Merayakan Pertemanan, Persahabatan & Persaudaraan
Belakangan ini, saya menyadari. Bagi seseorang yang
pernah mengalami kisah yang kurang
menyenangkan, atau sebutlah kegagalan, dalam cerita pengalaman pertemanan,
persahabatan, atau persaudaraan, tidak mudah memang untuk tetap bersikap positif terhadap setiap relasi yang masih atau akan
dijalani. Trust issue adalah masalah
yang tak sepele untuk dihadapi. Ketakutan-kekuatiran seperti, “apakah relasi
pertemanan, persahabatan, atau persaudaraan ini bisa manjang langgeng dan tidak berubah sampai kemudian hari di masa
depan nanti?” atau, “apakah teman, sahabat, saudara saya ini akan pergi
meninggalkan saya juga seperti yang dulu itu?” atau, “apakah saya bisa percaya
sepenuhnya pada orang yang sudah saya anggap teman, sahabat, atau saudara ini
dalam segala hal dan dia takkan menghakimi atau mengkhianati?”
Saya menghadapi kisah serupa di usia 20-tahun-sekian saya.
Dulu, saya adalah orang yang sangat positif terhadap
pertemanan, apalagi persahabatan. Sejak masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak
(TK), saya menyadari, saya mulai menjadi seorang anak yang friendship-oriented. Di setiap jenjang
pendidikan, saya pasti punya teman dekat atau peer group. Sebagai seorang introvert
child, saya memang tidak bisa menggolongkan diri sebagai anak yang sangat
senang bergaul kemana-mana. Namun, saya memiliki inner circle sendiri, yang saya pun susah menjelaskan bagaimana
pertama kalinya saya bisa bertemu, berkenalan, berteman dan bersahabat dengan
mereka itu. Mungkin memang relasi-relasi sosial lahir tanpa direncanakan, sealami itu. Saya melihat teman-teman,
sahabat-sahabat saya, pun relasi kami, sangat positif adanya. Saya menghargai
mereka dan bersyukur untuk keberadaan dan keterlibatan mereka di dalam hidup
saya. Sampai saya menginjak usia 20-tahun-sekian dan menghadapi satu realita
yang sangat sulit saya terima. Pengalaman pertama kehilangan relasi pertemanan,
persahabatan, dan persaudaraan. Ketika mereka yang kita anggap teman, sahabat,
saudara berubah jadi lawan dan musuh? Tentu
tidak mudah.
Sejak itu, saya harus mengakui saya memiliki trust issue yang tinggi terhadap relasi
pertemanan, persahabatan, dan persaudaraan. Saya takut, ketika saya sudah
percaya, saya sudah terbuka, saya sudah bercerita, hal-hal yang sebenarnya sulit
dibagikan atau diceritakan – di ujung kisah, relasi berubah dan teman, sahabat,
saudara, berubah pula menjadi stranger, lawan,
dan musuh. Saya tak ingin lagi dihakimi atau dibicarakan diam-diam di belakang,
bahkan di depan saya. Saya tak lagi sepositif itu terhadap relasi pertemanan,
persahabatan, atau persaudaraan. Dengan alasan “prepare myself for the worst”,
saya menjadi lebih skeptis dan pesimis, saya menjaga diri untuk tak
berekspektasi lebih terhadap relasi dan kadangkala malah jadi terdorong untuk lebih cepat kecewa secara diam-diam
terhadap satu-dua hal yang terjadi dalam relasi, yang mengingatkan saya pada
trauma masa lalu itu.
Saya berpikir, ya
sudah. Kemungkinannya besar saya bisa kehilangan mereka lagi, atau mereka berubah,
atau kami menjadi tidak cocok lagi. Tidak usah terlalu positif menanggapi
setiap relasi ini.
Namun, setelah berproses dalam sebuah perjalanan yang
tak mudah, saya menyadari bahwa pemikiran negatif saya ini membunuh saya pelan-pelan.
Akibat pemikiran yang cenderung negatif, skeptis, dan
pesimistik terhadap relasi pertemanan, persahabatan, dan persaudaraan yang
masih saya jalani, saya luput memperhatikan dan mengapresiasi hal-hal baik di
dalamnya – yang ternyata banyak sekali.
Saya jadi tidak menikmati perjalanan saya. Saya menanggung beban yang seharusnya bisa untuk tidak saya
tanggung. Saya mengecewakan teman, sahabat, saudara, yang dengan hati dan
niat yang tulus berelasi dengan saya, melalui sikap skeptis-pesimistik yang
kadang terekspresikan begitu saja. Saya merasa jahat, untuk menuduh mereka
(meski kebanyakan hanya di dalam hati) akan
melakukan sesuatu yang bisa jadi tidak
akan pernah mereka lakukan di masa depan nanti.
Saya lalu berpikir, mengapa saya fokus terhadap
kemungkinan yang buruk jika saya masih memiliki kemungkinan yang baik?
Saya merenung ulang. Untuk sahabat-sahabat dan
saudara-saudara saya, misalnya. Relasi kami sudah bertahan lebih dari lima
tahun, bahkan lebih dari sepuluh tahun. Waktu juga, katanya, merupakan salah
satu bukti otentik dari relasi. Loyalitas, itu penting. Selama bertahun-tahun
itu, cerita ups downs pasti ada saja,
kadang akrab sekali dan kadang bisa jadi berjarak karena lokasi dan situasi.
Kadang sangat seiya sekata dalam banyak hal, tetapi juga kadang bisa terlibat
pro dan kontra akan satu-dua hal. Kadang bisa sangat saling mendukung dan
menyemangati, tapi kadang pula sama-sama tak bisa memenuhi ekspektasi satu sama
lain dalam limitasi masing-masing. Yang jelas, saya dan mereka masih terus
kembali. Merespon timbal-balik. Relasi apapun, termasuk pertemanan,
persahabatan, dan persaudaraan, adalah hubungan dua arah kan? Tentu tak bisa
satu arah saja. Selama keduanya masih menjaga hubungan ‘saling’ dalam
pengertian akan satu sama lain, relasi terus terjalin.
Karena itu, saya memilih untuk merayakan pertemanan,
persahabatan dan persaudaraan. Untuk menjadi seorang yang positif, daripada
negatif. Untuk mengasihi dan mendukung dengan tulus, daripada berelasi dengan
ketakutan dan kekuatiran. Untuk lebih leluasa memberi daripada berekspektasi
menerima. Untuk memilih mempercayai, daripada mencurigai. Untuk belajar menjadikan cerita kehilangan
masa lalu sebagai kisah evaluatif agar tak lagi mengulangi kesalahan yang sama,
dan tak perlu menjadikannya batu sandungan untuk cerita-cerita pertemanan,
persahabatan, dan persaudaraan baru yang bisa tercipta selanjutnya. Untuk fokus
melihat kemungkinan yang baik, daripada kemungkinan yang buruk.
P.S. :
Di akhir tulisan ini, meski saya tidak tahu apakah
tulisan ini akan sampai dibaca oleh mereka – tetapi saya ingin mengungkapkan
rasa terima kasih saya, untuk setiap teman baik, sahabat, dan saudara saya yang
terekam (maupun mungkin yang belum atau
tidak terekam) dalam foto-foto di
halaman ini. Terima kasih untuk momen dan tahun yang telah dijalani dalam ups downs, suka dan duka, meski kadang
lelah tetapi tidak menyerah. Terima kasih, karena telah, masih, dan terus
bersama-sama saya. I am thankful to may
know all of you. Wish you all the best in life :)
No comments: