11 Perenungan Saya Tentang Persahabatan


Dari relasi-relasi persahabatan yang sudah dijalani sejak masih duduk di bangku SD sampai sekarang, dari yang sudah tidak tahu lagi kabarnya sampai yang masih awet hingga sekarang—belakangan saya merenung banyak. Persahabatan ternyata merupakan satu jenis relasi yang tak kalah complicated jika dibandingkan dengan relasi romantis dengan pasangan—ya, setiap relasi sosial antar manusia jika dipikir-pikir, nyatanya memang rumit.

Photo by Clarisse Meyer on Unsplash

Beberapa perenungan saya tentang persahabatan, dari perenungan pengalaman perjalanan yang telah saya lalui selama dan sejauh ini, di tengah segala ups & downs-nya.

1. Persahabatan seringkali terjalin tanpa direncanakan. Saya merenungi bahwa ternyata, persahabatan bertumbuh secara alamiah, bukan dipaksakan—meski bukan berarti tidak diusahakan. Saya sendiri sering heran sendiri, mengapa saya akhirnya bisa bersahabat dengan beberapa sahabat saya—karena benar-benar tidak direncanakan dan terjadi begitu saja seiring perjalanan waktu. Saya kira di awal perkenalan mungkin kami tidak cocok, eh ternyata saya salah. Dalam hal ini, memanajemen ekspektasi kita dalam melihat relasi juga penting. Kita perlu menikmati saja alurnya, tanpa berpikir terlalu ribet soal ini-dan-itu.

2. Persahabatan bukan hanya soal kecocokan (karakter, hobi, pemikiran) satu sama lain, tetapi juga momen dan waktu, pun kemampuan untuk saling beradaptasi. Masih terkait dengan nomor satu, persahabatan seringkali dimulai oleh momen dan waktu tertentu yang menempatkan orang-orang untuk banyak bersama-sama: misalkan teman sekelas, teman satu komunitas, teman sekos atau teman sebangku. Karakter, hobi, pemikiran mungkin tak selalu sama atau seiya-sekata, tapi kemampuan untuk saling menerima dan beradaptasi bisa menjembatani.

3. Teman-teman terdekat sejak masa sekolah, yang kemudian menjadi sahabat kita sampai setelah-setelahnya akan lebih loyal dalam persahabatan. Setidaknya dari pengalaman saya. Mungkin karena sudah mengenal sejak usia masih remaja, sampai perlahan-lahan bertumbuh bersama menjadi dewasa—kita jadi saling melihat banyak sisi dari satu sama lain dan bisa lebih memahami. Khususnya, jika waktu bersama-sama sudah memasuki usia dua digit, 10 tahun. Karena orang-orang yang kita kenal setelah menginjak usia dewasa, apalagi sudah bekerja dan menikah, biasanya terlalu sibuk untuk memikirkan hal-hal seperti persahabatan. Perihal pertemanan hanya dilihat ala kadarnya, karena perhatian terfokus pada pekerjaan untuk kemapanan dan rumah tangga.

4. Jangan cepat menyemat sebutan, sebelum waktu membuktikan ketahanan relasi. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun dan begitu banyak momen untuk meyakini bahwa relasi dalam persahabatan memang sungguh-sungguh dan tulus. Seperti nasehat salah satu ex teman setim kerja di kantor saya dulu, yang tak bisa saya sangkal. Waktu setahun, bahkan, masih terbilang terlalu cepat untuk menyemat sebutan sahabat. Padahal, terlalu cepat menyemat sebutan dapat membuat relasi menjadi prematur—meski konfirmasi-afirmasi-validasi relasi pun dibutuhkan melalui sematan sebutan, bestfriend.

5. Dalam persahabatan yang sehat, konflik merekatkan. Konflik tidak selalu negatif, konflik juga bisa positif—ketika mereka yang terlibat konflik dalam persahabatan (yang sehat) menyikapinya secara dewasa dan rendah hati, dengan mau saling memahami, saling memaafkan dan saling beradaptasi kembali. Konflik bisa menjadi cara mereka yang menjalin persahabatan lebih mengenali satu sama lain, lebih dalam lagi.

6. Persahabatan terjalin di antara mereka yang bisa have fun bersama, tapi juga bisa berbincang serius dan heart-to-heart tentang topik lainnya (baca: menanggung suka-duka bersama). Keduanya perlu keseimbangan: tidak hanya suka, pun tidak selalu duka. Tapi, memulainya dari have fun bersama itu penting. Saya merenungi bahwa orang-orang yang dengan mereka saya memulai pertemanan dengan terlalu serius, ternyata agak kesulitan untuk bersenang-senang bersama (bahkan sesederhana jalan-jalan, nongkrong, menonton bioskop). Sebaliknya, teman-teman yang menjalin relasi dengan have fun bersama sedari awal, justru bisa perlahan-lahan mulai memperbincangkan topik-topik serius secara heart-to-heart, sehingga jadi lebih seimbang.

7. Friendship goals yang sering kita lihat di media sosial tidak berlaku untuk setiap persahabatan. Setiap persahabatan memiliki karakternya, jalannya, ciri khas uniknya sendiri. Ada persahabatan yang bisa terjalin se-nyablak itu, tapi ada juga persahabatan yang terjalin sesantai dan selembut itu—tergantung kepribadian orang-orang yang ada di dalamnya, yang juga berbeda-beda. Ada persahabatan yang nyaman dan terbiasa dengan party & bars, tapi ada juga persahabatan yang nyaman dengan toko buku dan perpustakaan. Semuanya baik selama itu sehat, nyaman bagi semua, dan tidak merugikan bagi siapapun. Menyamaratakan friendship goals bisa jadi menghilangkan hal-hal istimewa dari setiap persahabatan.

8. Kita memerlukan upaya-upaya untuk saling merawat persahabatan. Persahabatan adalah tentang tidak saling melupakan, apapun yang terjadi. Apalagi momen hidup membuat kita jarang bertemu dan terpisah jarak, domisili, dan kesibukan. Sekedar saling menanggapi whatsapp status atau instastories, meninggalkan comment di post media sosial. Sekedar mengirimkan pesan singkat melalui chat menanyakan apa kabar (atau meme lucu, haha). Tak lupa berbagi cerita jika bertemu momen yang tepat (videocall memudahkan). Mengatur waktu untuk tetap bisa sesekali bertemu muka setiap sebulan atau beberapa bulan sekali jika memungkinkan. Memasukkan upaya merawat persahabatan ini dalam prioritas, meski ada prioritas lain. Seperti sahabat saya yang teladan banget, untuk membagi waktu antara nongkrong dengan kami dan bertemu dengan pacarnya—tidak pernah meninggalkan sahabat-sahabatnya demi pacarnya, atau sebaliknya tidak juga meninggalkan pacarnya demi sahabatnya. Akhirnya, persahabatan adalah tentang tidak saling melupakan, apapun yang terjadi.

9. Persahabatan memerlukan batasan yang sehat, jangan lupa memanajemen ekspektasi kita. Persahabatan bukan relasi yang “kemana-mana pasti bersama”—karena bersama pasangan saja tidak begitu kan. Faktanya, sahabatmu tidak mungkin ada tersedia 24 jam setiap waktu untukmu. Sahabatmu juga manusia biasa, bukan Tuhan—artinya, ia juga memiliki masalahnya sendiri, emosi dan kesibukan, kekurangan-kelemahan dan keterbatasannya sendiri. Persahabatan yang sehat mengenali batasan-batasan ini, demi saling memahami, bukan melanggarnya dengan sekedar menuntut tanpa mau peduli.

10. Persahabatan yang sehat dan bertahan sifatnya resiprokal, dua arah. Kata “saling” adalah penting. Take & give harus bergantian, tak bisa hanya satu pihak melulu take atau melulu give—karena akan menempatkan relasi menjadi timpang, bahwa ada yang selalu diuntungkan dan ada yang merasa terlalu lelah, pun dirugikan. Praktisnya, ini bisa jadi sesederhana soal menjadi tempat curhat, bahwa tidak selalu si A yang curhat dan si B selalu mendengarkan—meski si B memang merupakan seorang great listener atau bertalenta caregiver, yang lebih senang mendengarkan daripada bercerita, ada kalanya ia juga butuh teman berbagi dan butuh didengarkan kan.

11. Kita tidak bisa menebak akhir perjalanan dari sebuah persahabatan, sampai kapan relasi akan manjang atau bertahan. Seperti poin nomor 10, ya karena persahabatan adalah juga relasi dua arah, tidak hanya bergantung pada keinginan atau usaha kita semata. Perlu diingat juga bahwa setiap orang akan berubah—meski perubahan bisa saja mendekatkan dan merekatkan, bukan menjauhkan—tetapi perubahan, termasuk perubahan masa-masa kehidupan seperti bekerja, menikah, dan punya anak, memang bisa jadi berdampak banyak bagi persahabatan. Tidak apa-apa, rayakan saja selama persahabatan masih bisa bertahan, dan jangan berpegangan terlalu erat jika memang persahabatan sudah tak lagi bisa manjang seperti yang tadinya diharapkan.

_______________________

Nah, kalau menurutmu bagaimana?

No comments:

Powered by Blogger.