Bermedia Sosial & Sayang Diri Sendiri
Saya tak pernah kebayang
bahwa perkembangan social media yang
berbanding lurus dengan perkembangan teknologi dan internet saat ini bisa segila saat ini. Sepuluh tahun+ lalu, di
usia remaja saya, saya ingat social media
baru merintis jalannya. Belum ada aplikasi chat seperti Whatsapp atau LINE,
paling banter hanya Yahoo! Messenger dan BBM. Facebook dan Instagram juga belum
mewabah seperti sekarang. Saya masih kenal zaman Friendster meraja saat itu.
Tapi ya, begitu saja. Maksud saya, penggunanya tak sebanyak sekarang. Mungkin
pun kebanyakan anak muda dan remaja. Sekarang? Setelah gadget smartphone menjadi trend yang menjangkau usia dewasa dan
orang tua, sepertinya sedikit sekali orang dewasa dan orang tua yang tidak
memiliki setidaknya akun Facebook.
Perkembangan ini tentu
saja tak selalu baik. Memang banyak sekali sisi positifnya, seperti kemudahan
akses informasi. Dalam gerakan sosial pun, social
media menjadi platform yang
sangat baik untuk membangun jaringan. Namun, tak bisa disangkal, perkembangan social media berpengaruh sangat
signifikan terhadap kesehatan mental generasi penggunanya sekarang. Seperti dikutip dari Kompas.com, Instagram sendiri, menurut penelitian, menjadi salah satu social media yang paling buruk untuk kesehatan mental. Instagram ternyata berpotensi menimbulkan kecemasan tinggi, depresi, bullying, sampai FOMO (fear of missing out, fobia ketinggalan berita di media sosial). Saya kira ini masuk akal, karena Instagram
lebih banyak bermain dengan foto dan gambar visual. Comparison, memang adalah hal yang paling berbahaya.
Secara pribadi, saya tak
bisa menyangkal bahwa saya juga mengalami dampak buruk social media untuk kesehatan mental saya. Kadangkala, saya merasa
sangat lelah untuk social media. Apalagi,
jika sudah bertemu dengan post penuh hate comments tentang satu isu, meski
bukan di halaman pribadi akun saya. Intoleransi, contohnya. Pun pembajakan
privasi tanpa batas dan segala hal yang jadi selalu ditumpahkan di social media. Kasus pelakoran belakangan
yang diunggah ke social media? Saya
tak tahu harus berkata apalagi. Meski begitu, saya masih berpikir bahwa social media sebenarnya bisa menjadi
sangat bermanfaat jika dipergunakan secara benar dan dalam batasan sehat. Apapun
yang dikonsumsi berlebihan memang tidak baik. Tak terkecuali social media.
Di tulisan kali ini, hanya
ingin bercerita tentang beberapa strategi ber-social media yang saya lakukan selama ini, sebagai upaya menyayangi
diri sendiri. Siapatahu bisa menolong teman-teman yang membaca tulisan ini.
Bagaimanapun, kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik ;)
1. Knowing your
limit
Kita perlu tahu dan kenali batasan diri sendiri. Maksud saya, kita harus tahu kapan kita sudah merasa
lelah atau jengah, kita harus mengenali setiap negative feelings yang muncul di dalam diri kita ketika bermedia
sosial. Kenali juga apa saja yang biasanya menjadi triggers di social media, dari kelelahan, kejengahan, atau negative feelings yang muncul itu. Mungkin itu ketika membaca instagram stories dari akun tertentu? Atau ketika kita terlalu
banyak membaca hate comments di
halaman diskusi isu tertentu?
2. Mental health
awareness, & no comparison
Karena isu ini sangat
erat kaitannya dengan masalah kesehatan mental, kita perlu tahu banyak dan
memiliki kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental. Namun, saya sadar isu
kesehatan mental masih jauh dari populer dan dikenal di Indonesia. Mungkin itu
juga penyebab mengapa seseorang bisa sangat kecanduan social media yang sebenarnya sudah berdampak sangat buruk terhadap
kesehatan mentalnya, tetapi ia tak berhenti juga. Misalkan sebenarnya kita sudah mulai terkena gangguan kecemasan awal karena dampak social media, tapi karena kita tidak tahu apa itu gangguan kecemasan dan gejalanya, kita abai saja. Karena itu, kita perlu tahu
dan sadar. Pun prinsip yang terpenting dalam bermedia sosial menurut saya, no comparison. Jangan membandingkan diri
kita, hidup kita, dengan orang lain. Ingat, bahwa tak semua yang dibagikan
orang di social media itu adalah hal
yang sebenarnya terjadi. Atau, itu hanya sebagian kecil dari diri dan hidup
mereka. Sama juga halnya dengan kita.
3. Share the
private things to inner circle only
Trust issue adalah
salah satu masalah lainnya jika bicara tentang media sosial. Kita tidak akan
pernah tahu apa yang dipikirkan orang lain ketika melihat apa yang kita unggah
disana. Menilai buruk? Bisa jadi. Menghakimi? Bisa jadi. Bahkan bullying? Banyak terjadi. Karena itu,
penting untuk menyadari bahwa kita perlu bijak memilah apa yang harus dan apa
yang tidak harus dibagikan di media sosial. Jikalau ingin membagikan hal
personal di media sosial, kita bisa menggunakan menu seperti closed friends list di Instagram Story, atau membatasi siapa
saja yang bisa melihat post personal
kita di media sosial. Yang terpenting, bagikan hal personal hanya pada mereka yang sudah terbukti bisa
dipercaya. Mengatur agar akun kita private juga menurut saya penting jika memang kita merasa insecure dengan penilaian orang lain terhadap apa yang kita bagikan di media sosial.
4. Unfollow atau
mute akun yang membuat tidak nyaman
Mengakui perasaan sendiri
bahwa kita tidak nyaman tentang sesuatu ketika bermedia sosial itu penting.
Mungkin ada perspektif yang tidak cocok dengan kita. Mungkin ada post dari beberapa teman yang sering
menjadi triggers dari negative feelings kita. Jangan ragu
untuk mengakuinya dan memilih untuk unfollow
atau mute akun-akun itu. Apalagi
kalau hal ini sudah terjadi berulang-ulang. Pada akhirnya, kesehatan mental
sendiri adalah hal terpenting yang benar-benar harus kita beri perhatian.
5. Bermedia sosial dengan tujuan jelas
Pernah mengalami scrolling social media dan tak terasa berjam-jam
sudah berlalu? Lalu ternyata ketika scroll,
ada triggers yang membangkitkan negative feelings kita? Akhirnya berujung dengan acak adul perasaan dan pikiran? Kalau saya,
sedang membiasakan diri untuk bermedia sosial dengan tujuan jelas. Kecuali
memang sedang santai dan punya banyak waktu serta tenaga untuk scrolling, tentunya. Kalau tidak, saya
biasanya hanya membuka media sosial dengan tujuan spesifik seperti : balas chat kawan, cek informasi dari official accounts tertentu, membaca
berita, merileksasi pikiran dengan lihat akun menghibur, atau menggunggah
sesuatu yang penting. Kita juga perlu sekali menetapkan berapa lama waktu yang
harus kita gunakan sekali membuka satu app
media sosial tertentu. Ini membantu kita untuk lebih efektif dan positif bermedia
sosial.
6. Media sosial sebagai sarana hiburan
Daripada membiarkan media
sosial memberi input serta triggers untuk segala negative feelings karena scroll acak kita, mengapa tidak
memanfaatkannya untuk hal sebaliknya? Menjadikan media sosial benar-benar
sebagai sarana hiburan menurut saya penting. Misalkan, saya selalu terhibur jika melihat foto dan
video kucing-kucing lucu di Instagram. Kadangkala juga komik-komik strip dari talented artist. 9GAG juga salah satu
yang paling menghibur dengan kontennya yang kocak gila. Atau saya tahu saya
lebih nyaman dengan Twitter daripada Instagram dan Facebook, karena lebih
ringkas dan lebih banyak informasi yang signifikan (tak banyak orang yang post foto selfie atau wefie, wk).
Juga Pinterest, yang bisa lebih menolong saya mencari inspirasi ide kreatif
untuk coping stress, misalnya. Saya
pikir, kita perlu membiasakan diri untuk membuka media sosial hanya untuk membuka apps yang dirasa lebih positif dan mencari akun-akun menghibur
seperti ini. Jadi semacam mood booster juga kan.
7. Mute
notifications, log out atau uninstall
apps
Salah satu hal yang
paling sulit adalah meninggalkan kebiasaan yang sudah serta-merta mengklik apps
social media ketika kita memegang smartphone. Apalagi jika notifikasi
menyala dan jadi banyak serta ribut sekali. Biasanya saya memilih untuk mute notifications dan hanya
menghidupkan notifikasi untuk hal-hal urgensi tertentu dari media sosial,
misalkan Whatsapp group kantor atau Whatsapp group volunteer atau chatroom dari sahabat-sahabat dan orang terdekat saya saja. Jika kebiasaan untuk buka media sosial tak bisa
terkendali, kita bisa membiasakan untuk log
out aplikasi. Setidaknya ketika kita membukanya kemudian tanpa benar-benar
sadar, kita ingat bahwa kita sedang mengurangi konsumsi media sosial saat melihat layar menunjukkan pilihan log in dan
tidak langsung terhubung dengan akun kita.
Jika itu juga belum cukup, mungkin cara salah satu sahabat saya bisa dicoba
: uninstall apps! Misalkan,
Instagram. Atau Facebook. Jadi kita akan benar-benar stop untuk tidak main media sosial tersebut, karena masih harus install app-nya lagi sebelum main. Peer kan, wk.
7. Take social
media break, deactive account
Juga, jangan ragu untuk
mengambil social media break jika
dirasa perlu. Diskoneksi diri sendiri dari segala akun media sosial yang
dimiliki untuk waktu tertentu. Satu harian misalkan, atau saya pernah juga
dalam seminggu penuh. Social media break bisa
benar-benar membantu kita untuk fokus live
in the present. Lebih fokus dengan apa yang kelihatan mata daripada hanya
sibuk di dunia maya. Lalu, kita bisa lebih banyak melakukan self-care dengan kegiatan-kegiatan
positif yang kita butuhkan untuk menjaga kesehatan mental sendiri (baca buku, menulis, berenang, karaoke, memasak, atau quality time bersama orang terdekat mungkin?). Intinya, kita harus tahu kapan kita harus berhenti dan menjaga jarak sementara dengan social media. Biasanya,
saya senang memilih pilihan deactive
account dalam social media break. Jadi,
akun media sosial kita benar-benar hilang
sementara dari dunia maya. Instagram dan Facebook menyediakan pilihan ini
kok. Hanya di Twitter yang harus berhati-hati jika memilih menu ini karena akun
kita bisa terhapus secara permanen dalam waktu tertentu.
8. Selalu ingat, media sosial adalah tetap dunia maya,
bukan nyata
Saya pernah dinasehati
demikian oleh seorang kakak senior saya. Bahwa interaksi sosial di media sosial
yang maya itu tak akan pernah bisa menggantikan interaksi sosial di dunia
nyata. Saya memang cenderung kesal jika chat
saya diabaikan dan tidak dibalas sama sekali (kecuali dalam konteks tertentu),
saya berpikir itu tidak sopan. Kalau kita berbicara face to face dengan seseorang lalu tidak direspon, tentu tak sopan
dong? Namun memang tidak bisa disamakan. Dunia maya berbeda. Tak semua orang,
pun termasuk saya, yang selalu siaga dengan chat
apps dan smartphone-nya. Ingat
juga bahwa kita tidak bisa melihat kepribadian seseorang secara penuh di dunia
maya. Jadi, jangan cepat berasumsi. Bagaimanapun, interaksi sosial nyata akan
jauh lebih baik. Don’t expect too much on
social media, my friends.
Saya terus berharap
banyak orang bisa memiliki mental awareness
dalam bermedia sosial dan berstrategi dalam menggunakannya. Secara khusus,
anak remaja yang mungkin lebih rentan terhadap pengaruh media sosial daripada
para orang dewasa. Selamat bermedia sosial dengan efektif dan positif, semuanya!
No comments: