Perempuan: di Desa & Kota

August 21, 2014

Pemandangan Desa Lokasi Liputan: Foto Ini Diambil Dari Dalam Mobil Yang Bergerak

Dua hari yang lalu, aku baru saja turun lapangan lagi, meliput keluarga salah seorang pasien anak yang punya kelainan ketiadaan lubang anus semenjak lahir. Aku masih ingat ketika menanyakan pada ibunya yang memang masih kelihatan muda itu, mengenai usianya. 22 tahun. Hanya berbeda satu tahun dengan usiaku yang sebulan lalu baru menginjak 23 tahun. 22 tahun dan dia sudah memiliki satu orang anak berusia 1,5 tahun. Ya ampun.

Suaminya tak jauh berbeda usia dengannya. Suaminya masih 23 tahun juga, seusia denganku. Ketika aku menanyakan lebih lanjut mengenai kapan mereka menikah, ternyata ibu muda ini sudah menikah di usia 19 tahun. Memang sudah tidak bisa disebut child marriage, tapi aku masih cukup terkejut mendengarkannya. Membayangkan diri sendiri ketika berusia 19 tahun—ya ampun, aku baru saja masuk Universitas dan baru saja menjadi seorang mahasiswa baru—dan di usia yang sama, ibu muda ini sudah menikah. Aku bahkan sama sekali belum pernah berpikir mengenai pernikahan ketika usiaku menginjak 19 tahun. Yang ada di dalam pikiranku hanyalah: masuk Universitas, demi orang tua yang sudah mencurahkan segenap kekuatan dan hidupnya untuk mengurus dan membiayaiku dan demi Tuhan yang sudah menganugerahkan kesempatan berkuliah di UI, aku ingin berjuang sampai lulus—masih memikirkan kemungkinan untuk bisa lulus cumlaude atau lulus cepat 3,5 tahun. Keinginan lulus cepat 3,5 tahun pun sama sekali tidak ada kaitannya dengan keinginan untuk menikah (muda). Yang menjadi rantai pemikiran selanjutnya yang menyambung mimpi itu adalah: kerja dan mandiri, sesuai dengan panggilan dan passion yang ada di dalam hati sendiri.

Sangat berbeda. Aku baru menyadarinya. Betapa jauh perbedaan antara perempuan yang lahir dan besar di kota dan perempuan yang lahir dan besar di pedesaan.

Sungguh, dalam tulisan ini, aku tidak bermaksud untuk men-judge mana yang lebih baik—apakah perempuan yang menjalani hidupnya dalam arus perkotaan, atau perempuan yang menjalani hidupnya dalam arus pedesaan. Dalam setiap detail tuntutannya masing-masing, konteksnya masing-masing, tantangannya masing-masing, suka-dukanya masing-masing—menurutku, keduanya sama susahnya.

Ibu muda yang kusebut dari awal cerita tadi memang tinggal di sebuah desa di daerah pedalaman Bekasi (yang sebenarnya akses ke kota sudah cukup terjangkau—setidaknya tidak seperti pedalaman Kalimantan yang kukunjungi Juli lalu). Dengan berpendidikan seadanya, dan sekarang hidup sebagai ibu rumah tangga tanpa pekerjaan lain di luar rumah (ngomong-ngomong, ibu rumah tangga itu juga pekerjaan. Saya tidak suka anggapan bahwa ibu rumah tangga yang berurusan dengan pekerjaan domestik keluarganya sendiri setiap hari dicap ‘tidak bekerja’. Dia bekerja. Bekerja dalam ranah domestik di keluarganya sendiri—menyapu, mengepel, menjaga anak, memasak, mencuci, dan sederet pekerjaan rumah tangga lainnya yang percayalah, itu bukan pekerjaan sepele yang bisa kita anggap bukan pekerjaan, hanya karena tidak dibayar dengan uang). Di desanya, rata-rata penduduk bekerja sebagai petani. Petani inipun sebenarnya lebih tepat disebut sebagai buruh tani, dimana lahan yang ia garap bukan miliknya sendiri—tetapi lahan orang lain (sebuah realita sosial yang menggelisahkan juga bagiku untuk masyarakat pedesaan di daerah Pulau Jawa ini). Ketika para laki-laki, termasuk suami dari ibu muda inipun sangat sulit untuk mengakses pekerjaan yang layak bahkan di desanya sendiri, bagaimana lagi dengan perempuan? (Pertanyaan ini didasarkan dalam pengakuan kontekstual dimana sistem patriarkhi menempatkan laki-laki sebagai kepala rumah tangga bertanggung jawab untuk bekerja mencari nafkah dibandingkan perempuan).

Di perkotaan? Perempuan “sudah mendapat kesempatan dan akses yang kurang lebih sama (kada sudah disini kutulis dengan italic dan dengan dikawal tanda kutip, karena ini adalah pengalaman yang ku alami—tidak menutup kemungkinan untuk realita lain yang belum kuketahui di perkotaan, yang menempatkan perempuan di belakang laki-laki dalam hal akses pada pekerjaan). Sungguh kehidupan perempuan yang lahir, tinggal, dan besar di pedesaan memang berbeda konteks dengan para perempuan yang lahir, tinggal, dan besar di kota. Dengan pendidikan yang bisa dikejarnya setinggi mungkin karena kesempatan dan akses yang lebih terbuka. Dengan banyak peluang pekerjaan yang bisa dilamarnya. Perempuan kota memang memiliki lebih banyak peluang untuk hidup lebih sejahtera, dalam standar ekonomi.

Sebenarnya, yang menjadi masalah adalah dua hal. Pertama, apakah perempuan tersebut bahagia dalam keputusan yang diijalaninya (entah itu menikah muda atau menunda menikah karena mengejar pendidikan dan pekerjaan yang layak). Kedua, apakah perempuan tersebut memilih dalam kebebasan pilihannya sendiri atau tidak.

Pertama, karena kebahagiaan merupakan sesuatu yang relatif sifatnya—perempuan di pedesaan yang menikah muda dan sudah memiliki banyak anak sebelum umurnya menginjak kepala tiga, bisa jadi bahagia dalam kehidupan itu. Sama saja, perempuan di perkotaan yang menunda menikah demi pekerjaan dan pendidikan bisa jadi bahagia juga dalam kehidupan itu. Semuanya kembali pada siapa yang melihat dalam sudut pandang yang mana. Tidak ada yang bisa men-judge kalau salah satu pilihan dari dua pilihan di atas lebih baik dari yang lainnya. Kedua, mengenai kebebasan pilihan. Akan menjadi masalah ketika perempuan menikah muda, atau sebaliknya, perempuan mengejar pendidikan dan pekerjaan, melakukannya karena tuntutan (sosial dari) orang lain—yang kemungkinan besar adalah keluarganya. Pemaksaan, dalam konteks ini, tentu saja akan berakibat pada masa depan yang mempengaruhi faktor pertama. Atau memang ia dipaksa oleh keterbatasan situasi (mungkin ia ingin sekolah tetapi tidak ada akses ke sekolah yang dekat, atau tidak ada biaya). Yang jelas, siapa yang suka menjalani kehidupan dalam pilihan yang dipaksakan?

Akhirnya, aku tidak tahu apakah tulisan ini feminis atau tidak—aku hanya mengingat aliran feminisme posmodern dan aliran feminisme post-kolol ketika menuliskan ini. Singkatnya, kedua aliran feminisme ini menolak untuk mengeneralisasi pengalaman perempuan—karena pengalaman perempuan pada kenyataannya memang berbeda-beda, tergantung berbagai konteks dan faktor sosial-budaya yang mempengaruhi. Termasuk perempuan kota dan perempuan desa—jelas berbeda. Contoh konkrit, jika seorang aktivis (perempuan) dari perkotaan ingin menolong para perempuan di pedesaan, aktivis (perempuan) dari perkotaan tersebut tidak boleh serta-merta membawa nilai-nilai dari lingkungan sosial atau budaya asalnya. Apalagi men-judge suatu budaya hanya dari perspektif budaya asalnya sendiri. Dia harus melihat konteks apa, mengapa, dan bagaimana.

Karena itu, tulisan ini hanya lahir sebagai hasil perenunganku—ketika turun ke lapangan dengan konteks yang jauh berbeda dengan konteks sehari-hari tempat dimana aku tinggal. Meski bukan yang pertama kali aku menemui yang seperti ini, baru kali ini aku merasa shocked berat. Mungkin karena masalah usia kami yang nyaris sama itu. Hasil perenungan akan perbedaan, di antara perempuan.*

No comments:

Powered by Blogger.