Feminis & Rendah Hati
Illustration by Carol Rossetti |
Menjadi rendah hati bukan berarti menjadi bodoh
atau tidak bicara tidak beraksi. Rendah hati adalah soal cara,
sikap hati dan reaksi.
(My Very Own Reflection: Aug 30,
2017)
Ada satu pernyataan-sekaligus-pertanyaan (saya merasa tone-nya seperti itu) dari salah satu kawan saya yang benar-benar menggugah saya kemarin. Kami sedang berbincang santai-tapi-serius mengenai gerakan perempuan dan gerakan feminisme di Indonesia, dalam ruang evaluatif yang menurut saya memang diperlukan. Kawan saya ini, yang adalah seorang laki-laki, kemudian mengatakan, dengan nada suara yang lebih menyiratkan kekecewaan mendalam dan sama sekali bukan kritik pedas : kok gue rada kecewa ya ketemu beberapa kelompok feminis di aksi kemarin?
Saya bertanya, kenapa? Dengan nada yang lebih mencoba berempati dan ingin mengerti, daripada langsung merasa defensif. Kawan saya bercerita bahwa ia sendiri selama ini merasa sangat pro dengan gerakan perempuan, tetapi di aksi itu, ia merasa terkejut ketika bertemu kelompok atau individu yang mengklaim diri feminis tetapi membawa poster dengan nada yang kelewat ofensif terhadap kaum bukan-perempuan (ya, terhadap seluruh laki-laki tanpa terkecuali – ya, laki-laki dan bukan budaya patriarkhinya). Ini seperti jadi meninggikan kelompok yang satu lebih dari kelompok yang lain, menurut kawan saya. Kawan saya berkata-dan-bertanya, bukannya feminisme adalah soal kesetaraan?
Saya tidak bisa mengatakan saya tidak mengerti. Saya tahu, dia,
sebagai seorang laki-laki, yang tidak patriarkhi dan justru mendukung gerakan
perempuan meski tak bisa menyebut diri male feminist, merasa
poster atau slogan seperti itu sangat generalitatif sekali. Sepertinya
perempuan merasa diri kelompoknya yang jauh lebih baik, dan laki-laki manapun tak
bisa masuk dalam kelompok itu. Ia kecewa. Saya pun tak bisa mengatakan saya
tidak kecewa. Saya tidak kecewa karena kawan saya kecewa, saya kecewa karena
menyadari memang benar ada hal-hal yang cenderung sangat misoandris disini dan
itu tidak benar. Masalahnya, hal misoandris disuarakan oleh beberapa rekan yang
tidak saya kenal, yang mengaku diri feminis di dalam sebuah aksi gerakan
feminis.
* * * * *
Tulisan saya ini mungkin akan sangat pro & con untuk
sebagian orang. Apalagi, membahas tentang isu gerakan feminis di Indonesia.
Saya minta maaf sebelumnya, jika sekiranya kita tidak sepaham – tulisan ini
ditujukan sebagai ruang refleksi saya pribadi yang ingin sedikit saya utarakan.
Saya memang masih sangat pemula dalam gerakan feminis, karena itu saya masih
perlu sangat-banyak belajar. Cheer me up for my
learning process, please? :)
* * * * *
Saya ingin menjadi seorang feminis yang rendah hati. Setelah
perbincangan dengan kawan saya itu, saya melakukan refleksi personal mendalam
dengan diri sendiri tentang apa yang saya lihat terjadi belakangan ini dalam
gerakan feminis. Arogansi, mungkin memang menjadi bagian dari kedirian beberapa
orang ketika berbicara mengenai gerakan ini. Arogansi dalam arti, merasa
kelompoknya paling benar dan selalu benar. Apalagi jika “diserang” oleh
argumentasi pihak seberang yang pro patriarkhi setengah mati. Saya tentu tak
bermaksud membela kelompok pro-patriarkhi, argumentasi kelompok pro patriarkhi
memang mengesalkan kelompok perempuan. Kita merasakan duka mendalam karena
perbuatan ketidakadilan gender dan kelompok ini meremehkan dan menyederhanakan
yang kita suarakan dan utarakan sebagai respon. Namun, harus saya akui,
kadangkala cara kita bersuara terasa kurang tepat saja (menurut saya, bisa jadi
berbeda menurut feminis yang lain). Khususnya ketika berpikir bahwa feminisme
tidak bercacat cela. Kita ngotot, kita bersitegang, kita melawan sampai dicap
“feminis galak” oleh kelompok seberang. Lupa, feminisme juga terus berkembang.
Dan saya juga pernah begitu.
Saya bukan mengatakan tidak boleh melawan. Jelas, kita harus
melawan. Saya masih sangat percaya, bahwa patriarkhi yang mensistemisasi
masalah ketimpangan, ketidakadilan, dan keterpinggiran, memang jelas-jelas
harus dilawan. Namun, melawan dapat dilakukan melalui banyak strategi yang bisa
kita modifikasi secara berkelanjutan. Ada konteks kondisi dan situasi pula yang
harus dipertimbangkan. Saya hanya berpikir betapa baiknya kita memakai strategi
yang tepat sesuai konteks kondisi-situasi yang sedang dihadapi.
Menjadi feminis dan rendah hati menurut saya menyangkut sikap
hati. Bahwa saya tak semata-mata ingin membela kaum perempuan, tetapi ingin
kesetaraan terealisasi. Jadi, gerakan ini memang tak hanya menyoal soal
perempuan, tetapi pun laki-laki, dengan cita-cita menciptakan dunia yang lebih
setara bagi semua. Ketika kesetaraan menjadi tujuan, saya kira kita memang
harus lebih banyak membuka ruang diskusi, dengan kerendahan hati. Banyak
mendengar, berpikir, dan berefleksi. Tak defensif, pun tak ofensif, terhadap
kelompok yang berargumentasi seberang dengan saya – tentu sesuai situasi.
Jika harus ofensif, tak jatuh pada sesat pikir (logical fallacy)
: serang argumentasi laki-laki patriarkhi, bukan pribadi semua laki-laki.
Belajar dengan objektif mengevaluasi gerakan sendiri. Lalu, mengungkapkan
kebenaran yang kita percayai dalam cara paling tepat untuk bisa dapat didengar
dan diterima pihak lain (psychological
speaking).
* * * * *
Tidak pernah mudah untuk menjadi
rendah hati.
Kita perlu hati yang lebih luas dan lapang, dalam melihat
setiap situasi, pihak lain & aksi.
Kita perlu hati yang lebih luas dan lapang, dalam melihat
setiap situasi, pihak lain & aksi.
(My Very Own Reflection: Aug 30,
2017)
Saya ingin menjadi feminis dan rendah hati (dalam defenisi di atas
tadi). Secara pribadi, saya percaya bahwa kerendahan hati adalah salah satu
kunci untuk dapat menjangkau lebih banyak orang, agar dapat memahami, menerima,
bahkan mendukung gerakan perempuan dan kesetaraan. Rendah hati bukan berarti
diam, atau selalu mengalah. Rendah hati adalah sebuah strategi juga untuk melawan
patriarkhi dan ketidakadilan yang tengah terjadi.
Feminisme adalah sebuah gerakan yang dinamis dan berkembang. Pros cons, dalam
gerakan ini, adalah salah satu daya kekuatan yang memungkinkan perkembangan itu
terjadi. Refleksi dalam tulisan ini, saya harap, bisa menjadi seperti itu.
Setidaknya, untuk saya, secara pribadi. Tentu, saya tak bilang semua harus
seperti ini, menjadi feminis dan rendah hati. Itu tergantung perjalanan dan
pilihan strategi gerakan masing-masing. Nah saya, memilih strategi ini. Saya
memilih (berusaha) menjadi feminis dan rendah hati. Once again, cheer
me up ;)
No comments: