Film Pendek Kisah Tiga Tahun (2020) & Ketidakinginan Menikah
Ada satu film
pendek yang sangat menarik yang rilis di tengah pandemi ini. Diproduksi oleh
Chandu Studio, film ini berjudul Kisah
Tiga Tahun (2020). Sebuah film pendek karya sutradara Dara Roshertanty, yang
naskahnya ditulis oleh Anissa Rahma Zulhadi—karya para perempuan (salah satu
alasan yang membuat saya excited juga).
Sebagaimana judulnya, dalam durasi sekitar 17:25 menit, film ini bercerita
tentang sesuatu yang sederhana: tentang kisah tiga tahun antara hubungan Adra
& Kara, yang menariknya, saling jatuh cinta dan hidup bersama, tapi
sama-sama juga tidak ingin menikah. Sebelumnya, tulisan ini mengandung spoiler ya! Disarankan, kamu segera
menonton filmnya lebih dulu di YouTube sebelum lanjut membaca tulisan ini. :))
Kisah Tiga Tahun (2020), sebuah film pendek |
Mengenai film
pendek Kisah Tiga Tahun (2020) ini,
setidaknya ada empat hal yang menjadi refleksi saya setelah menyimak baik.
Narasi Tidak Menikah
Cerita yang
diangkat film Kisah Tiga Tahun (2020)
merupakan cerita yang menurut saya jelas masih jarang diangkat di Indonesia. Di
tengah segala narasi tentang cinta dan menikah di layar kaca, film ini berani
mengangkat tentang hal sebaliknya—cinta dan ketidakinginan untuk menikah. Satu
isu yang tidak mainstream, tapi
sebenarnya banyak dialami generasi muda di Indonesia saat ini.
Mengatakan isu ini
kebarat-baratan juga sepertinya tidak terlalu pas. Ya, mungkin adat ketimuran
Indonesia tidak menganut ‘hidup bersama tanpa ikatan pernikahan.’ Tapi tetap
saja, ketidakinginan untuk menikah bisa dialami beragam orang dari beragam
kultur kan? Kenyataannya, realita pernikahan tidak bahagia, perceraian, KDRT,
perselingkuhan dan segala persoalan dalam pernikahan memang terjadi secara umum
di semua kultur.
Konflik Sederhana: Tidak Setujuan Lagi
Konflik ceritanya
juga sebenarnya sederhana, tapi rumit jika diselami dalam konteks kisahnya: meskipun
tadinya pasangan Adra & Kara ini sama-sama tidak ingin menikah—setelah tiga
tahun hubungan mereka, Kara mulai yakin untuk melepaskan keengganannya dan
mulai membuka kemungkinan untuk keinginan menikah dengan Adra. Masalahnya, Adra
tidak begitu. Adra masih tetap tidak ingin menikah. Setelah tiga tahun, ada yang berubah dan pasangan ini jadi
tidak setujuan lagi.
Menarik sekali untuk
menyimak baik-baik dialog antara Kara dan Adra ketika mau tak mau harus
membahas ulang tentang tujuan mereka yang tak lagi searah ini. Kita bisa
mencoba netral, tak berpihak—mencoba memahami perspektif keduanya, on their own shoes. Adra yang memang
belum bisa berdamai dengan segala kecemasan dan ketakutannya tentang komitmen
pernikahan, karena masih merujuk pada referensi pernikahan dan relasi yang
tidak bahagia. Kara, yang sebaliknya, perlahan-lahan mulai yakin untuk tidak
takut setelah merujuk pada referensi pernikahan orang-orang di sekelilingnya
yang menurutnya cukup bahagia.
Apakah Adra Salah Untuk Masih Tidak Ingin Menikah?
Satu hal yang saya
rasa janggal adalah komentar-komentar netizen untuk film ini. Saya sungguh
tidak mengerti mengapa netizen (yang didominasi para perempuan) harus memihak
salah satu, menggunakan hashtag #teamKara, sampai menyalahkan pihak yang
lainnya (Adra). Saya jadi tergelitik untuk bertanya, ‘lah memangnya si Adra salah ya?’. Saya sendiri tidak merasa ada
yang seksis atau toksik dalam relasi mereka ini, tidak ada yang saling
merugikan—hanya sudah tak setujuan lagi saja, that’s it. Saya pikir, banyak netizen lupa, keduanya memulai dari
keinginan dan tujuan yang sama: berelasi romantis tapi tidak ingin menikah.
Jadi bukannya Kara yang berubah dari haluan tujuan mereka, bukan Adra dong?
Adra juga tidak
menghalangi Kara untuk menikah, jika Kara memang sudah berubah tujuan untuk
menikah. “Nikah Kar, tapi bukan sama aku,”
sepertinya adalah jawaban yang fair
enough dari Adra. Artinya, Adra tidak egois karena tidak menahan Kara agar
tetap tidak menikah saja bersamanya, iya kan? Lagi-lagi saya tergelitik untuk bertanya, pertanyaan lainnya, ‘lah memangnya sepenting itu pernikahan
sampai semuanya harus wajib mau menikah biar endingnya bahagia ya?’. Dari
refleksi ini, saya makin menyadari bahwa tetap saja, di Indonesia, kita masih
belum membuka ruang yang cukup luas untuk pilihan tidak menikah.
Kesimpulan: Tak Mudah Untuk Berdamai Dengan Trauma
Meski dalam film Kisah Tiga Tahun (2020) tak disebutkan
secara spesifik tentang trauma Adra, penonton mungkin bisa menebak memang Adra
sebegitu takut dan enggannya menikah. Ia melihat ke kehidupan pernikahan ayah
& ibunya yang tidak bahagia, ia menakuti perubahan yang mungkin saja
terjadi dalam relasi mereka: cinta yang berubah, Kara yang bosan terhadapnya, tak
ada yang bisa menjamin. Harus diakui, tak mudah berdamai dengan trauma. Itu
juga yang membuat saya berduka, mengapa para netizen harus berkomentar pahit, yang
lebih menyandung mereka yang punya trauma terhadap pernikahan—ketimbang mendukung
pemulihan mereka.
“I've been in kara's position. I let him go. Coz I know maksa orang dengan trauma seperti ngadodorong motor butut. Was so very hurt and empty. But I decided to move on,” kata salah satu netizen. Ya, saya mengakui, sangat rumit berurusan dengan mereka yang punya trauma terhadap komitmen relasi romantis dan pernikahan. Ingat saja sosok Summer dalam (500) Days of Summer (2009) dan Kale dalam Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (2020). Tapi, konteks film ini berbeda: mereka sama-sama tidak ingin menikah, awalnya. Ini bukan kasus Tom & Summer, atau Awan & Kale, dimana salah satu dari mulanya ingin serius tapi yang satu tidak. Kalau memang tidak siap untuk membantu pasangan yang trauma akan pernikahan untuk pulih, ya let it go aja, tak perlu pakai kata-kata yang stigmatif kan? :) Perlu diingat, bahwa perjalanan pemulihan dari trauma tak bisa disamakan, meski mereka mencoba melalui hubungan bersama-sama: jika dalam tiga tahun hubungan mereka, Kara (yang juga takut menikah) perlahan-lahan bisa berdamai dengan ketidakinginannya untuk menikah, belum tentu Adra juga bisa berdamai seperti Kara. Pada akhirnya, setiap orang punya timeline perjalanan pemulihannya masing-masing.
Mengenai trauma
terhadap komitmen dan pernikahan, menarik untuk menyimak bahwa ada yang disebut
gamophobia. Sebagaimana dikutip dalam
artikel Tirto.id, gamophobia lebih banyak diderita oleh para lelaki. Riset mandiri Tirto.id
pada Agustus 2016 lalu juga menemukan bahwa ada 24,9 persen perempuan memilih
tidak ingin menikah. Sebabnya tentu bermacam-macam, termasuk trauma atas
pengalaman-pengalaman buruk tentang pernikahan. Yang jelas, ya, fenomena sosial
ini makin banyak ditemukan di generasi milenial Indonesia. Itu juga mengapa
film Kisah Tiga Tahun (2020) membawa
angin segar yang baru dalam tema cerita yang diangkatnya, tepat menyoroti
realita sosial saat ini. Kekinian.
Tulisan ini ingin
saya tutup dengan satu kesimpulan: sebenarnya bagaimana kita, generasi muda di
Indonesia, memaknai pernikahan? Secara sosiologis, saya pikir, itu yang paling
penting—nilai-nilai kita, sistem nilai kita. Sistem nilai ini tentu saja akan
berproses, seiring perkembangan waktu, zaman, dan kultur sosial. Berproses
timbal-balik dari ranah makro ke mikro, re-refleksi ulang atas nilai-nilai
budaya, agama, keluarga atas nilai-nilai personal seseorang. Saya mengangkat
topi untuk orang-orang yang berani mempertanyakan tentang makna pernikahan, tak
sekedar taken for granted—memilih
pernikahan, hanya karena semua orang menikah tanpa punya tujuan. Saya mengangkat topi untuk orang-orang
yang mau berproses dalam rutenya sendiri tanpa merendahkan proses dan pilihan
orang lain: karena saya percaya, tak
semua orang harus menikah dan pernikahan memang bukan untuk semua orang.
Jadi, semoga setiap pribadi yang
memilih menikah akan berbahagia. Semoga setiap pribadi yang memilih tidak menikah juga akan
berbahagia. Semoga yang memilih menikah dan tidak menikah bisa saling mendukung
dan menghargai pilihannya masing-masing. :))
No comments: