Mengingat Pesan Aquaman (2018) Tentang Sampah di Laut
Ada satu adegan yang sangat menarik di
Aquaman (2018) yang tayang Desember kemarin di bioskop. Adegan tersebut
menggambarkan bagaimana Kerajaan Atlantis bawah laut "mengirimkan
kembali" sampah-sampah yang mengotori lautan ke daratan, yang sudah sangat
menganggu kehidupan bawah laut. Meski tidak diikuti dengan penjelasan yang
lebih rinci mengenai masalah polusi lautan (sayangnya), adegan ini mengingatkan
kita bersama bahwa sudah saatnya kita mengambil tindakan nyata untuk mengurusi
masalah sampah di lautan.
Aquaman (2018) |
Beberapa
fakta tentang sampah di lautan kita.
1 – Sampah plastik merupakan ancaman serius
bagi lautan dan biota di dalamnya. Menurut riset dari Fakultas Kelautan dan Perikanan (FKP) Universitas Udayana pada tahun 2017 di Bali, food wrapper (bungkus makanan) merupakan
salah satu sampah kategori soft plastic
terbanyak yang ditemukan. Setelah itu, sedotan, kantung plastik dan tutup botol
berjumlah hampir sama banyak. Hal ini sangat mengkuatirkan karena plastik
sangat sulit untuk diuraikan secara alami oleh siklus alam, memakan waktu
puluhan tahun. Ditambah, meski telah terurai, masih menyisakan mikroplastik
yang masih berbahaya bagi biota laut dan manusia.
2 – Selain plastik, puntung rokok ternyata adalah
salah satu sampah lautan yang paling banyak ditemukan (menurut data Ocean Conservacy), padahal bahan kimia yang dikandung tidak kalah berbahaya bagi
biota laut. Di dalam puntung rokok, ada filter yang terbuat dari plastik yang disebut selulosa asetat, yang membutuhkan minimal 10 tahun untuk terurai. Selain itu, filter juga mengandung serat sintesis dan ratusan bahan kimia yang digunakan mengolah tembakau.
3 – Banyak binatang laut yang terdampak,
tersiksa dan terbunuh oleh sampah-sampah manusia ini. Di media sosial,
sudah mulai banyak berita (dan foto) mengenai binatang seperti burung, penyu, ikan, yang tersangkut sampah sampai tubuhnya menjadi cacat. Pun tak sedikit yang
memakan sampah sampai ditemukan mati dengan sampah penuh di dalam perut. Salah
satu kasus belum lama terjadi di Indonesia, dimana seekor ikan paus sperma ditemukan mati di Wakatobi, Sulawesi pada November 2018 lalu, dengan 5.9 kilogram sampah beragam jenis ditemukan di dalam tubuhnya.
4 – Bukan hanya membahayakan biota laut,
sampah-sampah di lautan juga akan kembali berdampak bagi kesehatan manusia,
karena mencemari biota laut yang kemudian kita konsumsi. Mikroplastik adalah
bahaya “tidak terlihat” yang tidak bisa disepelekan. Mikroplastik tidak dapat
dilihat tanpa alat—tidak seperti sampah plastik umumnya. Jika tertelan ikan lalu ikan tersebut kita konsumsi, maka mikroplastik akan masuk ke dalam tubuh kita dan dapat memberi dampak keracunan, kerusakan jaringan, sampai kematian.
5 – Sampah di lautan akan terus berlipat ganda,
jika tidak ada tindakan serius untuk menanganinya. Menurut Ocean Conservacy, 192 negara yang berbatasan dengan Samudera Atlantik, Samudera Pasifik, Samudera Hindia, Laut Mediterania dan Laut Hitam, memproduksi 2.5 milyar metrik ton limbah padat di 2010. Diperkirakan sekitar 8 milyar metrikton plastik masuk ke dalam lautan di tahun yang sama. Sementara faktanya, produksi dan konsumsi plastik diprediksi akan berlipat ganda 10 tahun ke depan. Wah, gawat.
6 –
Sedihnya, negara kita Indonesia adalah penyumbang sampah lautan terbanyak keduadi dunia, setelah China. Itu berarti, kita-kita penduduk dan warga negara Indonesia ini bisa jadi
termasuk ikut berandil terkait sampah di lautan :(
Bagi saya, fakta nomor 6 sangat
meresahkan. Masalahnya, intervensi perubahan sistem yang mendukung
sustanabilitas lingkungan hidup (dan lautan) dari pemerintah Indonesia adalah
salah satu kunci untuk penanganan sampah lautan. Namun, jujur saja, sepertinya
sampai saat ini, saya belum melihat pemerintah Indonesia mengambil langkah yang
progresif mengenai masalah sampah lautan ini.
Ya, memang sudah ada Undang-Undang No.18/2008 tentang Pengelolaan Sampah dan Peraturan Presiden (Perpres) No.97/2017 tentang Kebijakan & Strategi Nasional Pengelolaan Sampah, yang
menargetkan pengurangan sampah sebesar 30% dan penanganan sampah 70% pada tahun
2025. Namun, realisasi peraturan di lapangan sepertinya belum terlaksana dengan baik. Setidaknya itu yang saya lihat di sekeliling saya saat ini.
Peliknya
masalah sampah lautan di Indonesia.
1 –
Masyarakat awam belum paham bahaya sampah apalagi sampah plastik untuk lautan.
Masyarakat awam maksud saya, adalah masyarakat yang belum seterpapar itu
terhadap informasi dan pengetahuan mengenai pentingnya menjaga sustanabilitas
lingkungan. Mereka mungkin masih menganggap sampah hanya berdampak menyebabkan
banjir dan ketidaknyamanan tertentu bagi manusia (seperti bau busuk). Yang
meresahkan bagi saya, masyarakat awam memang setidakmenyadari itu. Misalkan,
seringkali, jika saya membeli makan di warteg atau jus di pinggir jalan,
penjualnya malah memaksa untuk membungkus lagi dengan kantung plastik—meski saya
sudah menolak. Katanya, tidak baik kalau
tidak pakai kantung plastik. :(
2 –
Belum ada peraturan yang tegas dari pemerintah terkait produksi & konsumsi
plastik. Plastik masih dipakai secara massal tak terkendali
dimana-mana di Indonesia. Padahal masih bisa digantikan dengan kertas,
misalkan. Masyarakat awam juga segampang itu saja untuk memakai plastik,
semisal kantung plastik jika belanja atau jajan meski bisa saja tidak memakai
kantung plastik (kantung plastik inipun akhirnya hanya berfaedah sebentar dan
berakhir cepat di tempat sampah, meski masih bisa disimpan dan dipakai kembali). Uji coba plastik berbayar Rp 200,- yang pernah diterapkan di minimarket-minimarket juga tak lagi diteruskan.
3 –
Pengelolaan sampah di Indonesia juga masih jauh dari maksimal. Di
tempat saya tinggal saja, salah satu kota di Jabodetabek, saya belum yakin
pengelolaan sampah rumah tangga dapat dikatakan baik. Pertama, sampah tidak
dipilah. Kedua, jadwal pengambilan sampah juga tidak rutin teratur setiap hari,
jadi banyak rumah tangga malah membuang sampah di sungai kecil. Ketiga, sayapun
belum yakin bahwa pengelolaan sampah di TPA (Tempat Pembuangan Akhir), sudah sebaik itu. Perlu sekali ditemukan cara terbarukan untuk mengelola sampah (plastik).
Saya berharap saat ini pemerintah Indonesia sedang serius menekuni penelitian
ini.
4 –
Gerakan lingkungan harus menyentuh masyarakat awam, bukan hanya orang muda,
berpendidikan, dan milenial. Terkait dengan poin nomor
1, saya berpikir bahwa gerakan lingkungan harus diupayakan untuk lebih inklusif
lagi menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Yang saya perhatikan, memang lebih
mudah menjangkau kelompok milenial yang masih tergolong muda (apalagi
berpendidikan tinggi). Namun, bagaimana dengan kelompok masyarakat prasejahtera
misalkan, atau kelompok masyarakat yang tidak mencecap pendidikan tinggi?
Sebagaimana sudah saya paparkan sebelumnya
saya percaya salah satu kunci masalah sampah lautan di Indonesia adalah
perubahan sistem. Tanpa perubahan sistem, tidak banyak yang bisa dilakukan
individu-individu. Contohnya begini. Ketika seorang
individu ingin benar-benar mengambil tindakan nyata untuk mengurangi sampah
rumah tangganya, sistem bisa menghalangi banyak. Pertama, makanan-minuman yang
dijual di pasaran mengandung ecological footprint atau jejak lingkungan yang
sangat tinggi (food wrapper atau
kemasan plastik, apalagi). Sementara ia hidup di kota, bukan di desa, dengan
rutinitas yang sibuk yang memaksanya mau tidak mau mengkonsumsi makanan-minuman
itu. Kedua, ia sangat ingin memilah sampah rumah tangganya. Namun ternyata,
setelah dipilah, para petugas sampah yang mengambil toh menyatukan semuanya
juga. Complicated enough?
Terlepas dari masalah sistem, saya tetap percaya,
itu bukan jadi alasan kita tidak memulai gaya hidup yang lebih ramah
lingkungan. Kita masih bisa berjuang,
perlahan-tapi-pasti, melakukan transformasi gaya hidup personal untuk turut
mendukung masalah sampah di lautan.
Apa
yang bisa kita mulai lakukan untuk mengurangi sampah lautan?
1 –
Membawa-menggunakan tempat makan dan botol minum pribadi ketika jajan makanan
dan minuman. Apalagi kalau itu dekat rumah, ya ampun
masa kita harus mengorbankan plastik-plastik sekali-pakai-buang. Kalau untuk
keluar rumah yang jauh, memang sepertinya tampak lebih repot harus bawa-bawa
tempat makan dan botol minum ya, tapi demi lingkungan kenapa tidak?
2 –
Menolak penggunaan sedotan. Apalagi untuk jenis-jenis minuman
yang bisa kok diminum tanpa sedotan. Untuk beberapa minuman memang sulit
diminum tanpa sedotan, maka bisa diatasi dengan membeli sedotan yang lebih
ramah lingkungan, yang bisa dicuci kembali sehingga tidak hanya sekali-pakai-buang.
3 –
Berbelanja dengan goodie bag sendiri
sebagai ganti kantung plastik. Ada kok goodie bag yang desainnya bagus, bisa
dilipat jadi kecil, dan dikaitkan ke tas kita. Gak ribet dong. Lalu, jika hanya
belanja beberapa barang di minimarket, selama masih memungkinkan dipegang
dengan tangan kosong, demi lingkungan kenapa tidak?
4 –
Mengurangi konsumsi, reduce.
Karena hampir semua barang yang kita konsumsi menggunakan plastik dan jejak lingkungan atau ecological footprint-nya
terlalu besar. Jebakan sistem lagi-lagi. Mau tidak mau, kita memang harus mulai
mengkonsumsi dengan bijak, dengan memikirkan mother earth. Kalau memang bisa
tidak mengkonsumsi, demi lingkungan kenapa tidak?
5 –
Membiasakan membuang sampah pada tempatnya. Klise, tapi ini
berdampak banyak lho. Menyoal kebiasaan juga. Pun, membantu agar sampah dapat lebih
tertata di tempat yang tepat. Apalagi jika sedang berkunjung ke pantai dan
tempat wisata alam.
6 –
Ikut berbagi pengetahuan mengenai sampah lautan kepada orang lain di sekitar
kita. Dapat dilakukan sesantai itu sambil jajan siomay
dengan penjualnya atau ngobrol bareng teman. Bisa juga memanfaatkan media sosial,
dengan berbagi tweet, post, atau instastory seputar masalah sampah di
lautan. Yang penting dengan cara yang baik menolong lebih banyak orang sadar
betapa seriusnya masalah sampah ini.
7 – Berusaha tidak (atau mengurangi) merokok. Memang ada alasan-alasan tertentu mengapa orang memilih untuk merokok, dari alasan meredam stres sampai alasan pergaulan sosial. Tapi kalau boleh jujur, ternyata rokok lebih banyak merugikannya lho. Selain masalah-masalah kesehatan yang ditimbulkan, satu lagi yang harus digarisbawahi adalah dampak sampah puntung rokok ke lautan kita. Demi mother earth?
7 – Berusaha tidak (atau mengurangi) merokok. Memang ada alasan-alasan tertentu mengapa orang memilih untuk merokok, dari alasan meredam stres sampai alasan pergaulan sosial. Tapi kalau boleh jujur, ternyata rokok lebih banyak merugikannya lho. Selain masalah-masalah kesehatan yang ditimbulkan, satu lagi yang harus digarisbawahi adalah dampak sampah puntung rokok ke lautan kita. Demi mother earth?
____________________
Saya ingin menutup tulisan ini dengan kembali
mengingat pesan Aquaman (2018) tentang sampah di laut. Ya, adegan Kerajaan
Atlantis “mengirimkan kembali” sampah-sampah yang sudah mencemari laut itu memang mengusik saya : mungkin seandainya para binatang di laut bisa bicara, mereka juga
akan protes dan mengatakan betapa terganggunya mereka dengan sampah kita, yang mencemari dan merusak tempat
tinggal (ekosistem) mereka, serta mengancam kehidupan mereka. Di film Aquaman (2018), ada Kerajaan Atlantis yang dapat
“mewakili” dan membela mereka—di dunia nyata kita saat ini, siapa?
Siapa lagi, kalau bukan kita yang sudah
tercerahkan dan menjadi resah tentang masa depan mereka? :)
No comments: