Bagaimana Melalui Realita Putusnya Pertemanan (Friendship Break-Up)
Beberapa
penelitian mengatakan, friendship
break-up ternyata lebih sulit dilalui daripada realita putus relasi
romantis. Relasi romantis kerap memiliki status yang jelas dan awal-akhir yang
jelas pula, kapan dimulai dan biasanya pasti ada pembicaraan tentang keputusan
mengakhiri dari kedua belah pihak yang berelasi. Namun, pertemanan dan
persahabatan tidak selalu begitu dan kebanyakan memang tidak begitu. Ada saja
kalanya pertemanan putus tanpa ba-bi-bu. Tiba-tiba
hilang kontak dan komunikasi, saling menjauh dan akhirnya berpisah tanpa
kata-kata selamat tinggal. Itu salah satu hal yang membuat friendship break-up menjadi sulit dilalui.
Photo by Jan Tinneberg on Unsplash |
Blak-Blakan Tentang Friendship Break-Up
Bagaimana
saya menerjemahkan friendship break-up?
Saya rasa dengan satu kalimat saja cukup: kenyataan bahwa kita, sebagai sesama
kawan karib, sudah saling melupakan satu sama lain sekian lama sampai tak
terjembatani lagi (sebelumnya, saya pernah menulis juga di blog ini, tulisan refleksi saya tentang persahabatan: saya percaya bahwa persahabatan adalah tentang
tak saling melupakan satu sama lain). Relasi yang tak terjembatani lagi itu sama
dengan putusnya relasi.
Memang
belum ada definisi yang jelas untuk friendship
break-up. Namun secara ringkas dan sederhana, kita bisa menyimpulkan bahwa friendship break-up berarti putusnya segala
relasi dan komunikasi antara dua orang kawan. Alasan mengapa, bisa macam-macam.
Mulai dari seserius konflik yang memisahkan, sampai sesederhana perubahan fase
hidup yang menjauhkan satu sama lain perlahan-tapi-pasti.
Bicara
soal pertemanan sendiri, rasanya kompleks. Bagi saya yang berkepribadian INFJ
ini, relasi-relasi pertemanan berkualitas yang bisa jadi safe space sangat penting. Mungkin itupula yang mendasari saya
menggolongkan relasi-relasi pertemanan ke beberapa kategori: inner circle (sahabat-sahabat yang terdekat),
kawan-kawan karib lainnya, dan sekedar teman yang saling kenal saja. Tentu
saja, kesulitan melalui friendship
break-up tergantung dari seberapa dekat relasi pertemanan itu. Kalau
sekedar teman yang saling kenal saja, ya udah. Sensi sih, tapi memang gak dekat kan? Less expectations. Yang paling sulit, pasti ketika sudah saling
menyemat kata sahabat dan tadinya
berada di inner circle. Namun, friendship break-up dengan kawan-kawan
karib lainnya bukan berarti juga tak sulit. Bagi saya, itu termasuk kawan-kawan
karib yang pernah satu komunitas, pernah kenal dekat dan heart-to-heart juga dalam berbagi kisah hidup—meski tak selalu dan
tak se-intens inner circle.
Beberapa
tahun ini, saya ingat pernah baper karena
tidak mendapat undangan pernikahan dari beberapa kawan—termasuk salah satu sahabat
saya sepanjang masa SMP & SMA, atau yang lain yang pernah sekomunitas
dengan saya dan saya anggap kawan karib. Meskipun, harus diakui, relasi dan
komunikasi saya dengan mereka ini juga sudah merenggang sebelumnya: jadi, momen
dimana saya sadar saya tidak mendapat undangan pernikahan menjadi aha! moment yang menegaskan realita friendship break-up. Relasi pertemanan
kami tak penting lagi, saya tak diingat lagi. Dalam hal ini, mungkin perubahan
fase hidup, kondisi dan usia sanggup menjauhkan dan memutuskan relasi
pertemanan.
Sebaliknya,
saya juga harus mengakui beberapa tahun belakangan, saya dengan sengaja memutuskan
beberapa pertemanan yang tadinya akrab dan tidak
ingin menoleh ke belakang lagi untuk kesempatan membangun-ulang relasi. 100% putus relasi dan komunikasi. Dari
Introvert Dear, ada istilah khusus bagi mereka yang berkepribadian INFJ: INFJ door slam. Sebagai seseorang yang friendship-oriented, jelas tak mudah
bagi saya untuk slamming the door—itu
pilihan terakhir yang mau tak mau harus dipilih karena relasi yang sudah
terlalu tak seimbang lagi atau bahkan emotionally
painful. Saya tidak ingin menghakimi eks-kawan saya sebagai orang yang
toksik, mungkin karakter kami pada akhirnya tidak cocok saja dan kami kesulitan
beradaptasi.
Pengaruh Menjadi Dewasa & Media
Sosial
Semua
orang yang mementingkan pertemanan sepertinya akan mengalami realita friendship break-up di usia kepala dua.
Saya ingat beberapa sahabat di inner
circle saya juga pernah berbagi keluh-kesah yang sama tentang friendship break-up ini. Atau, bagaimana
di media sosial, banyak juga yang mengakui kehilangan kawan karena
perubahan-perubahan fase hidup di usia 20-an.
Mungkin
menjadi dewasa itulah yang sulit. Saya merasa saya tidak terlalu banyak overthinking atau baper ketika saya masih belum kepala dua. Saya ingat kawan karib
pertama saya di bangku TK. Selepas TK, kami tak pernah bertemu. Di jenjang SMA ternyata
kami satu sekolah lagi, meski tak sekelas. Realitanya, kami tak saling tegur
sapa sama sekali dan saya fine saja
dengan realita ini. Begitu juga dua sahabat saya di bangku SD. Kami terpisah
sejak memilih bersekolah di SMP & SMA berbeda, baru terhubung lagi melalui
media sosial bertahun-tahun kemudian selepas sekolah—tapi relasinya sudah biasa
saja dan saya fine dengan itu. Media
sosial (& smartphone) baru mulai
benar-benar hype sejak saya kuliah.
Berbeda
halnya dengan sekarang ini: masa dewasa. Saya tidak tahu apakah bertambah usia
bisa menaikkan tingkat sensitivitas dan overthinking
seseorang—atau justru semua ini karena pengaruh media sosial yang
mendekatkan-tapi-juga-menjauhkan-sekaligus? Maksud saya, seperti salah satu
sahabat saya sepanjang SMP-SMA itu. Sekarang, kami sudah terpisah jarak dan
kondisi. Saya tidak tahu lagi kabarnya, tapi
media sosial membuat saya tahu saya masih bisa mengetahui
kabarnya disana. Mungkin saya tidak akan terlalu overthinking soal friendship
break-up kalau tidak ada media sosial? Mungkin dua alasan (menjadi dewasa
& media sosial) itu menjadi pelengkap yang rumit akan satu sama lain.
Dalam
artikel “Makin Tua Teman Makin Sedikit?
Kamu Tak Sendirian” di Tirto, sebuah penelitian yang dikutip mengatakan
setelah umur 25 tahun, lingkaran pertemanan mulai menyusut. Perempuan
kehilangan teman lebih cepat dibanding laki-laki. Orang mulai mengeliminasi
teman berdasar ‘seberapa penting orang
tersebut di hidup mereka’ dan perempuan kehilangan teman lebih awal karena
konsep berteman seperti mencari pasangan hidup (mengeliminasi yang tidak
cocok). Oh ya, tentu saja, faktor berkeluarga menjadi esensial dan menyebabkan
perubahan prioritas. Nah, ternyata ini
masalah bagi hampir semua orang kok.
Secara
personal, setelah mengobservasi sana-sini, saya menyadari friendship break-up merupakan satu realita yang alamiah terjadi
meski tak mudah untuk dilalui. Beberapa refleksi personal saya mengenai realita
friendship break-up, yang mungkin
bisa membantu lebih berkuat hati :
1. Segala sesuatu ada masanya,
termasuk relasi pertemanan.
Kata
Heraclitus, nothing endures but change. Tidak
ada yang abadi di muka bumi ini, termasuk pula relasi pertemanan. Karena
pertemanan sifatnya resiprokal dua arah, kita tak berkuasa untuk menentukan
masa depan relasi ini. Banyak faktor yang bisa mempengaruhi, termasuk jarak,
waktu, situasi dan kondisi. Pada kenyataannya, wajar jika relasi pertemanan
kita merenggang dan menjauh dengan kawan-kawan akrab di masa sekolah atau
kuliah, setelah kita lulus dari sekolah atau universitas. Wajar jika relasi
pertemanan merenggang dan menjauh, bahkan putus, setelah ada yang berumah
tangga—ataupun berpindah domisili. Tidak apa kemarin akrab, sekarang asing. Let it go. Bahkan relasi antar anggota
keluarga yang terikat ikatan darah saja bisa berubah dan bisa putus—wajar jika
relasi pertemanan bisa berubah dan bisa putus.
2. Kenyataannya, manusia pasti
terus berubah dan perubahan satu sama lain bisa saja menjarakkan dan mengubah
relasi.
Kita
tidak bisa berharap tidak ada yang berubah dari teman-sahabat kita, atau bahkan
dari kita sendiri—itu utopis. Perubahan
itu pasti, termasuk dalam karakter, prioritas dan preferensi. Karena itu, relasi
apapun termasuk pertemanan, membutuhkan proses re-adaptasi terus-menerus.
Kegagalan beradaptasi terhadap satu sama lain tentu bisa mengubah relasi. Ah
ya, perlu juga mengenali apakah jangan-jangan kawan kita ternyata memang tidak
se-friendship-oriented kita. Perlu
digaris-bawahi, tidak semua orang mementingkan pertemanan lho. Ada yang lebih
mementingkan keluarga dan pasangan. Menurut saya, lebih baik tidak berharap
terlalu banyak pada kawan-kawan yang memang tidak mementingkan pertemanan:
percayalah, kemungkinan kamu mengalami friendship
break-up dengan mereka akan jauh lebih tinggi. Bisa disebut sebagai
pertemanan bertepuk sebelah tangan mungkin ya, hehe.
3. Wajar dan manusiawi jika merasa kehilangan.
Wajar
jika kita kesulitan melalui realita friendship
break-up dan butuh waktu meratap dulu, apalagi untuk relasi-relasi
pertemanan yang tadinya akrab sekali. Kehilangan
itu manusiawi. Bukan hanya orang yang berelasi romantis yang bisa patah hati
dan berduka karena kehilangan, orang-orang yang berkawan baik bisa juga kok.
Kita perlu memvalidasi perasaan yang muncul dan mempraktikkan self-compassion kepada diri sendiri
untuk melalui kehilangan karena friendship
break-up.
4. Evaluasi & refleksi. Tapi
ingat, tidak perlu menyalahkan.
Don't blame your ex-friends and don't
blame yourself. Biasanya
kan begitu. Kita mencari-cari apa yang salah, dimana yang salah. Tentu saja
kita perlu bersikap objektif untuk mengevaluasi relasi pertemanan kita selama
ini—tapi kita tidak perlu menyalahkan satu pihak. Saya yakin, tidak ada yang
selama berelasi tak pernah salah atau tak pernah mengecewakan yang lain: kalau
kita menganggap eks-kawan kita toksik, bukan berarti kita juga tak pernah
toksik untuk eks-kawan kita kan? Hati-hati juga overpersonalization: merasa semua adalah salah kita dan kita memang
tak layak sebagai kawan untuk dipertahankan. Absolutely no. Bijak saja melihat konteks situasinya dan belajar
mengambil tanggung-jawab. Hasil evaluasi dan refleksi ini bisa menjadi guidelines baik bagi kita untuk merawat relasi-relasi
pertemanan yang masih awet.
5. Tak perlu menyangkal
kenangan-kenangan baik dengan ex-kawan yang hadir di masa lalu.
Kenangan
baik tetaplah kenangan baik. Jangan dicampur aduk. Bagaimanapun, saya yakin
bahwa ada kalanya kita menikmati masa-masa yang menyenangkan bersama eks-kawan
kita di masa lalu. Mengalami friendship
break-up di masa kini bukan berarti masa-masa menyenangkan di masa lalu
tidak pernah terjadi atau eks-kawan kita tidak pernah baik pada kita. Kenang
saja hal-hal baik itu sebagai bagian yang baik di masa lalu, selepas dan
terpisah dari fakta bahwa sekarang pertemanan sudah tak terjalin lagi.
6. Mengapresiasi relasi-relasi
pertemanan yang masih awet & manjang saat
ini.
Kehilangan
bisa mengingatkan kita untuk mengapresiasi kawan-kawan kita yang masih loyal
bersama-sama kita. Kita perlu mengapresiasi dan merawat pula relasi-relasi
pertemanan yang masih awet saat ini. Gak lagi taken for granted. They are a valuable gift indeed.
7. Tetap membuka diri pada
relasi-relasi pertemanan baru.
Tapi,
bukan sebagai pelarian atau pembuktian ‘gue
bisa kok dapat teman baru yang lebih baik dari lo.’ Kita tidak perlu
seperti itu, tidak sehat juga bagi jiwa. Beberapa kawan yang pernah saya kenal
juga cenderung pesimistik-skeptik terhadap relasi-relasi pertemanan baru karena
pengalaman buruk soal pertemanan di masa lalu. Ini membuat mereka memasang
tembok terlalu tinggi dan menutup kemungkinan-kemungkinan berjumpa dengan teman
yang lebih baik. Sebaliknya, kita perlu bersikap netral terhadap relasi-relasi
baru: tidak terlalu optimis, tidak terlalu pesimistik. Mengalami friendship break-up satu atau beberapa
kali bukan berarti kita akan terus mengalami friendship break-up seumur hidup kan?
8. Akhirnya, perlu usaha dua arah
yang berkesinambungan untuk merawat relasi pertemanan.
Bukan hanya pacaran aja lho yang perlu komunikasi kontinu, tetapi pada dasarnya segala jenis relasi di muka bumi. Relasi pertemanan juga perlu dirawat, termasuk dengan komunikasi yang kontinu baik. Di era teknologi komunikasi yang sanggup mendekatkan-yang-jauh seperti saat ini, merawat relasi pertemanan semudah secara berkala mengirim chat dan bertukar kabar kok (gak perlu seribet mengantor surat ke kantor pos atau mengirimkannya lewat burung merpati). Namun, di dunia serba online saat ini, hati-hati juga dengan ignorance—people are more sensitive. Apalagi jika pengabaian itu berulang dan jadi habit. Bukan karena menjangkau kawan semudah mengirimkan chat di WhatsApp yang bisa dilakukan kapan saja dalam 24 jam, maka kita bisa semena-mena untuk mengabaikan. Saya ingat saya dan kawan saya pernah saling berkeluh kesah tentang kawan yang sering sekali mengabaikan chat kami—jujur saja, kami jadi enggan untuk menjangkau kawan kami itu lagi via chat karena enggan untuk diabaikan. Merawat relasi pertemanan juga bisa dilakukan dalam cara-cara lainnya: mengingat ulang tahun dan mengirim kado, merespon Instastory atau WhatsApp status update, sampai meluangkan waktu untuk quality time dalam pertemuan offline.
9. A kind reminder: Friendship is
not everything.
In the end, we must be ready to
embrace loneliness & be independent. Saya menuliskan poin ke-9 ini tanpa bermaksud untuk
skeptik-pesimistik, tapi berusaha bersikap realistik. Pertemanan dan
persahabatan kita awet sampe tua-renta pun, pada akhirnya akan ada yang
meninggal lebih dulu dan ada yang tertinggal menjadi sendirian. Akan ada masanya kita sendirian tanpa kawan. Karena
itu, kita perlu menyadari bahwa penting juga untuk belajar menjadi kawan baik
bagi diri sendiri.
Satu
lagi poin penting yang ingin saya tambahkan secara terpisah: relasi-relasi pertemanan yang terjalin
dalam komunitas spiritual tidak menjamin bahwa relasi kita bakalan awet dan manjang. Kawan-kawan kita yang tampaknya spiritual itu juga manusia biasa, please manage our expectations. Akhirnya,
saya merenungi, kedalaman relasi lebih penting dari keterlibatan faktor
spiritualitas dalam relasi: yang sampai sekarang awet dan manjang bersama-sama saya dominannya justru kawan-kawan saya sejak
remaja yang menjalin relasi tanpa embel-embel spiritualitas. Justru banyak
kawan-kawan dari komunitas spiritual yang akhirnya melupakan satu sama lain. Bukan
saya saja yang mengalami. Saya kembali pada teori sosiologi saja ah, pada
akhirnya komunitas spiritual (atau bahkan gereja) hanyalah salah satu jenis
dari kelompok sosial—seringkali, tiada beda yang terlampau jauh dengan
kelompok-kelompok sosial yang lain, apalagi secara naturnya.
Jadi,
semoga dapat melalui realita putusnya pertemanan dan semoga tidak lupa juga
untuk merawat dan mengapresiasi relasi-relasi pertemanan yang masih awet dan manjang.
Kata-kata
ini saya ucapkan untuk diri sendiri. :’)
kan tulisannya bagus banget dan bener - bener relate!! aku juga begitu dan rasanya sedih banget. karna kan kita selalu senang2 dan merayakan hal - hal yang menyenagkan eh tapi skrang udah nggak pernah ketemu dan cerita lagi. life must go on and people come and go. jadi mau nggak mau harus terima kenyataannya! haha. syedih tapi mau gimana lagi xd
ReplyDeleteSetuju banget dengan artikelnya.. aku dulu juga pernah mengalami frindship-break dengan teman. Pelajaran yang aku ambil adalah pentingnya komunikasi dan selalu mengingat bahwa pertemanan itu adalah antara 2 orang atau lebih yang berkontribusi untuk juga menjaga pertemanan tersebut. Jadi kalau aku sudah ngga ada effort dari teman tersebut, ya sudah move on.. dari pada malah sedih dan berekspektasi. But friendship-break up is suck indeed 🙃
ReplyDelete