Perempuan: di Desa & Kota
Pemandangan Desa Lokasi Liputan: Foto Ini Diambil Dari Dalam Mobil Yang Bergerak |
Dua hari yang lalu, aku baru saja turun
lapangan lagi, meliput keluarga salah seorang pasien anak yang punya kelainan
ketiadaan lubang anus semenjak lahir. Aku masih ingat ketika menanyakan pada
ibunya yang memang masih kelihatan muda itu, mengenai usianya. 22 tahun. Hanya
berbeda satu tahun dengan usiaku yang sebulan lalu baru menginjak 23 tahun. 22
tahun dan dia sudah memiliki satu orang anak berusia 1,5 tahun. Ya ampun.
Suaminya tak jauh berbeda usia dengannya.
Suaminya masih 23 tahun juga, seusia denganku. Ketika aku menanyakan lebih
lanjut mengenai kapan mereka menikah,
ternyata ibu muda ini sudah menikah di usia 19 tahun. Memang sudah tidak bisa
disebut child marriage, tapi aku
masih cukup terkejut mendengarkannya. Membayangkan diri sendiri ketika berusia
19 tahun—ya ampun, aku baru saja
masuk Universitas dan baru saja menjadi seorang mahasiswa baru—dan di usia yang
sama, ibu muda ini sudah menikah. Aku bahkan sama sekali belum pernah berpikir mengenai pernikahan ketika usiaku menginjak
19 tahun. Yang ada di dalam pikiranku hanyalah: masuk Universitas, demi orang
tua yang sudah mencurahkan segenap kekuatan dan hidupnya untuk mengurus dan
membiayaiku dan demi Tuhan yang sudah menganugerahkan kesempatan berkuliah di
UI, aku ingin berjuang sampai lulus—masih
memikirkan kemungkinan untuk bisa lulus cumlaude
atau lulus cepat 3,5 tahun. Keinginan lulus cepat 3,5 tahun pun sama sekali
tidak ada kaitannya dengan keinginan untuk menikah (muda). Yang menjadi rantai
pemikiran selanjutnya yang menyambung mimpi itu adalah: kerja dan mandiri,
sesuai dengan panggilan dan passion yang
ada di dalam hati sendiri.
Sangat berbeda. Aku baru menyadarinya. Betapa
jauh perbedaan antara perempuan yang lahir dan besar di kota dan perempuan yang
lahir dan besar di pedesaan.
Sungguh, dalam tulisan ini, aku tidak
bermaksud untuk men-judge mana yang
lebih baik—apakah perempuan yang menjalani hidupnya dalam arus perkotaan, atau
perempuan yang menjalani hidupnya dalam arus pedesaan. Dalam setiap detail
tuntutannya masing-masing, konteksnya masing-masing, tantangannya
masing-masing, suka-dukanya masing-masing—menurutku, keduanya sama susahnya.
Ibu muda yang kusebut dari awal cerita tadi memang
tinggal di sebuah desa di daerah pedalaman Bekasi (yang sebenarnya akses ke
kota sudah cukup terjangkau—setidaknya
tidak seperti pedalaman Kalimantan yang kukunjungi Juli lalu). Dengan
berpendidikan seadanya, dan sekarang hidup sebagai ibu rumah tangga tanpa
pekerjaan lain di luar rumah (ngomong-ngomong, ibu rumah tangga itu juga pekerjaan. Saya tidak suka anggapan
bahwa ibu rumah tangga yang berurusan dengan pekerjaan domestik keluarganya
sendiri setiap hari dicap ‘tidak bekerja’.
Dia bekerja. Bekerja dalam ranah domestik di keluarganya sendiri—menyapu,
mengepel, menjaga anak, memasak, mencuci, dan sederet pekerjaan rumah tangga
lainnya yang percayalah, itu bukan pekerjaan sepele yang bisa kita anggap bukan
pekerjaan, hanya karena tidak dibayar dengan uang). Di desanya, rata-rata
penduduk bekerja sebagai petani. Petani inipun sebenarnya lebih tepat disebut
sebagai buruh tani, dimana lahan yang
ia garap bukan miliknya sendiri—tetapi lahan orang lain (sebuah realita sosial
yang menggelisahkan juga bagiku untuk masyarakat pedesaan di daerah Pulau Jawa
ini). Ketika para laki-laki, termasuk suami dari ibu muda inipun sangat sulit
untuk mengakses pekerjaan yang layak bahkan
di desanya sendiri, bagaimana lagi dengan perempuan? (Pertanyaan ini
didasarkan dalam pengakuan kontekstual dimana sistem patriarkhi menempatkan
laki-laki sebagai kepala rumah tangga bertanggung jawab untuk bekerja mencari
nafkah dibandingkan perempuan).
Di perkotaan? Perempuan “sudah” mendapat kesempatan
dan akses yang kurang lebih sama (kada sudah
disini kutulis dengan italic dan
dengan dikawal tanda kutip, karena ini adalah pengalaman yang ku alami—tidak menutup kemungkinan untuk
realita lain yang belum kuketahui di
perkotaan, yang menempatkan perempuan di
belakang laki-laki dalam hal akses pada pekerjaan). Sungguh kehidupan
perempuan yang lahir, tinggal, dan besar di pedesaan memang berbeda konteks dengan
para perempuan yang lahir, tinggal, dan besar di kota. Dengan pendidikan yang
bisa dikejarnya setinggi mungkin karena kesempatan dan akses yang lebih
terbuka. Dengan banyak peluang pekerjaan yang bisa dilamarnya. Perempuan kota
memang memiliki lebih banyak peluang
untuk hidup lebih sejahtera, dalam standar ekonomi.
Sebenarnya, yang menjadi masalah adalah dua hal. Pertama, apakah perempuan tersebut bahagia dalam
keputusan yang diijalaninya (entah itu menikah muda atau menunda menikah
karena mengejar pendidikan dan pekerjaan yang layak). Kedua, apakah perempuan tersebut memilih dalam
kebebasan pilihannya sendiri atau tidak.
Pertama, karena kebahagiaan merupakan
sesuatu yang relatif sifatnya—perempuan
di pedesaan yang menikah muda dan sudah memiliki banyak anak sebelum umurnya
menginjak kepala tiga, bisa jadi bahagia
dalam kehidupan itu. Sama saja, perempuan di perkotaan yang menunda menikah
demi pekerjaan dan pendidikan bisa jadi bahagia
juga dalam kehidupan itu. Semuanya kembali pada siapa yang melihat dalam sudut pandang yang mana. Tidak ada yang
bisa men-judge kalau salah satu
pilihan dari dua pilihan di atas lebih baik dari yang lainnya. Kedua, mengenai
kebebasan pilihan. Akan menjadi masalah ketika perempuan menikah muda, atau
sebaliknya, perempuan mengejar pendidikan dan pekerjaan, melakukannya karena tuntutan (sosial dari) orang lain—yang
kemungkinan besar adalah keluarganya. Pemaksaan, dalam konteks ini, tentu saja
akan berakibat pada masa depan yang mempengaruhi faktor pertama. Atau memang ia
dipaksa oleh keterbatasan situasi
(mungkin ia ingin sekolah tetapi tidak ada akses ke sekolah yang dekat, atau
tidak ada biaya). Yang jelas, siapa yang suka menjalani kehidupan dalam pilihan
yang dipaksakan?
Akhirnya, aku tidak tahu apakah tulisan ini feminis atau tidak—aku hanya mengingat aliran
feminisme posmodern dan aliran
feminisme post-kolol ketika
menuliskan ini. Singkatnya, kedua aliran feminisme ini menolak untuk
mengeneralisasi pengalaman perempuan—karena pengalaman perempuan pada
kenyataannya memang berbeda-beda, tergantung berbagai konteks dan faktor
sosial-budaya yang mempengaruhi. Termasuk perempuan kota dan perempuan desa—jelas
berbeda. Contoh konkrit, jika seorang aktivis (perempuan) dari perkotaan ingin
menolong para perempuan di pedesaan, aktivis (perempuan) dari perkotaan
tersebut tidak boleh serta-merta membawa nilai-nilai dari lingkungan sosial atau
budaya asalnya. Apalagi men-judge suatu
budaya hanya dari perspektif budaya asalnya sendiri. Dia harus melihat konteks apa, mengapa, dan bagaimana.
Karena itu, tulisan ini hanya lahir sebagai
hasil perenunganku—ketika turun ke lapangan dengan konteks yang jauh berbeda
dengan konteks sehari-hari tempat dimana aku tinggal. Meski bukan yang pertama
kali aku menemui yang seperti ini, baru kali ini aku merasa shocked berat. Mungkin karena masalah
usia kami yang nyaris sama itu. Hasil perenungan akan perbedaan, di antara perempuan.*
No comments: