Eits, Penganut Childfree Mungkin Lebih Peduli Soal Anak Dibanding Kamu

March 18, 2019

Sekitar delapan tahun lalu di pertemuan pertama kelas mata kuliah Demografi Sosial dari Departemen Sosiologi yang saya ambil di kampus kuning Depok, saya ingat dosen saya, Mas Imam B. Prasodjo, Dr. MA, bertanya satu pertanyaan yang katanya penting. Kalian masing-masing mau punya anak berapa orang di masa depan nanti? Tanya beliau. Satu-satu dari mahasiswanya menjawab, dengan angka bermacam-macam. Rata-rata di angka dua atau tiga. Namun, ada juga jawaban yang tidak terduga. Seperti teman saya asal Malaysia yang ingin memiliki anak enam orang, yang paling banyak di kelas kami. Atau justru, saya dan satu teman saya lainnya (seorang laki-laki) yang berkata, kami tidak ingin punya anak.

Photo by Arthur Aldyrkhanov on Unsplash

Di akhir semester, di pertemuan terakhir, dosen kami kembali menanyakan hal yang sama. Sebenarnya pertanyaan ini ditanyakan di awal dan akhir kelas sepanjang semester itu sebagai salah satu tes informal mahasiswa: apakah setelah belajar mengenai Demografi Sosial, pandangan kami berubah tentang jumlah anak yang ingin kami miliki? (Yang, seharusnya berubah menjadi turun—mengingat kondisi piramida penduduk dan populasi padat di Indonesia). Kawan saya yang menjawab enam, menurunkan jumlahnya di angka lima. Saya dan teman saya satunya yang mengatakan kami tidak ingin punya anak? Ya, kami tetap tidak ingin punya anak. (Meskipun, saya tidak tahu bagaimana lagi pandangan teman saya saat ini ya). Haha.

Momen di kelas Demografi Sosial itu membuat saya banyak merenung dan tersenyum ketika membaca beberapa artikel media yang belakangan mulai banyak yang membahas mengenai tidak ingin punya anak. Meskipun saya sendiri masih berada di kondisi fleksibel (the future is not ours to see), karena membuka kemungkinan untuk mengadopsi anak-anak terlantar—saya menyenangi situasi kelas kami waktu itu. Dimana ketidakinginan memiliki anak masih mengejutkan beberapa teman, tetapi tetap diterima mengingat situasi sosial yang lebih makro—bukan dilabeli stigma. Bagaimanapun, memiliki anak ternyata tidak sekedar urusan privat personal masing-masing keluarga, karena berpengaruh banyak kepada populasi masyarakat dan negara.


Childfree & Stigma “Egois”, Eits Tunggu Dulu

Teman-teman yang tidak ingin memiliki anak atau yang sekarang populer dengan istilah childfree, sering dilabel sebagai “tidak suka anak-anak” atau “egois, tidak mau repot mengurus anak”. Saya tidak bisa menyangkal bahwa mungkin memang ada teman-teman penganut childfree yang tidak suka anak-anak dan tidak mau repot mengurus anak (hanya saja perlu diingat, ya itu kan hak mereka tho untuk tidak mau memiliki anak dengan alasan apapun?)—tapi tidak semua teman-teman penganut childfree memilih untuk childfree karena tidak suka anak-anak atau tidak mau repot mengurus anak. Kamu mungkin tidak pernah tahu, bahwa mereka justru sangat berpikir matang mengenai perihal parenting dan masa depan anak, dibandingkan orang-orang yang ingin punya anak—sekalipun mereka tidak suka anak-anak.

Berdasarkan refleksi pribadi (sebagai seorang yang tidak ingin memiliki anak) dan penelusuran sumber-sumber di media yang mengangkat kisah rekan-rekan penganut childfree lainnya, berikut ada tiga alasan mengapa para penganut childfree bisa jadi justru lebih peduli soal anak dibanding kamu atau mereka yang ingin memiliki anak.


1. Para penganut childfree bersikap realistis melihat perhitungan kebutuhan biaya hidup anak di masa depan

Semua orang sewajarnya sudah paham bahwa memiliki anak tidak hanya sekedar tentang berhubungan seks, hamil, melahirkan, dan akhirnya menggendong bayi dalam pelukan. Memiliki anak juga tidak sekedar tentang “keinginan” atau merasa “dapat menyayangi anak sepenuh hati.” Memiliki anak adalah salah satu kondisi yang perlu persiapan matang, apalagi dari sisi biaya.

Photo by Chiến Phạm on Unsplash

Dari sejak bayi ada dalam kandungan, ibu memerlukan biaya paling tidak untuk “tetap sehat” dan untuk kontrol ke dokter. Biaya melahirkan juga tidak murah, belum lagi perlu diingat bahwa melahirkan normal dan melahirkan caesar membutuhkan biaya yang berbeda (padahal, bisa jadi pasangan merencanakan kelahiran normal, tetapi karena kondisi tertentu, ternyata harus melahirkan caesar yang lebih mahal). Biaya rawat di rumah sakit. Biaya susu, popok, makanan bayi. Biaya jika bayi harus kontrol atau berobat ke dokter. Ketika bayi sudah mulai bertumbuh besar, orang tua harus menyediakan biaya pendidikan yang diperlukan, dari sekolah sampai kuliah (yang mana biaya sekolah dan kuliah bisa jadi akan semakin mahal). Uang jajan, kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan tambahan, seperti hiburan bagi anak. Biayanya banyak sekali dan tidak sedikit.

Sudah pun begitu, masih saja ada yang beranggapan anak adalah rejeki di masa seperti sekarang ini, atau ya, rejeki kan sudah diatur Tuhan (tapi tidak banyak berusaha mencari rejeki ketika beranak banyak)—pemikiran yang terlalu mensimplifikasi. Dengan perhitungan total biaya yang tidak sedikit ini, mereka yang ingin memiliki anak harus menyadari bahwa mereka perlu bekerja dan menabung keras demi bertanggung-jawab terhadap anak.

Para penganut childfree sadar dan paham benar dalam melihat perhitungan kebutuhan biaya hidup anak ini. Mereka bersikap realistis, jika merasa tidak yakin bisa memenuhi kebutuhan anak. Bagaimanapun, kebutuhan biaya hidup anak ini bukan hanya berdampak pada orang tua yang harus bekerja keras mencari uang—tetapi juga bisa berdampak pada kondisi well-being anak.


2. Para penganut childfree sangat mempertimbangkan kesehatan emosional untuk menjadi orang tua

Meskipun biaya sangat penting untuk pilihan memiliki anak, mereka yang ingin menjadi orang tua tidak boleh lupa bahwa menjadi orang tua bukan hanya tentang menyediakan kebutuhan materi. Anak membutuhkan lebih dari kebutuhan materi—anak membutuhkan kebutuhan holistik yang sangat kompleks, termasuk kebutuhan mental dan emosional. Meski sering terluput dari pertimbangan kebanyakan orang (yang ingin memiliki anak).

Photo by Caleb Woods on Unsplash

Orang tua berperan besar dalam membentuk kondisi kesehatan mental dan emosional anak, yang pastinya akan berpengaruh pula sampai anak menjadi dewasa, karena merupakan salah satu bagian penting dari proses pertumbuhan anak. Belum lagi, orang tua perlu mempertimbangkan jika memiliki riwayat gangguan kejiwaan tertentu, yang bisa saja meningkatkan faktor resiko anak untuk mengalami hal yang sama.

Kesalahan orang tua dalam mendidik dan membesarkan anak akan berdampak serius, tak main-main terhadap masa depan anak, kondisi mental-emosional dan kepribadian anak. Para penganut childfree menyadari penuh mengenai hal ini dan tidak ingin hanya karena “keinginan (sepihak) untuk memiliki anak” harus ada setidaknya satu jiwa lagi yang menderita dalam hidup.


3. Para penganut childfree menolak melihat anak sebagai sejenis “investasi masa depan” orang tua

Saya memahami bahwa banyak orang ingin memiliki anak untuk mengulang siklus kehidupan: melanjutkan garis keluarga atau marga, tidak sendirian di masa tua dan ada yang mengurus, sampai soal melanjutkan keturunan, yang seringkali dikait-kaitkan dengan agama-agama monoteistik. Saya tidak ingin melarang, atau menyangkali, bahwa hal ini juga diperlukan. Kita masih memerlukan orang-orang yang ingin memiliki anak untuk menjaga natalitas, menjaga populasi penduduk bumi.

Photo by MichaÅ‚ Parzuchowski on Unsplash

Namun, sebagaimana yang dibahas juga di salah satu kelas Sosiologi Keluarga, perihal pernikahan dan memiliki anak ini diam-diam bisa berperspektif ekonomis sekali: untung dan rugi. Karena orang tua sudah susah-payah mengurus anak sampai dewasa, maka anak harus melakukan hal yang sama kepada orang tua—mengurus orang tua di masa tua. Maka, jadilah anak semacam “investasi orang tua”, khususnya untuk masa lansia. Anak diharapkan “berbakti” pada orang tua dan “bisa membanggakan orang tua”. Tak jarang, termasuk memenuhi segala ekspektasi dan tuntutan orang tua, termasuk terkait pekerjaan, penghasilan, sampai jodoh. Anak diharapkan bisa menjadi suatu jaminan bagi orang tua, untuk mencapai hidup yang lebih sejahtera.

Para penganut childfree banyak yang menolak melihat anak sebagai sejenis “investasi masa depan”. Dalam standpoint ini, sebenarnya mereka juga menghargai anak sebagai manusia, pribadi yang utuh, dengan hak asasi yang tingkatannya tidak berada di bawah orang tuanya. Sesuatu yang sering terlupa dalam nilai-nilai sosial berorientasi keluarga, yang diterima secara taken-for-granted saja dalam masyarakat kita.


______________________

Kembali ke stigma “egois” yang sering dilekatkan orang pada para penganut childfree yang tidak ingin punya anak. Setelah pemaparan tiga alasan di atas, kita perlu bersikap jujur untuk membuka pikiran dan kembali mempertanyakan: benarkah para penganut childfree egois? Ketika mereka memilih untuk tidak punya anak karena tidak ingin merugikan (calon) anak-anak mereka, jiwa-jiwa yang tidak bisa memilih untuk dilahirkan atau tidak dilahirkan itu, karena pertimbangan akan ketidaksiapan atau ketidaksanggupan mereka? Nyatanya, penganut childfree justru banyak memikirkan soal anak, mungkin lebih banyak ketimbang mereka yang ingin memiliki anak kan?

Lalu, apakah mereka yang ingin punya anak berarti “tidak egois”? Eits, tunggu dulu. Keinginan itu sendiri, yang kemudian dibarengi oleh perspektif yang tidak ramah terhadap (kesejahteraan) anak—bisa jadi termasuk bentuk tindakan yang egois. Ya, apalagi kalau ternyata, keinginan untuk punya anak ini tidak dipikirkan matang, semata-mata hanya karena ikut-ikutan tuntutan sosial “ingin seperti teman-teman lainnya”, “karena lucu aja punya anak bayi”, atau yang menganggap anak semacam “investasi masa depan” yang bisa diatur-dikontrol sesuka hati. Padahal, anak bukanlah barang milik.

Jadi, masih menganggap para penganut childfree egois?




Referensi :


No comments:

Powered by Blogger.