Soal Curhat & "Emotional Cost"

March 31, 2018

Sungguh tidak mudah menjadi psikolog, psikiater, konselor maupun terapis. Belakangan ini, setelah semakin terpapar mengenai kajian ilmu psikologi di komunitas, saya semakin menyadari bahwa pekerjaan-pekerjaan ini termasuk pekerjaan yang paling berat untuk dilakoni. Emotional cost, alasannya. Jangan pikir bahwa pekerjaan psikolog, psikiater, konselor maupun terapis hanyalah sekedar mendengarkan curahan hati orang lain. Jangan pikir juga bahwa pekerjaan mendengarkan curahan hati orang lain itu mudah. Pekerjaan mendengarkan curahan hati orang lain ternyata bisa berdampak serius terhadap kondisi kesehatan mental pendengarnya, khususnya untuk masalah-masalah kehidupan yang sangat berat untuk ditanggung.

Photo by Andrea Tummons on Unsplash
Emotional cost memang bukan hal yang bisa dipandang sebelah mata. Bahkan, jika kita tidak berprofesi sebagai psikolog, psikiater, konselor maupun terapis–dan mungkin ‘hanya’ berperan sebagai seorang kawan yang mendengarkan curahan hati kawan yang lain. Selalu akan ada semacam ‘harga emosional’ yang harus kita tanggung ketika mendengarkan curahan hati seseorang. ‘Harga emosional’ ini seperti dampak psikologis yang kita rasakan ketika kita mencoba berempati dengan apa yang dialami dan dirasakan kawan kita. Semacam “terbawa perasaan”. Seperti ikut feeling blue, ikut stres, ikut bingung, ikut feeling down. Khususnya, jika kita lupa memberi batasan dan kondisi emosional-psikologis kita memang sedang kurang baik ketika mendengarkan curhat teman kita. Karena itu, penting sekali untuk kita memberikan batasan dan tak lupa merawat diri sendiri (self-care). Baik sebagai orang yang curhat, apalagi yang mendengarkan curhat.

Saya sendiri mungkin pernah melakukan keduanya di masa lalu: lupa memberikan batasan ketika menjadi orang yang curhat pun ketika menjadi orang yang mendengarkan curhat. Akhirnya, saya harus mengakui, saya merasa lelah dan juga melelahkan orang lain. Ini sungguh tidak baik. Berpengaruh pada relasi? Pasti. Emotional cost secara khusus juga bisa berdampak sangat parah bagi para highly sensitive person dan para empathsaya termasuk highly sensitive person, tetapi tidak termasuk empath. Karena sangat mudah berempati, sensitif, dan terhubung dengan perasaan orang lain, ‘tabungan’ emosi yang cenderung negatif (sedih, marah, kesal, bingung, tertekan, dst) dari emotional cost tentu bisa sangat melelahkan dan berefek domino terhadap kehidupan personal.


Menjadi Orang Yang Mendengarkan Curhat

Harus tahu menjaga batas dan harus peka terhadap kondisi mental sendiri—menurut saya dua hal ini sangat penting bagi orang yang mendengarkan curhat. Jadi, jika kondisi mental sendiri sedang tidak baik, lebih baik untuk memohon maaf kepada teman untuk tidak bisa mendengarkan curhat sampai kondisi mental sendiri membaik (kalau memang temanmu benar-benar sedang merasa sangat tertekan dan butuh curhat, bantu dia terhubung ke tenaga ahli seperti konselor/psikiater/psikolog sesuai kebutuhannya, atau ke teman yang lain). Ini jalan terbaik. Karena jika memaksakan diri, dari pengalaman pribadi, saya justru semakin lelah dan tertekan—karena harus menanggung beban emosi sendiri, juga beban emosi orang lain (emotional cost). Di sisi lain, ketika kondisi mental kita juga tidak baik dan kita mencoba menolong orang lain untuk lebih baik, hasilnya tidak akan efektif. Bisa saja ada trigger yang membuat emosi kita tumpah tanpa diduga dan tanpa bisa kita kontrol. Curhat malah berujung perselisihan karena hal ini, aduh lebih baik jangan.

Photo by Becca Tapert on Unsplash
Tentang batasan, juga sangat penting. Saya selalu berulang kali mengingatkan diri sendiri: kita tidak bisa menanggung beban hidup orang lain sepenuhnya. Membantu ya, menanggung semua, tidak. Orang-orang yang empatinya tinggi selalu ingin membantu orang lain yang datang curhat semaksimal mungkin, supaya bisa meringankan beban masalahnya. Namun, ada kalanya memang kita tidak sanggup membantu dan tidak apa-apa. Kita memang tidak bisa selalu menjadi jawaban bagi masalah semua orang. Orang-orang yang empatinya tinggi pun memiliki tendensi untuk sangat terhubung dengan emosi dan pengalaman orang lain yang datang curhat, sampai-sampai setelah curhat selesai, kita masih terus memikirkan dan merasakan emosi, masalah, dan pengalaman itu. Jangan, kita perlu mengingat bahwa kita punya kehidupan sendiri, dengan bebannya sendiri, yang harus dijalani. Masalah itu juga hanya satu bagian dari kehidupan, jangan lupa melihat bagian yang lain.

Sebagai orang yang mendengarkan curhat, kita juga perlu tahu bahwa ada beberapa orang yang memiliki tendensi untuk menjadi toxic friends atau emotional vampires. Toxic friends biasanya berlaku sangat egois dan fake (pura-pura dan palsu, bisa saja menusuk dari belakang dengan gosip yang mereka sebar tentang kita—meski mereka kadangkala memuji-mengapresiasi kita di depan), cenderung mendominasi seluruh percakapan (jadi hanya dia yang melulu curhat tanpa memberi ruang untuk sebaliknya kita bisa curhat padanya juga), tidak menyampaikan kritik yang membangun atau selalu menyampaikan kritik dalam cara yang harsh meski ada benarnya (tidak bisa berempati), ketika konflik terjadi selalu akan melihat bahwa ada yang salah dengan kita dan bukan dia. Karena hal-hal ini, berelasi dan bersahabat dengan toxic friends menempatkan kita dalam semacam emotional roller coaster, dimana toxic friends memegang kendalinya.

Mirip dengan toxic friends, emotional vampires juga cenderung mendominasi percakapan. Namun, bedanya, emotional vampires menyerap emosi positif kita dan mengubahnya menjadi negatif. Tentu ini bukan karena kekuatan supernaturalnya, tetapi melalui interaksi sosialnya dengan kita. Emotional vampires cenderung berpikiran pesimistik dan negatif, berpikir bahwa dalam setiap masalahnya ia adalah korban, merasa frustasi dengan hidupnya, selalu meminta dan membutuhkan waktu yang jauh lebih banyak daripada teman-temanmu yang lainnya. Karena ia menyerap emosi positif dan mengubahnya jadi negatif, setelah berinteraksi dengan emotional vampires, kita juga justru lebih merasakan kelelahan, kuatir, dan tertekan.

Kita perlu peka mengenali dan jangan ragu untuk memutus relasi jika teman yang (terus-menerus) curhat ini berlaku sebagai toxic friends atau emotional vampires, bahkan tanpa ia sadari. Apalagi, sebagai seorang teman, jika kita sudah mencoba jujur dalam cara yang baik dan ia tetap tidak bisa menerima atau berusaha ingin berubah. Kita harus ingat bahwa toxic friends atau emotional vampires dapat memberi dampak psikologis dan emotional cost yang tidak sepele bagi kita, khususnya dalam jangka waktu panjang.

Photo by Harli Marten on Unsplash
Menjadi Orang Yang Curhat

Tahu diri. Mungkin dua kata ini cukup untuk menggambarkan apa yang harus dilakukan ketika kita menjadi orang yang curhat. Tahu diri, dalam arti kita tidak menempatkan diri kita sebagai orang yang selalu butuh bantuan dan orang lain harus menolong kita, bagaimanapun juga. Kita harus menjaga ekspektasi kita tetap dalam batasan wajar dan tidak berlebihan. Kita tidak bisa menuntut mereka selalu ada atau selalu siap menolong kita. Kita harus menyadari bahwa orang lain pun juga manusia seperti kita, yang memiliki kondisi dan kebutuhannya sendiri. Sama-sama tidak sempurna dan sama-sama bisa tidak berdaya. Mereka juga tidak bebas dari masalah atau beban hidup. Teman, sahabat, pacar, atau keluarga kita bukanlah sosok superhero yang bisa selalu kita andalkan setiap saat dalam kemanusiawiannya.

Kita juga butuh mengenali batasan. Kita butuh mengenali apakah jangan-jangan kita sudah menjadi toxic friends atau emotional vampires bagi orang lain. Berbagi curahan hati tidak salah, tetapi jika sampai sudah merugikan orang lain, saya pikir kita harus mulai mengintropeksi diri dan mengubah apa yang harus diubah. Mungkin yang harus kita ubah adalah cara pandang kita terhadap masalah, yang selama ini terlalu pesimistik sehingga nyaris selalu feeling blue atau feeling down—sampai berdampak negatif pun ke teman yang mendengarkan curhatan? Mungkin kita harus belajar untuk melihat masalah dari sudut pandang yang lain, yang lebih positif. Mungkin kita harus mengurangi intensitas curhatan kita. Jangan sedikit-sedikit ada masalah, mengeluh, dan ditumpahkan ke orang lain. Kita harus ingat setiap curhatan memberikan emotional cost pada orang yang mendengarkan. Kita tidak boleh menjadikan orang lain semacam ‘tempat sampah’ untuk emosi kita. Jika bisa diatasi sendiri, mengapa tidak coba diatasi sendiri dulu? Atau, kita bisa menggunakan jurnal sebagai alternatif curhat ke orang lain. Kita juga perlu belajar mengandalkan diri sendiri. Kita perlu menjadi kawan yang baik bagi diri sendiri.

Tak salah juga untuk menanyakan lebih dahulu kepada teman kita, apakah dia sedang available, sedang dalam kondisi yang siap dan baik untuk mendengarkan curhatan kita atau mungkin tidak. Jangan langsung menumpahkan semua cerita ke depan wajahnya, tanpa mencoba mencari tahu lebih dahulu kondisi teman kita. Siapa tahu dia juga sedang burned out dan justru butuh diberikan ruang untuk istirahat, bukannya beban emosional yang semakin melelahkannya. Teman harus saling memahami, kan?


Jadi?

Jadi, saya pun masih berusaha. Untuk lebih bijak dalam mendengarkan curhat atau dalam menjadi orang yang curhat. Di atas semuanya ini, saya ingin kembali mengingatkan, bahwa kesehatan mental adalah salah satu isu penting yang harus diperhatikan, terlebih lagi di masa sekarang ini. Isu kesehatan mental memang belum seterkenal itu, setidaknya dibandingkan dengan isu kesehatan fisik, apalagi untuk konteks di Indonesia. Karena itu, kita justru harus memberi perhatian lebih, untuk belajar tentang isu ini dan untuk mengusahakannya terjadi. Kiranya kita bisa sama-sama saling mendukung semampu kita untuk menjaga kesehatan mental masing-masing.

No comments:

Powered by Blogger.