Apa Yang Perlu Kita Perhatikan Dari #10YearsChallenge
Belakangan, Facebook
(& Instagram) ramai dengan #10YearsChallenge, sebuah tantangan untuk
memposting foto terbaru diri sendiri saat ini disandingkan dengan foto diri sendiri sepuluh tahun sebelumnya. Banyak sekali orang yang ikut tantangan ini.
Dari yang serius sampai yang lucu-lucuan (baca: membuat meme dan tidak benar-benar post foto sendiri). Dari artis
luar-dalam negeri sampai netizen jelata. Ada juga yang kemudian mengangkat isu perubahan iklim, yang dianggap lebih penting untuk diperhatikan dalam
#10YearsChallenge.
Photo by Ross Findon on Unsplash |
Awalnya sendiri, susah juga untuk ditelusuri. Yang jelas, tagar ini sudah viral saja. Banyak yang berasumsi dan curiga bahwa tantangan ini adalah salah satu strategi “tersembunyi” Facebook yang ingin memanfaatkan data kita untuk menguji fitur pendeteksi wajah (face recognizition)—yang disanggah oleh Facebook. Ada juga yang mengajak netizen agar kritis dalam meresponi #10YearsChallenge. Mengapa kita harus membanding-bandingkan diri dengan masa lalu? Jika berdampak negatif, mengapa kita tidak fokus saja untuk hidup di momen sekarang ini? (Sebagaimana yang diutarakan Demi Lovato yang menolak ikut bergabung dalam #10YearsChallenge di Instastory-nya).
Untuk hal ini, saya tidak
bisa bilang tidak setuju. Setelah menjelajahi internet, saya menyadari memang
tidak semua orang nyaman untuk “bernostalgia” ke masa (10 tahun yang) lalu.
Tergantung pengalaman hidup apa yang
terjadi di masa lalu itu. Jika pengalaman itu terkait hal-hal yang
menyakitkan dan menyedihkan, seperti kehilangan, #10YearsChallenge
bisa jadi sangat tidak nyaman bagi sebagian orang. Kasus lain adalah justru
ketika di masa lalu, kita lebih bahagia
daripada masa sekarang dan kita
diminta untuk membandingkan. Perasaan menyesal, gagal, dan insecurity akan masa sekarang, bisa saja
muncul akibat #10YearsChallenge ini. Jadi, apa bisa dibilang, mungkin
#10YearsChallenge cocok hanya untuk orang
yang berbahagia saja dong?
Mungkin tidak juga. Bisa saja masa lalu
rasanya lebih baik daripada masa sekarang, seperti
yang saya alami (dan renungi), tapi kita memiliki cara yang tepat untuk
memaknainya. Kita memiliki perspektif.
Perbandingan masa lalu vs masa sekarang yang kita lakukan karena
#10YearsChallenge ini bisa membantu kita mengevaluasi transformasi yang terjadi
dalam diri sendiri untuk kembali bertransformasi lagi. Evaluasi untuk mengetahui mungkin ada yang memang harus mulai kita perhatikan dan ubah dari diri
sendiri.
Sebelumnya, ini foto yang
saya pakai untuk #10YearsChallenge. Kedua foto ini sama-sama di-crop dari foto wefie bersama sahabat saya di depan kaca. Maklum, saya jarang foto
sendiri atau selfie. Random banget memang foto wefie di depan
kaca. Kalau zaman dulu kala di 2009, foto depan kaca memang cukup trending. Kalau di 2019, saya tidak
yakin. Masih trending gak? Sepertinya
tidak (berarti foto begini di 2019
termasuk alay dong ya gak apa, nostalgia sekali-kali). Nah dari foto #10YearsChallenge
saya (yang biasa-biasa saja dan tidak revolusioner-apalagi-kontroversial)
di atas, tulisan reflektif inipun lahir.
Jadi apa yang perlu kita perhatikan dari
#10YearsChallenge?
1. Yang Pasti, Manusia Pasti Berubah
Mau sebiasa apapun (seperti foto #10YearsChallenge saya, haha), atau serevolusioner-sekontroversial apapun (seperti teman saya yang benar-benar seberubah itu jadi lebih merawat diri, cantik, dan anggun keibuan), setiap orang berubah. Pasti, karena satu-satunya yang abadi dalam dunia ini adalah perubahan itu sendiri. People change. Meski kelihatan, ataupun tidak kelihatan. Entah dalam penampilan, atau bahkan dalam hal-hal yang tidak bisa dilihat sebatas pandangan mata. Ini adalah salah satu realita hidup yang perlu kita terima dengan lapang dada, dalam melihat diri sendiri maupun orang lain di sekeliling kita.
Mau sebiasa apapun (seperti foto #10YearsChallenge saya, haha), atau serevolusioner-sekontroversial apapun (seperti teman saya yang benar-benar seberubah itu jadi lebih merawat diri, cantik, dan anggun keibuan), setiap orang berubah. Pasti, karena satu-satunya yang abadi dalam dunia ini adalah perubahan itu sendiri. People change. Meski kelihatan, ataupun tidak kelihatan. Entah dalam penampilan, atau bahkan dalam hal-hal yang tidak bisa dilihat sebatas pandangan mata. Ini adalah salah satu realita hidup yang perlu kita terima dengan lapang dada, dalam melihat diri sendiri maupun orang lain di sekeliling kita.
2. Sudahkah Kita Merawat Jiwa Kita Dengan Baik?
Lebih dari penampilan
fisik, bagaimana kondisi (kesehatan) jiwa kita? Bagi saya pribadi, poin ini
merupakan salah satu poin yang paling sulit. Karena, ya, saya merasa
yuli-remaja-di-2009 memang jauh lebih bahagia dibanding yuli-dewasa-di-2019
saat ini. Jadi jika kita merasa 10 tahun lalu kita lebih bahagia daripada
sekarang ini, itu berarti kita harus mulai melakukan intervensi terhadap
kesehatan jiwa dan emosional kita. Mulai kenali apa yang menjadi penyebab kita kurang
bahagia di masa sekarang, lalu mengambil tindakan. Bisa sesederhana
merencanakan self-care rituals yang
rutin, self-love & self-compassion practice, sampai jika diperlukan, mengunjungi tenaga profesional seperti
psikolog dan psikiater. Sebagaimana orang jika demam saja seanteng itu berobat
ke dokter, kita juga bisa seanteng itu dong berobat ke psikolog atau psikiater
jika mengalami stres. Kesehatan jiwa sama pentingnya dengan kesehatan fisik.
3. Bagaimana Dengan Isi Dalam Kepala?
Bicara soal pengetahuan,
pencerahan, dan keyakinan, apa ada yang berubah dalam kepala selama 10 tahun
terakhir? Kalau saya, berefleksi dari foto #10YearsChallenge, yang paling
berubah memang isi dalam kepala. Kalau yuli-remaja-di-2009 masih sangat naif
dan taken for granted terhadap nilai-norma
dan sistem sosial, pun belum paham-dan-peka terhadap isu perempuan,
yuli-dewasa-di-2019 yang makin terpapar isu-isu perempuan sudah mengimani
kesetaraan sepenuh hati dan yakin bahwa feminisme adalah salah satu jalan yang
harus ditempuh dalam hidup. Pastikan kita
terus berkembang dalam pengetahuan dan keyakinan untuk menjadi manusia yang
lebih baik.
4. Masih Ingat Konteks Sekeliling Ketika Foto Diambil?
Konteks foto juga
penting. Masih ingat momen apa yang terjadi, kapan dan dimana? Dengan siapa? Misalkan,
kedua foto di 2009 dan 2019 untuk #10YearsChallenge saya sebenarnya foto wefie bersama sahabat-sahabat saya (satu
geng sejak SMA). Kedua foto di
#10YearsChallenge ini membuat saya menyadari bahwa memang persahabatan kami
sudah melampaui 10 tahun, melalui masa sekolah – kuliah – kerja, remaja sampai
dewasa muda bersama-sama. Seandainya foto #10YearsChallenge mengingatkan
akan seorang teman lama yang sudah lama tidak berjumpa atau rumah pun anggota keluarga
yang belakangan luput kita perhatikan, berarti ini saatnya untuk kita mengambil
tindakan yang baik untuk menjaga relasi.
5. Kesehatan & Perihal Fisik, Jangan Lupa (Meskipun Saya Juga Masih Sering Lupa #Eh)
Bagaimanapun, penting juga memberi perhatian pada kesehatan dan penampilan fisik. For the sake of ourselves & self-love. Kita juga butuh mengasihi diri sendiri secara holistik, termasuk juga dari aspek fisik. Misalkan, saya yang setelah #10YearsChallenge makin menyadari bahwa berat badan saya tak berubah banyak. Sayangnya, berat badan itu juga tak ideal (secara standar kesehatan, bukan konstruksi sosial masyarakat maksud saya). Justru cukup mengkuatirkan, karena berdasar perhitungan BMI (body mass index), saya termasuk kategori kurus-tidak-sehat (harus bertobat dengan revolusi menu makan). Contoh lain, jika memang ingin bereksperimen dengan make up, atau mengubah gaya rambut (sebagaimana saya yang ternyata bisa betah juga dengan rambut panjang sejak 2016, setelah selama ini selalu bergaya rambut pendek), atau fashion style—it’s totally ok! Tidak mau bereksperimen juga, bebas~
Bagaimanapun, penting juga memberi perhatian pada kesehatan dan penampilan fisik. For the sake of ourselves & self-love. Kita juga butuh mengasihi diri sendiri secara holistik, termasuk juga dari aspek fisik. Misalkan, saya yang setelah #10YearsChallenge makin menyadari bahwa berat badan saya tak berubah banyak. Sayangnya, berat badan itu juga tak ideal (secara standar kesehatan, bukan konstruksi sosial masyarakat maksud saya). Justru cukup mengkuatirkan, karena berdasar perhitungan BMI (body mass index), saya termasuk kategori kurus-tidak-sehat (harus bertobat dengan revolusi menu makan). Contoh lain, jika memang ingin bereksperimen dengan make up, atau mengubah gaya rambut (sebagaimana saya yang ternyata bisa betah juga dengan rambut panjang sejak 2016, setelah selama ini selalu bergaya rambut pendek), atau fashion style—it’s totally ok! Tidak mau bereksperimen juga, bebas~
____________________
Bagi saya, 2009 merupakan
salah satu tahun yang istimewa dalam ingatan. 2009 adalah tahun transisi—mungkin, sebagaimana juga tahun 2019 ini. 2009
adalah tahun dimana saya pertama kali mencoba belajar mandiri, memulai tahun
pertama perkuliahan, kali pertama akhirnya keluar rumah dan pergi merantau jauh,
hidup sendiri, ngekos, dan
(benar-benar) mengenal dunia di luar pagar rumah saya. #10YearsChallenge harus
diakui telah membawa saya bernostalgia sejenak dengan masa lalu, menelusuri
kembali perjalanan-pemikiran-perasaan yuli-remaja-17-tahun. Lalu, mereka ulang
perjalanan hidup selama 10 tahun terakhir, sampai di tahun 2019 ini. Saya tidak
ingin menyesali apapun. Di titik ini, saya ingin merayakan proses 10 tahun yang
telah berlalu dan mengapresiasi diri sendiri.
Photo by sarandy westfall on Unsplash |
Di akhir tulisan, saya menyimpulkan #10YearsChallenge sebenarnya bisa kok berfaedah bagi setiap individu yang berpartisipasi. Selama #10YearsChallenge membawa kita masuk ke dalam perenungan reflektif personal yang positif—bukan hanya untuk ikut trend dan berbagi foto kepada lingkaran pertemanan online :)
Dari #10YearsChallenge, saya menyadari benar bahwa perubahan itu tidak terhindarkan, sedikit atau banyak, kelihatan atau tersembunyi. Semoga kita lebih legowo menghadapi perubahan.
No comments: