Eits, Penganut Childfree Mungkin Lebih Peduli Soal Anak Dibanding Kamu
Sekitar delapan tahun
lalu di pertemuan pertama kelas mata kuliah Demografi Sosial dari Departemen
Sosiologi yang saya ambil di kampus kuning Depok, saya ingat dosen saya, Mas Imam
B. Prasodjo, Dr. MA, bertanya satu pertanyaan yang katanya penting. Kalian masing-masing mau punya anak berapa
orang di masa depan nanti? Tanya beliau.
Satu-satu dari mahasiswanya menjawab, dengan angka bermacam-macam.
Rata-rata di angka dua atau tiga. Namun, ada juga jawaban yang tidak terduga.
Seperti teman saya asal Malaysia yang ingin memiliki anak enam orang, yang
paling banyak di kelas kami. Atau justru, saya dan satu teman saya lainnya (seorang
laki-laki) yang berkata, kami tidak ingin
punya anak.
Photo by Arthur Aldyrkhanov on Unsplash |
Di akhir semester, di
pertemuan terakhir, dosen kami kembali menanyakan hal yang sama. Sebenarnya
pertanyaan ini ditanyakan di awal dan akhir kelas sepanjang semester itu
sebagai salah satu tes informal mahasiswa: apakah setelah belajar mengenai
Demografi Sosial, pandangan kami berubah tentang jumlah anak yang ingin kami
miliki? (Yang, seharusnya berubah menjadi turun—mengingat kondisi piramida penduduk dan populasi padat di Indonesia).
Kawan saya yang menjawab enam, menurunkan jumlahnya di angka lima. Saya dan
teman saya satunya yang mengatakan kami tidak ingin punya anak? Ya, kami tetap tidak ingin punya anak. (Meskipun,
saya tidak tahu bagaimana lagi pandangan teman saya saat ini ya). Haha.
Momen di kelas Demografi
Sosial itu membuat saya banyak merenung dan tersenyum ketika membaca beberapa
artikel media yang belakangan mulai banyak yang membahas mengenai tidak ingin punya anak. Meskipun saya
sendiri masih berada di kondisi fleksibel (the
future is not ours to see), karena membuka kemungkinan untuk mengadopsi
anak-anak terlantar—saya menyenangi situasi kelas kami waktu itu. Dimana
ketidakinginan memiliki anak masih mengejutkan beberapa teman, tetapi tetap
diterima mengingat situasi sosial yang lebih makro—bukan dilabeli stigma. Bagaimanapun, memiliki anak ternyata tidak
sekedar urusan privat personal masing-masing keluarga, karena berpengaruh
banyak kepada populasi masyarakat dan negara.
Childfree & Stigma “Egois”, Eits Tunggu Dulu
Teman-teman yang tidak
ingin memiliki anak atau yang sekarang populer dengan istilah childfree, sering dilabel sebagai “tidak
suka anak-anak” atau “egois, tidak mau repot mengurus anak”. Saya tidak bisa
menyangkal bahwa mungkin memang ada
teman-teman penganut childfree yang
tidak suka anak-anak dan tidak mau repot mengurus anak (hanya saja perlu
diingat, ya itu kan hak mereka tho
untuk tidak mau memiliki anak dengan alasan apapun?)—tapi tidak semua teman-teman penganut childfree memilih untuk childfree
karena tidak suka anak-anak atau tidak mau repot mengurus anak. Kamu
mungkin tidak pernah tahu, bahwa mereka justru
sangat berpikir matang mengenai perihal parenting
dan masa depan anak, dibandingkan orang-orang yang ingin punya anak—sekalipun mereka tidak suka anak-anak.
Berdasarkan refleksi
pribadi (sebagai seorang yang tidak ingin memiliki anak) dan penelusuran
sumber-sumber di media yang mengangkat kisah rekan-rekan penganut childfree lainnya, berikut ada tiga
alasan mengapa para penganut childfree bisa
jadi justru lebih peduli soal anak dibanding kamu atau mereka yang ingin
memiliki anak.
1. Para penganut childfree
bersikap realistis melihat perhitungan kebutuhan biaya hidup anak di masa
depan
Semua orang sewajarnya
sudah paham bahwa memiliki anak tidak hanya sekedar tentang berhubungan seks,
hamil, melahirkan, dan akhirnya menggendong bayi dalam pelukan. Memiliki anak
juga tidak sekedar tentang “keinginan” atau merasa “dapat menyayangi anak
sepenuh hati.” Memiliki anak adalah salah satu kondisi yang perlu persiapan
matang, apalagi dari sisi biaya.
Photo by Chiến Phạm on Unsplash |
Dari sejak bayi ada dalam
kandungan, ibu memerlukan biaya paling tidak untuk “tetap sehat” dan untuk
kontrol ke dokter. Biaya melahirkan juga tidak murah, belum lagi perlu diingat
bahwa melahirkan normal dan melahirkan caesar membutuhkan biaya yang berbeda
(padahal, bisa jadi pasangan merencanakan kelahiran normal, tetapi karena
kondisi tertentu, ternyata harus melahirkan caesar yang lebih mahal). Biaya
rawat di rumah sakit. Biaya susu, popok, makanan bayi. Biaya jika bayi harus kontrol
atau berobat ke dokter. Ketika bayi sudah mulai bertumbuh besar, orang tua
harus menyediakan biaya pendidikan yang diperlukan, dari sekolah sampai kuliah
(yang mana biaya sekolah dan kuliah bisa jadi akan semakin mahal). Uang jajan,
kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan tambahan, seperti hiburan bagi anak.
Biayanya banyak sekali dan tidak sedikit.
Sudah pun begitu, masih
saja ada yang beranggapan anak adalah
rejeki di masa seperti sekarang ini, atau ya, rejeki kan sudah diatur Tuhan (tapi tidak banyak berusaha
mencari rejeki ketika beranak banyak)—pemikiran yang terlalu mensimplifikasi. Dengan
perhitungan total biaya yang tidak sedikit ini, mereka yang ingin memiliki anak
harus menyadari bahwa mereka perlu bekerja dan menabung keras demi
bertanggung-jawab terhadap anak.
Para penganut childfree sadar dan paham benar dalam
melihat perhitungan kebutuhan biaya hidup anak ini. Mereka bersikap realistis,
jika merasa tidak yakin bisa memenuhi kebutuhan anak. Bagaimanapun, kebutuhan
biaya hidup anak ini bukan hanya berdampak pada orang tua yang harus bekerja
keras mencari uang—tetapi juga bisa berdampak pada kondisi well-being anak.
2. Para penganut childfree
sangat mempertimbangkan kesehatan emosional untuk menjadi orang tua
Meskipun biaya sangat
penting untuk pilihan memiliki anak, mereka yang ingin menjadi orang tua tidak
boleh lupa bahwa menjadi orang tua bukan
hanya tentang menyediakan kebutuhan materi. Anak membutuhkan lebih dari kebutuhan materi—anak
membutuhkan kebutuhan holistik yang sangat kompleks, termasuk kebutuhan mental
dan emosional. Meski sering terluput dari pertimbangan kebanyakan orang (yang
ingin memiliki anak).
Photo by Caleb Woods on Unsplash |
Orang tua berperan besar
dalam membentuk kondisi kesehatan mental dan emosional anak, yang pastinya akan
berpengaruh pula sampai anak menjadi dewasa, karena merupakan salah satu bagian
penting dari proses pertumbuhan anak. Belum lagi, orang tua perlu
mempertimbangkan jika memiliki riwayat gangguan kejiwaan tertentu, yang bisa
saja meningkatkan faktor resiko anak untuk mengalami hal yang sama.
Kesalahan orang tua dalam
mendidik dan membesarkan anak akan berdampak serius, tak main-main terhadap
masa depan anak, kondisi mental-emosional dan kepribadian anak. Para penganut childfree menyadari penuh mengenai hal
ini dan tidak ingin hanya karena “keinginan (sepihak) untuk memiliki anak”
harus ada setidaknya satu jiwa lagi
yang menderita dalam hidup.
3. Para penganut childfree
menolak melihat anak sebagai sejenis “investasi masa depan” orang tua
Saya memahami bahwa
banyak orang ingin memiliki anak untuk mengulang siklus kehidupan: melanjutkan
garis keluarga atau marga, tidak sendirian di masa tua dan ada yang mengurus,
sampai soal melanjutkan keturunan, yang seringkali dikait-kaitkan dengan
agama-agama monoteistik. Saya tidak ingin melarang, atau menyangkali, bahwa hal
ini juga diperlukan. Kita masih memerlukan orang-orang yang ingin memiliki anak
untuk menjaga natalitas, menjaga populasi penduduk bumi.
Photo by Michał Parzuchowski on Unsplash |
Namun, sebagaimana yang
dibahas juga di salah satu kelas Sosiologi Keluarga, perihal pernikahan dan
memiliki anak ini diam-diam bisa
berperspektif ekonomis sekali: untung dan
rugi. Karena orang tua sudah susah-payah mengurus anak sampai dewasa, maka anak
harus melakukan hal yang sama kepada orang tua—mengurus orang tua di masa tua. Maka,
jadilah anak semacam “investasi orang tua”, khususnya untuk masa lansia. Anak
diharapkan “berbakti” pada orang tua dan “bisa membanggakan orang tua”. Tak
jarang, termasuk memenuhi segala ekspektasi
dan tuntutan orang tua, termasuk terkait pekerjaan, penghasilan, sampai jodoh.
Anak diharapkan bisa menjadi suatu jaminan bagi orang tua, untuk mencapai hidup
yang lebih sejahtera.
Para penganut childfree banyak yang menolak melihat anak sebagai sejenis “investasi
masa depan”. Dalam standpoint ini,
sebenarnya mereka juga menghargai anak sebagai manusia, pribadi yang utuh,
dengan hak asasi yang tingkatannya tidak
berada di bawah orang tuanya. Sesuatu yang sering terlupa dalam nilai-nilai
sosial berorientasi keluarga, yang diterima secara taken-for-granted saja dalam masyarakat kita.
______________________
Kembali ke stigma “egois”
yang sering dilekatkan orang pada para penganut childfree yang tidak ingin punya anak. Setelah pemaparan tiga
alasan di atas, kita perlu bersikap jujur untuk membuka pikiran dan kembali
mempertanyakan: benarkah para penganut childfree
egois? Ketika mereka memilih untuk tidak punya anak karena tidak ingin
merugikan (calon) anak-anak mereka, jiwa-jiwa yang tidak bisa memilih untuk dilahirkan atau tidak dilahirkan itu,
karena pertimbangan akan ketidaksiapan atau ketidaksanggupan mereka? Nyatanya,
penganut childfree justru banyak memikirkan soal anak, mungkin
lebih banyak ketimbang mereka yang ingin memiliki anak kan?
Lalu, apakah mereka yang
ingin punya anak berarti “tidak egois”? Eits, tunggu dulu. Keinginan itu
sendiri, yang kemudian dibarengi oleh perspektif yang tidak ramah terhadap (kesejahteraan)
anak—bisa jadi termasuk bentuk tindakan yang egois. Ya, apalagi kalau ternyata,
keinginan untuk punya anak ini tidak dipikirkan matang, semata-mata hanya
karena ikut-ikutan tuntutan sosial “ingin seperti teman-teman lainnya”, “karena
lucu aja punya anak bayi”, atau yang menganggap anak semacam “investasi masa
depan” yang bisa diatur-dikontrol sesuka hati. Padahal, anak bukanlah barang
milik.
Jadi, masih menganggap
para penganut childfree egois?
Referensi :
No comments: