Film Pendek Kisah Tiga Tahun (2020) & Ketidakinginan Menikah

November 29, 2020

 

Ada satu film pendek yang sangat menarik yang rilis di tengah pandemi ini. Diproduksi oleh Chandu Studio, film ini berjudul Kisah Tiga Tahun (2020). Sebuah film pendek karya sutradara Dara Roshertanty, yang naskahnya ditulis oleh Anissa Rahma Zulhadi—karya para perempuan (salah satu alasan yang membuat saya excited juga). Sebagaimana judulnya, dalam durasi sekitar 17:25 menit, film ini bercerita tentang sesuatu yang sederhana: tentang kisah tiga tahun antara hubungan Adra & Kara, yang menariknya, saling jatuh cinta dan hidup bersama, tapi sama-sama juga tidak ingin menikah. Sebelumnya, tulisan ini mengandung spoiler ya! Disarankan, kamu segera menonton filmnya lebih dulu di YouTube sebelum lanjut membaca tulisan ini. :))


Kisah Tiga Tahun (2020), sebuah film pendek

 

Mengenai film pendek Kisah Tiga Tahun (2020) ini, setidaknya ada empat hal yang menjadi refleksi saya setelah menyimak baik.

 

Narasi Tidak Menikah

Cerita yang diangkat film Kisah Tiga Tahun (2020) merupakan cerita yang menurut saya jelas masih jarang diangkat di Indonesia. Di tengah segala narasi tentang cinta dan menikah di layar kaca, film ini berani mengangkat tentang hal sebaliknya—cinta dan ketidakinginan untuk menikah. Satu isu yang tidak mainstream, tapi sebenarnya banyak dialami generasi muda di Indonesia saat ini.

 

Mengatakan isu ini kebarat-baratan juga sepertinya tidak terlalu pas. Ya, mungkin adat ketimuran Indonesia tidak menganut ‘hidup bersama tanpa ikatan pernikahan.’ Tapi tetap saja, ketidakinginan untuk menikah bisa dialami beragam orang dari beragam kultur kan? Kenyataannya, realita pernikahan tidak bahagia, perceraian, KDRT, perselingkuhan dan segala persoalan dalam pernikahan memang terjadi secara umum di semua kultur.

 

Konflik Sederhana: Tidak Setujuan Lagi

Konflik ceritanya juga sebenarnya sederhana, tapi rumit jika diselami dalam konteks kisahnya: meskipun tadinya pasangan Adra & Kara ini sama-sama tidak ingin menikah—setelah tiga tahun hubungan mereka, Kara mulai yakin untuk melepaskan keengganannya dan mulai membuka kemungkinan untuk keinginan menikah dengan Adra. Masalahnya, Adra tidak begitu. Adra masih tetap tidak ingin menikah. Setelah tiga tahun, ada yang berubah dan pasangan ini jadi tidak setujuan lagi.

 

Menarik sekali untuk menyimak baik-baik dialog antara Kara dan Adra ketika mau tak mau harus membahas ulang tentang tujuan mereka yang tak lagi searah ini. Kita bisa mencoba netral, tak berpihak—mencoba memahami perspektif keduanya, on their own shoes. Adra yang memang belum bisa berdamai dengan segala kecemasan dan ketakutannya tentang komitmen pernikahan, karena masih merujuk pada referensi pernikahan dan relasi yang tidak bahagia. Kara, yang sebaliknya, perlahan-lahan mulai yakin untuk tidak takut setelah merujuk pada referensi pernikahan orang-orang di sekelilingnya yang menurutnya cukup bahagia.

 

Apakah Adra Salah Untuk Masih Tidak Ingin Menikah?

Satu hal yang saya rasa janggal adalah komentar-komentar netizen untuk film ini. Saya sungguh tidak mengerti mengapa netizen (yang didominasi para perempuan) harus memihak salah satu, menggunakan hashtag #teamKara, sampai menyalahkan pihak yang lainnya (Adra). Saya jadi tergelitik untuk bertanya, ‘lah memangnya si Adra salah ya?’. Saya sendiri tidak merasa ada yang seksis atau toksik dalam relasi mereka ini, tidak ada yang saling merugikan—hanya sudah tak setujuan lagi saja, that’s it. Saya pikir, banyak netizen lupa, keduanya memulai dari keinginan dan tujuan yang sama: berelasi romantis tapi tidak ingin menikah. Jadi bukannya Kara yang berubah dari haluan tujuan mereka, bukan Adra dong?

 

Adra juga tidak menghalangi Kara untuk menikah, jika Kara memang sudah berubah tujuan untuk menikah. “Nikah Kar, tapi bukan sama aku,” sepertinya adalah jawaban yang fair enough dari Adra. Artinya, Adra tidak egois karena tidak menahan Kara agar tetap tidak menikah saja bersamanya, iya kan? Lagi-lagi saya tergelitik untuk bertanya, pertanyaan lainnya, ‘lah memangnya sepenting itu pernikahan sampai semuanya harus wajib mau menikah biar endingnya bahagia ya?’. Dari refleksi ini, saya makin menyadari bahwa tetap saja, di Indonesia, kita masih belum membuka ruang yang cukup luas untuk pilihan tidak menikah.

 

Kesimpulan: Tak Mudah Untuk Berdamai Dengan Trauma

Meski dalam film Kisah Tiga Tahun (2020) tak disebutkan secara spesifik tentang trauma Adra, penonton mungkin bisa menebak memang Adra sebegitu takut dan enggannya menikah. Ia melihat ke kehidupan pernikahan ayah & ibunya yang tidak bahagia, ia menakuti perubahan yang mungkin saja terjadi dalam relasi mereka: cinta yang berubah, Kara yang bosan terhadapnya, tak ada yang bisa menjamin. Harus diakui, tak mudah berdamai dengan trauma. Itu juga yang membuat saya berduka, mengapa para netizen harus berkomentar pahit, yang lebih menyandung mereka yang punya trauma terhadap pernikahan—ketimbang mendukung pemulihan mereka.

 

I've been in kara's position. I let him go. Coz I know maksa orang dengan trauma seperti ngadodorong motor butut. Was so very hurt and empty. But I decided to move on,” kata salah satu netizen. Ya, saya mengakui, sangat rumit berurusan dengan mereka yang punya trauma terhadap komitmen relasi romantis dan pernikahan. Ingat saja sosok Summer dalam (500) Days of Summer (2009) dan Kale dalam Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (2020). Tapi, konteks film ini berbeda: mereka sama-sama tidak ingin menikah, awalnya. Ini bukan kasus Tom & Summer, atau Awan & Kale, dimana salah satu dari mulanya ingin serius tapi yang satu tidak. Kalau memang tidak siap untuk membantu pasangan yang trauma akan pernikahan untuk pulih, ya let it go aja, tak perlu pakai kata-kata yang stigmatif kan? :) Perlu diingat, bahwa perjalanan pemulihan dari trauma tak bisa disamakan, meski mereka mencoba melalui hubungan bersama-sama: jika dalam tiga tahun hubungan mereka, Kara (yang juga takut menikah) perlahan-lahan bisa berdamai dengan ketidakinginannya untuk menikah, belum tentu Adra juga bisa berdamai seperti Kara. Pada akhirnya, setiap orang punya timeline perjalanan pemulihannya masing-masing.

 

Mengenai trauma terhadap komitmen dan pernikahan, menarik untuk menyimak bahwa ada yang disebut gamophobia. Sebagaimana dikutip dalam artikel Tirto.id, gamophobia lebih banyak diderita oleh para lelaki. Riset mandiri Tirto.id pada Agustus 2016 lalu juga menemukan bahwa ada 24,9 persen perempuan memilih tidak ingin menikah. Sebabnya tentu bermacam-macam, termasuk trauma atas pengalaman-pengalaman buruk tentang pernikahan. Yang jelas, ya, fenomena sosial ini makin banyak ditemukan di generasi milenial Indonesia. Itu juga mengapa film Kisah Tiga Tahun (2020) membawa angin segar yang baru dalam tema cerita yang diangkatnya, tepat menyoroti realita sosial saat ini. Kekinian.

 

Tulisan ini ingin saya tutup dengan satu kesimpulan: sebenarnya bagaimana kita, generasi muda di Indonesia, memaknai pernikahan? Secara sosiologis, saya pikir, itu yang paling penting—nilai-nilai kita, sistem nilai kita. Sistem nilai ini tentu saja akan berproses, seiring perkembangan waktu, zaman, dan kultur sosial. Berproses timbal-balik dari ranah makro ke mikro, re-refleksi ulang atas nilai-nilai budaya, agama, keluarga atas nilai-nilai personal seseorang. Saya mengangkat topi untuk orang-orang yang berani mempertanyakan tentang makna pernikahan, tak sekedar taken for granted—memilih pernikahan, hanya karena semua orang menikah tanpa punya tujuan. Saya mengangkat topi untuk orang-orang yang mau berproses dalam rutenya sendiri tanpa merendahkan proses dan pilihan orang lain: karena saya percaya, tak semua orang harus menikah dan pernikahan memang bukan untuk semua orang.

 

Jadi, semoga setiap pribadi yang memilih menikah akan berbahagia. Semoga setiap pribadi yang memilih tidak menikah juga akan berbahagia. Semoga yang memilih menikah dan tidak menikah bisa saling mendukung dan menghargai pilihannya masing-masing. :))


No comments:

Powered by Blogger.