GREEN AND PEACE: GREENPEACE
Setelah
berkunjung ke pedalaman Kalimantan dan tinggal di tengah-tengah wilayah
pedesaan yang benar-benar sederhana, berumah kayu, tanpa listrik, dan back to nature—rasa was-was saya
terhadap lingkungan mulai meninggi lagi. Tersulut tersemangati. Seperti ketika
baru belajar mata kuliah Sosiologi Lingkungan di semester tiga masa perkuliahan
saya, dimana mata dan hati saya baru benar-benar dibukakan mengenai masalah lingkungan.
Saya mengingat salah satu pengalaman kami di pedalaman Kalimantan kemarin, saya ingat betapa dengan mata kepala saya sendiri saya melihat daerah dimana air sungai berubah kontras warnanya. Antara yang jernih dengan yang berwarna cokelat akibat lumpur. Waktu itu, saya dan tim sedang berada di atas perahu panjang langsing dengan motor (yang disebut masyarakat setempat sebagai motor air), sedang dalam perjalanan berjam-jam menuju desa yang akan menjadi tempat tinggal kami selama tujuh hari di pedalaman. Air yang berubah menjadi berwarna cokelat karena berlumpur ini terjadi akibat aktivitas penambangan emas yang disebut warga setempat sebagai dompeng, dimana dengan sebuah alat yang cukup besar tapi terlihat tak canggih-canggih amat, para penambang emas ini menyedot air sungai sampai ke tanah-tanahnya untuk diproses dengan alat itu demi mendapatkan kandungan emas di dalamnya.
Entah siapa yang melakukan aktivitas dompeng itu (tapi sepertinya bukan masyarakat setempat). Entah itu illegal atau legal, yang jelas saya ingin marah sekaligus sedih. Melihat bagaimana masyarakat setempat, yang menggantungkan aktivitas sehari-harinya untuk mandi-mencuci-minum dari air sungai tersebut dirugikan. Anak-anak yang terpaksa berenang di air cokelat yang keruh. Para ibu yang mau tak mau harus mencuci dan mandi di air cokelat yang sama. Sedangkan emasnya? Saya pikir, bukan untuk mereka.
Saya mengingat salah satu pengalaman kami di pedalaman Kalimantan kemarin, saya ingat betapa dengan mata kepala saya sendiri saya melihat daerah dimana air sungai berubah kontras warnanya. Antara yang jernih dengan yang berwarna cokelat akibat lumpur. Waktu itu, saya dan tim sedang berada di atas perahu panjang langsing dengan motor (yang disebut masyarakat setempat sebagai motor air), sedang dalam perjalanan berjam-jam menuju desa yang akan menjadi tempat tinggal kami selama tujuh hari di pedalaman. Air yang berubah menjadi berwarna cokelat karena berlumpur ini terjadi akibat aktivitas penambangan emas yang disebut warga setempat sebagai dompeng, dimana dengan sebuah alat yang cukup besar tapi terlihat tak canggih-canggih amat, para penambang emas ini menyedot air sungai sampai ke tanah-tanahnya untuk diproses dengan alat itu demi mendapatkan kandungan emas di dalamnya.
Entah siapa yang melakukan aktivitas dompeng itu (tapi sepertinya bukan masyarakat setempat). Entah itu illegal atau legal, yang jelas saya ingin marah sekaligus sedih. Melihat bagaimana masyarakat setempat, yang menggantungkan aktivitas sehari-harinya untuk mandi-mencuci-minum dari air sungai tersebut dirugikan. Anak-anak yang terpaksa berenang di air cokelat yang keruh. Para ibu yang mau tak mau harus mencuci dan mandi di air cokelat yang sama. Sedangkan emasnya? Saya pikir, bukan untuk mereka.
Membicarakan
mengenai pergerakan memperjuangkan lingkungan ini, bagi saya pribadi, belum ada
yang lebih global, massive, ber-power, dan berdampak seperti NGO bernama Greenpeace. Dari hasil perjalanan maya
saya hari ini, saya menemukan sederet video kreatif berikut dari Greenpeace,
yang isinya untuk mengkampanyekan aksi melindungi lingkungan dan bumi kita
bersama ini. Senang untuk me-link-nya
disini. Apalagi video yang pertama, secara khusus berbicara mengenai hutan Indonesia. Sedangkan
video yang kedua? Cukup baik untuk menjelaskan bagaimana pencemaran sungai
secara sederhana. Saya bahkan berharap masyarakat desa tempat saya tinggal
kemarin bisa ikut menonton video ini (sayangnya video ini berbahasa Inggris).
Di desa tempat kami tinggal, air sungainya masih tampak jernih. Hanya saja,
kembali mengkuatirkan pula bagi saya, ketika membayangkan air dari sungai yang
sama, kami pakai setiap hari untuk mandi, mencuci piring dan baju, sumber air
minum, serta menjadi tempat buang air. Meskipun airnya mengalir, tapi saya rasa
efek dari kesemua kegiatan ini pasti ada. Apalagi, aktivitas mencuci piring dan
pakaian disanapun sudah menggunakan detergen, mandi juga sudah menggunakan
sabun—yang sayangnya, saya tidak yakin apakah semua produk yang mengandung bahan-bahan
kimiawi tersebut ramah lingkungan. Saya sungguh kuatir. Karena itu, dengan me-link kedua video ini di blog saya, saya
ingin ikut mengkampanyekan aksi ramah dan cinta lingkungan. You must watch it, i think. Enjoy.*
p.s. :
Sebuah sumber lengkap yang patut untuk dilihat, dibaca, dan diperhatikan mengenai hutan Sumatera, dengan mengikuti hasil perjalanan Tim Mata Harimau dari Greenpeace ini. Mari lindungi hutan Indonesia! Kunjungi Greenpeace Indonesia, untuk terlibat lebih jauh dalam aksi membela bumi Indonesia!
No comments: