga kita bukanlah sosok superhero
yang bisa selalu kita andalkan setiap saat dalam kemanusiawiannya.
Kita juga butuh
mengenali batasan. Kita butuh
mengenali apakah jangan-jangan kita sudah menjadi toxic friends atau emotional
vampires bagi orang lain. Berbagi curahan hati tidak salah, tetapi jika
sampai sudah merugikan orang lain, saya pikir kita harus mulai mengintropeksi
diri dan mengubah apa yang harus diubah. Mungkin yang harus kita ubah adalah
cara pandang kita terhadap masalah, yang selama ini terlalu pesimistik sehingga
nyaris selalu feeling blue atau feeling down—sampai berdampak negatif pun ke teman yang mendengarkan curhatan?
Mungkin kita harus belajar untuk melihat masalah dari sudut pandang yang lain,
yang lebih positif. Mungkin kita harus mengurangi intensitas curhatan kita.
Jangan sedikit-sedikit ada masalah, mengeluh, dan ditumpahkan ke orang lain.
Kita harus ingat setiap curhatan memberikan emotional
cost pada orang yang mendengarkan. Kita tidak boleh menjadikan orang lain
semacam ‘tempat sampah’ untuk emosi kita. Jika bisa diatasi sendiri, mengapa
tidak coba diatasi sendiri dulu? Atau, kita bisa menggunakan jurnal sebagai
alternatif curhat ke orang lain. Kita juga perlu belajar mengandalkan diri
sendiri. Kita perlu menjadi kawan yang baik bagi diri sendiri.
Tak salah juga
untuk menanyakan lebih dahulu kepada teman kita, apakah dia sedang available, sedang dalam kondisi yang
siap dan baik untuk mendengarkan
curhatan kita atau mungkin tidak. Jangan langsung menumpahkan semua cerita ke depan wajahnya,
tanpa mencoba mencari tahu lebih dahulu kondisi teman kita. Siapa tahu dia juga
sedang burned out dan justru butuh
diberikan ruang untuk istirahat, bukannya beban emosional yang semakin
melelahkannya. Teman harus saling memahami, kan?
Jadi?
Jadi, saya pun masih berusaha. Untuk lebih bijak dalam
mendengarkan curhat atau dalam menjadi orang yang curhat. Di atas semuanya ini,
saya ingin kembali mengingatkan, bahwa kesehatan mental adalah salah satu isu
penting yang harus diperhatikan, terlebih lagi di masa sekarang ini. Isu
kesehatan mental memang belum seterkenal itu, setidaknya dibandingkan dengan
isu kesehatan fisik, apalagi untuk konteks di Indonesia. Karena itu, kita
justru harus memberi perhatian lebih, untuk
belajar tentang isu ini dan untuk mengusahakannya terjadi. Kiranya kita bisa
sama-sama saling mendukung semampu kita untuk
menjaga kesehatan mental masing-masing.
No comments: