Ketika Penderitaan Datang
Ketika penderitaan datang, kadang kala orang yang
mengalami-merasakan tak butuh penghiburan. Bahwa badai pasti berlalu. Bahwa ini
hanya sementara. Bahwa hal yang baik nanti akan tiba. Ketika penderitaan
menghantam, kadang kala orang yang mengalami-merasakan tak butuh
nasehat-nasehat ideal kehidupan. Bahwa ini adalah karena satu-dua hal yang tak
seharusnya diperbuat. Bahwa yang harus dilakukan kemudian adalah ini dan itu.
Bahwa ini mungkin adalah konsekuensi kesalahan masa lalu. Ketika penderitaan
menghajar, orang yang mengalami-merasakan hanya butuh dukungan dan
pengertian. Bahwa ini memang berat untuk dihadapi. Bahwa ini memang
adalah penderitaan yang tak mudah dilalui. Lalu, tak banyak kata-kata
lagi. Mereka hanya membutuhkan rangkulan atau pelukan. Mereka hanya membutuhkan
kehadiran orang lain untuk meringankan beban. Atau mungkin juga mereka hanya
perlu sementara diberi waktu sendirian.
Ketika penderitaan datang, dan itu sulit dijelaskan, kadang kala
orang yang mengalami-merasakan tak perlu diberikan romantisasi spiritual. Bahwa
Tuhan turut bekerja dalam segala. Bahwa bagaimanapun akhirnya segala
penderitaan itu terjadi untuk kebaikan kita selalu. Bahwa pasti akan ada yang
baik dalam yang buruk. Romantisasi spiritual itu kadang kala terlalu berat
diterima akal sehat. Hendaknya kita ingat, tak ada orang yang dalam setiap
kondisi selalu memiliki mental yang kuat. Penderitaan pun mungkin benar-benar
dirasa terlalu berat. Kematian seseorang yang terdekat. Kekerasan seksual.
Perang, teror dan pembunuhan. Pengkhianatan. Peminggiran secara sosial.
Kecelakaan. Kemiskinan dan kemelaratan. Ketidakadilan. Bagaimana kita bisa
menjelaskan? Bagaimana kita bisa mengatakan itu mendatangkan kebaikan? Mengapa
rasa kecewa, sedih, bingung, dan segala emosi yang katanya negatif itu harus
selalu disangkal menjadi positif? Mengapa tak diakui untuk coba dilewati?
Ketika penderitaan datang, dan itu sulit untuk dilalui, kadang
kala orang yang mendampingi memang tak bisa mengerti. Mungkin karena belum
mengalami. Mungkin karena belum meresapi dalam empati. Mungkin karena tidak
memahami bahwa resistensi mental setiap orang memang berbeda-beda adanya dan
tak bisa disamaratakan begitu saja. Bisa dimaklumi, tapi bisakah orang yang
mendampingi mencoba mengerti tanpa harus menambah khotbah di sana-sini? Apalagi
jika mereka yang mengalami sebenarnya sudah bilang, ia tak ingin dihibur dengan
romantisasi spiritual saat ini. Mengapa sulit untuk mencoba mengerti? Mengapa
sulit untuk berhenti dan hanya hadir sepenuh hati? Tanpa banyak komentar atau
nasehat yang justru lebih membebani hati?
Ketika penderitaan datang, kadang kala orang yang
mengalami-merasakan hanya perlu didukung dan diingatkan. Bahwa tak apa untuk
menangis sampai sesegukan. Bahwa tak apa untuk mengeluh akan beratnya
kehidupan. Bahwa tak apa untuk kecewa, kesal, dan marah akan apa yang tampak
membingungkan. Bahwa tak apa untuk mengakui bahwa kita sudah tak kuat lagi,
bahwa semangat dan kekuatan kita memang sudah roboh diterpa badai penderitaan
ini. Bahwa tak apa untuk mengambil waktu untuk tidak mempositifkan segala
sesuatu. Emosi yang katanya negatif itu juga adalah bagian dari kehidupan.
* * *
Penderitaan, siapa yang bisa mengerti jalannya? Kita bukan Tuhan.
Kita hanya orang yang sayang dan mencoba menjadi dukungan kepada yang
mengalami-merasakan. Semoga rasa sayang itu tak disampaikan dalam cara yang
salah lagi di kemudian hari. Semoga rasa sayang itu mendorong kita untuk lebih
mengerti dan berempati. Di tengah penderitaan, mendoakan lebih baik daripada
mengkhotbahi.
p.s. :
Sebuah tulisan empati untuk semua yang sedang mengalami penderitaan yang sulit dipahami. Kota Depok, Maret 2018.
No comments: