Cita-Cita: Perjalanan Tentang Ingin Menjadi Apa


Kamu pasti pernah bertanya pada setidaknya seorang anak kecil tentang “cita-cita kamu kalau besar nanti mau jadi apa?”, barang sekali. Pertanyaan ini adalah salah satu pertanyaan yang biasa kita tanyakan ke anak kecil, dan sering kali dijawab klise (setidaknya di Indonesia, sepengalaman saya): dokter, pilot, polisi, astronot, guru, adalah beberapa di antara jawaban yang sering muncul dari anak-anak. Bukannya mendiskreditkan pekerjaan-pekerjaan ini, tentu saja tidak, saya hanya berpikir mengapa anak-anak terlalu banyak menjawab seperti ini. Jarang kan, ada yang menjawab “mau jadi sosiolog, fisikawan, hakim, atau psikiater”, misalnya. Malah, ada pola jawaban yang mengejutkan, yang terbaru seturut zaman : youtubers dan selebgram. Speechless? Ya, saya juga.


Photo by Yoori Koo on Unsplash

Namun, memang ada pengaruh antara pengetahuan dan wawasan anak terhadap jawabannya (pun keinginan) terhadap pertanyaan tentang cita-cita mau jadi apa ini. Pengaruh konteks sosial dan konformitas di sekeliling anak yang ia lihat sehari-hari juga sangat besar. Saya menyadari ini ketika berkunjung ke Pulau Nias, Sumatera Utara, dua tahun lalu (2016).

Sebagai salah satu pulau di Indonesia yang masih perlu banyak pembangunan di berbagai sisi, jenis pekerjaan masyarakat Nias juga belum begitu variatif. Pekerjaan sebagai guru, dosen, perawat, dan pendeta merupakan beberapa pekerjaan yang sangat mendominasi disana—jadi tidak heran, jika kamu bertanya kepada seorang anak, bahkan jika usianya sudah remaja dan duduk di bangku SMA, jawaban mereka kebanyakan akan berkisar di empat pekerjaan ini saja. Masuk akal. Bagaimana seorang anak bisa bercita-cita menjadi psikolog misalkan, jika di wilayahnya bahkan pekerjaan ini tidak dikenal, ia tidak pernah mengenal satu orang pun yang berprofesi sebagai psikolog, dan tidak tahu sebenarnya apa pekerjaan yang dilakukan psikolog, serta bagaimana psikolog bisa menjawab kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini, keluarga dan sekolah berpengaruh sangat besar juga, untuk memberi sosialisasi kepada anak.

Berefleksi dan flashback pada diri sendiri, saya sendiri memiliki perjalanan yang lucu, jika mengingat mengenai cita-cita, perjalanan tentang ingin menjadi apa, sejak zaman masih bocah. Sekali lagi, pun setelah merenungi, perjalanan keinginan cita-cita saya ini ternyata sangat dipengaruhi oleh konteks lingkungan sosial dan keluarga.


Sebenarnya pernah ingin jadi apa saja sih saya dulu?

1. Fashion Designer

Believe it or not, cita-cita pertama saya sebagai seorang anak adalah menjadi seorang fashion designer. Saya ingat, cita-cita ini terpupuk sejak saya masih bayi di bawah lima tahun (balita), dengan menggambari dinding rumah saya dengan gambar anak-anak, wedding couple fashion design (dalam konsep yang paling sederhana ya) semacam itulah, haha. Cukup tak biasa? Haha, saya juga bingung, sampai bercerita dengan ibu saya yang juga menaruh perhatian pada fashion design dan jahit-menjahit pada zamannya. Setelah itu, saya baru mengerti. Ternyata, ibu saya berperan besar dalam cita-cita ini. Cita-cita ini masih berlanjut setelah jenjang usia setelahnya, dimana saya memang senang menggambar sketch fashion design (amatiran) sampai saat ini. Namun, untuk serius mengejarnya sebagai profesi? Sepertinya tidak, sekarang saya juga tidak bisa dibilang fashionista ya haha, hanya senang dengan beberapa style tertentu, termasuk harajuku Jepang :)

2. Biarawati

Saya mungkin merupakan salah satu dari segelintir anak yang mengingini cita-cita paling anti-mainstream ini. Sejak usia 10 tahun, saya melihat menjadi biarawati dan hidup selibat merupakan keinginan luhur yang sangat menarik. Di sekolah saya yang adalah sekolah katolik ketika itu, memang saya banyak mengenal para biarawati yang melayani sebagai guru dan kepala sekolah. Ketika SMA, saya mulai sangat tertarik juga dan terkesan dengan biarawati yang mengabdikan dirinya untuk melayani kemiskinan di India, (Saint) Mother Teresa. Cita-cita ini muncul-tenggelam, seiring waktu kemudian. Tapi, sejujurnya, tidak pernah sepenuhnya padam, bahkan sampai sekarang.

3. Dokter Bedah

Oke, mungkin saya juga termasuk salah satu anak yang menjawab “ingin menjadi dokter” ketika masih anak, haha. Tapi, saat berpikir ingin menjadi dokter, saya sudah duduk di bangku SMP dan tidak sekedar ingin menjadi “dokter” saja secara umum—saya justru sangat spesifik ingin menjadi dokter bedah (jadi saya pikir ini bukan jawaban sekenanya saja). Padahal, kalau dipikir, saya tidak terlalu senang dengan perihal melihat darah dan organ-organ dalam tubuh (haha). Saya ingat, ada latar belakang penting yang mendasari keinginan saya yang pernah ingin menjadi dokter bedah ini, seperti alasan sosial-kemanusiaan sejenisnya, tetapi lebih tepatnya apa, ah saya lupa. Sekarang masih ingin? Tidak sama sekali, hehe. Sepertinya memang menjadi dokter bukan jalan saya :)

4. Novelis

Lucu membayangkan betapa (cukup) ambisiusnya saya dulu mengejar cita-cita di zaman saya duduk di bangku SMA. Cita-cita ini diawali dengan hobi menulis sejak masih SD. Bersama beberapa kawan baik saya, termasuk Chrystine, kami senang membuat cerita amat pendek di kertas yang dipotong-lipat kecil seperti majalah super mini. Ketika SMP, saya (dan Chrystine) senang menulis cerita pendek (cerpen) dan cerita bersambung (cerbung) di buku-buku tulis, sampai lumayan ada beberapa buku—ini dikonsumsi oleh inner circle teman-teman sendiri. Sampai saya pernah mencoba menulis (draft) novel, dengan cerita salah satu kawan baik saya sebagai inspirasi (Shinly dan Happy End yang sayangnya, saya tak lagi punya draft-nya itu, hehe) dan sampai bertanya ini-itu via email ke salah satu penulis teenlit Gramedia yang cukup tenar pada masa itu (Luna Torashyngu, salut untuk keramahtamahan dan responsifnya doi). Namun, cita-cita ini berhenti ketika saya menjejak masa kuliah. Kenapa? Mungkin, karena saya mulai mengenal kompleksitas isu dan tulisan non-fiksi, lalu jatuh hati pada keduanya, hehe. Di sisi lain, saya kehilangan minat seluruhnya pada cerita romance. Meskipun, jika ditanya sekarang ini, saya masih berpikir masih ingin menulis fiksi—meski belum memikirkan ulang cita-cita menjadi novelis. Namun, dengan keinginan yang lebih purposeful, semacam fiksi untuk alat advokasi dan edukasi, tentang isu perempuan apalagi? :)

5. Arsitek

Jika cita-cita masa balita yang ingin menjadi fashion designer dipengaruhi banyak oleh ibu saya, maka cita-cita menjadi arsitek ini dipengaruhi sangat besar oleh ayah saya. Ayah saya memang bercita-cita jadi arsitek, tapi akhirnya tidak kesampaian, karena tidak adanya universitas lokal yang membuka jurusan ini di zaman beliau kuliah, sementara nenek-kakek saya tak ingin melepas beliau merantau (ayah saya kelahiran 1949). Akhirnya, ayah mengambil jurusan yang katanya 11-12 dengan teknik arsitektur: ya, teknik sipil. Cita-cita ini saya ingini cukup serius, tapi ternyata saya kurang berbakat di ilmu eksak. Ketika saya masuk jurusan IPS di kelas II SMA, saya akhirnya menyerah untuk cita-cita ini, for the greater good. Karena, ya, saya juga memang ternyata lebih menjiwai ilmu sosial, dibanding ilmu eksak :’)

6. Aktivis Sosial

Cita-cita yang paling serius, paling diingini, dan paling menarik bagi saya sampai saat ini, adalah ini—menjadi aktivis sosial. Cita-cita ini mulai muncul setelah saya mengambil jurusan FISIP Sosiologi ketika kuliah, karena ingin belajar banyak dan berbuat sesuatu mengenai masalah kemiskinan di Indonesia. Kemudian, prosesnya berlangsung begitu saja: saya juga tidak tahu apakah saya bisa menyemat nama ‘aktivis sosial’ pada kedirian saya saat ini, untuk semangat dan keterlibatan saya di beberapa isu dan organisasi yang menaruh perhatian pada masalah perempuan dan kesehatan mental. Saya pikir, di masa ini, menyemat sebutan tak lagi sepenting melakukan hal nyata? :’)


Photo by Kim Daniel on Unsplash

Menyadari perjalanan cita-cita menjadi dari saya yang cukup beragam ini, saya berharap setiap anak di Indonesia bisa mengalami keseruan yang sama untuk mengingini, berpikir, memilah, bermimpi, berproses dan menjalani. Saya sendiri sebenarnya masih menyesali keterbatasan wawasan saya ketika masa kecil dan remaja ini tentang betapa luasnya dan variatifnya jenis cita-cita yang dapat menjawab kebutuhan masyarakat. Bayangkan, betapa baiknya, ketika seorang anak benar-benar dibimbing untuk mengenali potensi diri sendiri, mengenali kebutuhan masyarakat yang menarik perhatiannya, mengenali apa saja yang ia bisa berbuat dalam ranah profesi masa depan, dan bagaimana cara mencapai profesi itu. Pun memperkenalkan tantangan dan kondisi realistisnya.

Terkait hal cita-cita, saya benar-benar mengancungkan jempol untuk gerakan-gerakan komunitas yang bersemangat sekali membagikan pengetahuan dan wawasan mengenai mimpi ini kepada anak-anak yang masih kurang akses terhadap informasi (di remote area atau anak-anak dari keluarga prasejahtera). Komunitas Saung Mimpi dan Komunitas Inspirasi Jelajah Pulau (KIJP) merupakan dua di antaranya, yang sangat visioner dalam semangat berbagai wawasan mengenai cita-cita dan mimpi ini.

Perjalanan tentang ingin menjadi apa memang sebuah perjalanan yang unik sekali: di masa kecil dan kanak-kanak, memang penuh eksplorasi dan kebebasan yang hakiki. Semakin dewasa, perjalanan ini ternyata semakin menantang dalam keseruan dan keterbatasannya sendiri (haha). Tapi terlepas dari bagaimana perjalanan tentang ingin menjadi apa ini membawa kita, pengalaman bebas mengenal, memilih, dan mengingini ketika anak-anak itu sangat berharga. Sekali lagi, semoga anak-anak di Indonesia, siapapun-dimanapun mereka, bisa mengalami keseruannya.


No comments:

Powered by Blogger.