Child Sponsorship Program WVI: Anak Asuh Jarak Jauh
Kira-kira dua bulan
yang lalu, saya akhirnya memutuskan untuk berkomitmen mengikuti program anak
asuh jarak jauh, melalui sponsorship
program. Dari sekian NGO yang berfokus pada masalah kemiskinan anak yang
saya tahu, saya akhirnya memilih WVI (World Vision Indonesia, atau Wahana Visi
Indonesia). Mungkin karena selama kuliah, saya juga sudah cukup tahu mengenai
WVI dan saya melihat bagaimana WVI termasuk salah satu NGO yang memahami
pentingnya sarjana sosial dalam proyek-dan-programnya, terkhususnya untuk para
sarjana berlatar-belakang sosiologi dan ilmu kesejahteraan sosial. Saya
memiliki teman yang ketika mahasiswa dulu pernah magang di kantor WVI pusat
untuk proyek Jakarta Utara, jadi pernah sharing mengenai program WVI untuk
memperjuangkan kesejahteraan anak. Selain itu, yang lebih penting, saya tahu
WVI menjangkau daerah-daerah yang memang urgensi untuk dijangkau. Daerah yang
tidak hanya merupakan kawasan the poor, tetapi
juga kawasan yang termarginalisasi atau berada di pedalaman yang sulit
dijangkau. Saya juga sangat menyukai
strategi WVI untuk tidak hanya menjangkau setiap anak secara personal, tetapi
juga menjangkau satu komunitasnya secara utuh. Penjangkauan komunitas (community development) merupakan sebuah
jawaban bagi upaya memperjuangkan kesejahteraan masyarakat yang efektif, menurut
saya.
Setelah menetapkan
hati untuk WVI, saya mulai membuka website World Vision Indonesia atau Wahana
Visi Indonesia ini. Melalui website mereka, saya pun menemukan alamat email
yang bisa saya hubungi untuk memastikan mengenai program sponsor a child ini
benar-benar seperti ekspektasi saya. Setelah bertanya beberapa hal dan mengetahui mengenai program sponsor a child di WVI, saya
akhirnya mantap untuk mensponsori salah seorang anak melalui WVI. Semuanya sama
dengan ekspektasi saya :)
Awalnya, ada tiga
kriteria anak asuh yang ingin sekali saya sponsori. Pertama, saya ingin
mensponsori anak perempuan. Kedua, saya ingin mensponsori anak yang usianya
tidak lebih dari enam tahun. Ketiga, saya ingin sekali mensponsori anak dari
NTT (Nusa Tenggara Timur). Untuk ketiga kriteria ini, saya tentu memiliki
alasan sendiri.
Pertama, saya ingin
mensponsori anak perempuan. Sebenarnya, bukan hanya ingin—tapi harus. Saya
menyadari sekali bagaimana perempuan menjadi korban yang paling parah dari masalah kemiskinan. Terutama, anak-anak. Kemiskinan bisa menjadi akar bagi
segala masalah baru lainnya bagi perempuan—terutama dalam kaitannya dengan
keluarga. Terutama untuk masalah KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dan
prostitusi. Perempuan selalu menjadi korban mayoritas, dibandingkan laki-laki.
Kedua, saya memilih
anak dengan usia >6 tahun karena secara psikologis, usia lima tahun pertama
bagi seorang anak itu adalah usia yang disebut dengan golden age. Usia awal dimana sangat menentukan arah dan kualitas
tumbuh-kembang anak. Di lima tahun pertama kehidupannya itulah, anak memerlukan
asupan gizi yang cukup dan pendidikan awal berkualitas. Saya memutuskan untuk
mensponsori anak dengan usia >6 tahun, dengan harapan, melalui WVI dan
melalui sponsor saya, anak yang saya sponsori bisa lebih tertolong dalam golden age-nya tersebut.
Ketiga, saya
(sebenanrya) ingin memilih anak NTT (Nusa Tenggara Timur). Saya tidak tahu
kenapa, provinsi ini sudah lama sekali ada di dalam hati dan pikiran saya.
Menurut saya, provinsi ini istimewa, lebih istimewa dari provinsi-provinsi di
Indonesia Timur yang lainnya. Saya juga mengenal beberapa teman dari NTT semasa
mahasiswa dulu, dan sekarang pun di kantor saya, saya memiliki beberapa rekan
sekantor yang berasal dari NTT. Tapi di atas semua itu, saya ingat beberapa
tahun lalu, ketika memikirkan dan mencaritahu mengenai masalah kemiskinan—saya menemukan
data dari salah satu lembaga pemerintah bahwa NTT adalah provinsi yang
termiskin di Indonesia (saat itu)—dan itu membuat hati saya patah. Entah kenapa.
Saya berharap, kondisinya saat ini sudah berubah. Saya belum pernah
menginjakkan kaki di NTT (meski saya sangat amat ingin), tetapi yang saya
dengar, kondisi tanah dan ladang disana tidak sesubur pulau Jawa. Mungkin
penduduk NTT bergumul dengan masalah kemiskinan, karena hal ini juga. Selain itu,
masalah air adalah masalah lainnya bagi NTT.
Tapi ternyata Tuhan
berkehendak lain—saya tahu, perihal anak asuh inipun ada dalam kontrol tangan Tuhan
untuk saya. Saya ternyata tidak mendapat anak asuh dari NTT. Saya justru
mendapatkan anak asuh dari pulau yang baru saya kunjungi beberapa bulan yang
lalu. Pulau Kalimantan.
Ketika tahu mengenai
hal ini, sebenarnya saya cukup terkejut. Saya sendiri baru tahu mengenai asal
provinsi anak asuh saya ketika profile
pack dari WVI sampai di alamat kantor saya, sebulan setelah saya memutuskan
untuk mensponsori anak asuh saya. Tim WVI sendiri sebenarnya sudah mengirimkan
saya data singkat dari anak asuh saya beserta dengan fotonya via email, tetapi tidak ada
tulisan provinsi dengan jelas—membuat saya berpikir kalau anak asuh saya itu
memang berasal dari NTT. Namun, memang melihat fotonya, saya tidak berpikir
seperti itu. Saya merasa anak asuh jarak jauh saya ini lebih mirip anak suku
Dayak—dan feeling saya benar. Anak
asuh saya memang berasal dari suku Dayak di pedalaman Kalimantan Barat. Ya ampun.
Saya terkejut sekali. Saya sebenarnya agak kecewa karena tidak mendapatkan anak
asuh dari NTT—tetapi saya juga tidak keberatan sebenarnya untuk mendapat anak
asuh dari pedalaman Kalimantan. Tadinya juga, ketika berpikir mengenai kriteria
dari wilayah mana anak yang ingin saya sponsori—selain NTT, saya terpikir
mengenai Kalimantan. Pengalaman saya selama seminggu lebih di pedalaman Kalimantan Barat, mengenal begitu banyak anak suku Dayak Bekati disana—sudah membuat
saya jatuh hati dengan anak-anak suku Dayak. Saya juga tahu, kalau anak-anak
suku Dayak di daerah pedalaman, membutuhkan banyak dukungan untuk bisa hidup
lebih sejahtera. Karena itulah, saya lebih menganggap, semuanya ini adalah
keputusan Tuhan yang masih mengingini saya untuk tetap memperhatikan Pulau Kalimantan. Memperhatikan dan mengasihinya. Ya, jika kalian tahu bagaimana pergumulan saya
untuk berangkat masuk ke pedalaman Kalimantan beberapa bulan lalu, kalian pasti
akan sangat memahami mengenai kalimat saya tadi.
Akhirnya, saya ingin
bilang, kalau saya bersukacita untuk anak asuh saya yang tinggal di pedalaman
Kalimantan Barat sana! :) Untuk dua kriteria lainnya, semuanya tepat seperti
yang saya ingini. Anak asuh saya adalah seorang anak perempuan berusia 4 tahun.
Dan dia lucu sekali. Saya terharu saya bisa mendapat kesempatan seperti ini. Untuk memiliki seorang anak asuh di
suatu daerah di pedalaman yang memang membutuhkan dukungan.
Saya merasa senang
sekali bisa bergabung sebagai seorang sponsor anak melalui WVI. Apalagi, ketika
sudah mendapatkan paket pertama, yaitu profile
pack yang dikirimkan WVI ke kantor saya via JNE. Isinya lengkap :”) Saya
juga takjub sendiri karena saya mendapat semacam kartu ATM yang tersambung
dengan Bank BCA untuk masalah donasi sponsor. Saya juga mendapat buku panduan
pengasuhan anak beserta CD-nya, yang menjelaskan dengan lengkap mengenai sponsorship program WVI ini—termasuk bagaimana
caranya saya bisa berkorespondensi dengan anak melalui surat dan kado :) Selain
itu, disertakan pula selebaran-selebaran berisi informasi program kantor-kantor
cabang WVI di berbagai daerah di pedalaman Indonesia dan majalah Kasih Peduli.
Yang terpenting, saya mendapatkan informasi mengenai anak asuh saya juga di
dalamnya :) Tidak selengkap yang saya harapkan, tetapi saya bisa memahami
maksudnya :) Intinya, saya senang sekali mendapat profile pack itu.
Profile Pack Dari Wahana Visi Indonesia |
Kejutannya belum berhenti.
Sekitar satu atau dua minggu setelah paket JNE dari WVI berisi profile pack itu, saya mendapat satu
paket lagi. Kali ini lebih kecil dan lebih ringan—seperti sebuah surat. Saya
sendiri, tidak menduga akan mendapat paket lagi.
Ketika saya buka, betapa terharunya saya, karena ternyata itu adalah surat
pertama dari anak asuh saya di pedalaman Kalimantan Barat! :”) Memang karena
dia belum bisa menulis, staf WVI disana membantunya menuliskan surat itu—tetapi
saya tetap saja senang, apalagi karena dia menggambar telapak tanggannya di
surat. Gambar telapak tangan itu membuat saya merasa bisa terhubung dan merasa
dekat dengannya, meski saya belum pernah bertemu dan kami berada di dua pulau
yang terpisah yang cukup jauh jika ditempuh dengan perjalanan
udara-air-dan-darat (membayangkan pedalaman Kalimantan Barat, saya masih terus berpikir
pasti akan melalui sungai yang panjang dan hutan yang masih cukup liar itu—seperti
yang saya alami beberapa bulan lalu dalam perjalanan menuju pedalaman Kalimantan
Barat). Saya terharu dan tersemangati sekaligus. Tepat sekali ketika saya butuh
dorongan semangat untuk mengejar banyak deadline tulisan di kantor—saya menikmati
semuanya tepat dalam kontrol tangan Tuhan, untuk menghibur hati saya juga. Beatiful in His time :”)
Surat Pertama Dari Anak Asuh Saya :") |
Nah! 25 November
2014 nanti, anak asuh saya akan berulang tahun yang ke-5. Saya merasa excited sekali memikirkan kado apa yang
akan saya berikan untuknya, dan ketika memikirkan apa yang akan saya tuliskan
dalam surat balasan untuk surat pertamanya :) Meski pengiriman paket kado dan
surat ke daerah tempat tinggalnya yang cukup sulit dijangkau itu mungkin
membutuhkan waktu yang mencapai bulan—saya tetap ingin mengiriminya kado di
hari pertambahan usianya.
Di akhir tulisan
ini, saya ingin berbagi kesimpulan, bahwa rasanya sangat excited bisa mendapat kesempatan untuk mensponsori anak meski jarak
jauh. Seperti punya anak beneran, saya merasa banyak berpikir mengenai anak
asuh saya. Bagaimana kondisinya hari itu, bagaimana keluarganya disana,
bagaimana kebutuhannya. Bagaimana untuk terus tak lupa juga mengingat nama anak
asuh saya di dalam setiap doa-doa saya :”) Bagaimana saya berharap anak asuh
saya bisa menjadi seorang perempuan suku Dayak yang tangguh, yang bisa menempuh
pendidikan tinggi, berprestasi-berkarya-dan-berdampak, serta dapat
memperjuangkan pula para anak perempuan suku Dayak yang lainnya. Rasanya
bahagia. Rasa bahagia yang unik. Sungguh, kalian harus merasakannya juga. Let’s sponsor a child today! :)
Hai...sdh lama sebenaranya ingin jadi sponsor anak2 by WVI. tadi lagi search di google dan ketemu tulisan ini. Apakah ketika memutuskan join jangka waktunya ditentukan? trims
ReplyDeleteHi Mba Uli, maaf karena baru merespon (saya jarang membuka akun blog jika tidak sedang ingin publish tulisan). Maksudnya Mba Uli waktu join jadi sponsor WVI? Tidak kok Mba. Tapi memang program sponsor anak WVI dimaksudkan dan diharapkan pula untuk jangka waktu panjang, jadi setiap bulan terus kita akan support anak tsb. Jika kita tidak bisa melanjutkan, misalkan setelah setahun, kita bisa mengabari pihak WVI agar mereka dapat mencari ganti sponsor. Batas sponsorship kita untuk anak tersebut sendiri maksimal ditentukan dari lama project WVI di wilayah si anak. Semoga membantu ya mba Uli :)
Delete