Avengers Infinity War: Resilience In The Midst of Hopelessness
[ Sorry, spoiler alert. Dituliskan sebagai cara coping diri sendiri terhadap film ini,
yang ternyata juga bisa “nyambung” dengan real
life yang sedang dihadapi. Dituliskan juga
untuk berbagi catatan reflektif kepada rekan-rekan yang mungkin mengalami
kesulitan untuk deal with life belakangan
ini. ]
Sudah tiga minggu berlalu
sejak Avengers: Infinity War tayang di dunia, termasuk Indonesia, dan jangan
heran jika kemudian hashtag #IDontFeelSoGood
viral di media sosial. Hashtag ini
berasal dari salah satu scene yang
dianggap para fans paling dramatis (sekaligus sedih) di Avengers: Infinity War.
#IDontFeelSoGood merupakan kata-kata terakhir yang diucapkan Spiderman yang jatuh
dalam topangan tangan Tony Stark, sebelum akhirnya ikut “lenyap” bersama
beberapa tokoh lainnya, seperti abu. Tunggu dulu, Spiderman lenyap jadi abu?
The Stories of Hopelessness
Sayangnya, ini memang
merupakan salah satu kenyataan yang sulit diterima para fans setia Marvel
Cinematic Universe (MCU). Bahwa film Avengers: Infinity War ternyata sama
sekali tidak berakhir “bahagia”. Tidak ada kemenangan dramatis dari para
superheroes & superheroines The Avengers. Sebaliknya, justru banyak dari
mereka yang lenyap jadi abu seperti Spiderman, atau (dengan sangat sedih saya
menuliskannya) gugur dalam Infinity War ini. Thanos, sang musuh utama, menang
mutlak atas segala, atas semesta. Jadi, sangat wajar mengapa meme(s) yang bertebaran di media sosial
mengenai film inipun tak sedikit yang menampilkan aura sedih dan depressed.
Setelah menyaksikan
sendiri di bioskop, saya baru paham mengapa ada teman saya yang sampai menangis
without knowing the reason why di
kamarnya sepulang nonton film ini. Harus diakui, muatan film Avengers yang ini
memang cenderung “sangat berat” dari sisi emosional, bahkan sejak awal film. Saya
pribadi, percaya tidak percaya bahwa Asgardians yang berhasil menyelamatkan
diri dan mengungsi dengan kapal luar angkasa setelah kehilangan “rumahnya” di
Asgard (yang hancur karena ulah Hela, kakak Thor, di film Thor: Ragnarok),
akhirnya dibantai dan digenosida oleh Thanos. Miris dan tragis. Belum lagi Loki
yang ikut mati dibunuh Thanos. Tinggal Thor, yang entah bagaimana masih bisa bertahan
hidup dan akhirnya ditemukan-diselamatkan oleh tim Guardians of The Galaxy. Mungkin
karena Thor merupakan tokoh superhero terfavorit saya dalam The Avengers, saya ikut
merasakan deep sadness membayangkan
Thor yang sudah kehilangan segalanya: dari “rumah” tempat tinggal, rakyatnya,
sampai sahabat, saudara dan seluruh keluarganya—harus bertahan hidup dan berjuang sendirian
di tengah ancaman Thanos pada semesta.
The sense of hopelessness di film ini saya temukan tergambar jelas pada tokoh Bruce Banner (Hulk). Sebagai tokoh superhero terkuat Avengers dari segi fisik,
ternyata Hulk bisa tidak berdaya juga ketika melawan Thanos (dengan kekuatan infinity stones-nya) di kapal Asgardians.
Duel mereka berakhir ketika Hulk ditolong oleh kekuatan black magic Heimdall, untuk menghindar dari Thanos dan ‘terlempar’
kembali ke bumi. Setelah kejadian itu, sebagai simbol hopelessness ini, sepanjang Avengers: Infinity War, Hulk sama
sekali tidak ingin “keluar” dari tubuh Banner. Tak hanya Hulk yang mengalami fear and “hopelessness” ini—menurut saya,
Banner juga. Lihat saja caranya dan raut wajahnya ketika bercerita pada The
Avengers tentang Thanos. Se-hopeless itu lho, sampai Banner (Hulk) tak lagi bisa “marah” pada
Thanos.
Namun, jangan salah
sangka dulu. Sad ending atau alur
cerita yang cukup menantang secara emosional karena “hopelessness” ini bukan
berarti film Avengers: Infinity War sepenuhnya
bercerita kisah sedih dan putus asa ya. Marvel, seperti biasa, tidak lupa
kok menyelipkan humor-humor khasnya, yang membuat para penonton (khususnya,
mereka yang mengikuti serial film MCU selama ini) tertawa-terkekeh bahagia.
Saya juga, salah satunya. Saya pun bahagia karena Avengers: Infinity War akhirnya
mengikutsertakan Black Panther, Doctor Strange, dan Guardians of Galaxy dalam
perjuangan The Avengers (bagi saya pribadi, kisah ketiga superheroes-superheroines ini sangat menarik dan unik). Ditambah karena
di film ini, Thor kembali mendapatkan “palu”-nya dalam versi baru, hehe.
Resilience, In The Midst of Hopelessness
Bagaimana The Avengers
tidak jatuh pada hopelessness? Bayangkan, alam
semesta diancam oleh seorang villain kejam bernama Thanos yang memiliki superpower tak tertandingi karena infinity stones (batu komponen penyusun universe) dan memang memiliki ‘visinya’
sendiri untuk menciptakan semesta yang lebih ‘sustainable’, dengan membunuh dan
melenyapkan minimal setengah dari
jumlah populasi alam semesta. Infinity
stones yang terdiri dari 6 batu (timestone, space stone, reality stone, mind stone, power stone, dan soul stone) yang memiliki kekuatannya
sendiri yang unik dan saling melengkapi, memang berada di tempat-tempat terpisah.
Sayangnya, infinity stones ini
ternyata berhasil diburu, dicari, ditemukan, dan dimiliki Thanos, semuanya. Bahkan, memiliki satu infinity stone saja bisa memberikan
kekuatan luar biasa—dan Thanos memiliki kesemuanya, lengkap. Tak heran, dalam
Avengers: Infinity War, akhirnya Thanos menjadi villain yang tidak terkalahkan.
Namun, di tengah
hopelessness, ternyata The Avengers tidak menyerah dan putus asa. Meski mereka
tidak tahu pasti bagaimana bisa mengalahkan Thanos (atau mungkin memiliki cara
yang terpikir meski tidak mengetahui pasti apakah cara itu akan berhasil atau
tidak), mereka tetap maju ke medan perang untuk menghadapi Thanos dan berusaha melindungi
semesta. Tidak ada pilihan lain, selain berjuang sampai titik akhir. Tidak ada
pilihan untuk menyerah melindungi semesta. In
the midst of hopelessness, resilience is real.
Terkait resilience, saya paling jelas melihat
semangat ini dalam penggambaran tokoh Drax (salah satu dari tim Guardians of
The Galaxy). Meski dalam hal superpower dijuluki
“The Destroyer”, Drax mungkin tidak “sekuat” The Avengers lain atau bahkan
Thanos, tetapi semangat Drax untuk melawan Thanos tidak pernah padam (mengingat
Thanos telah membunuh istri dan anaknya)—meski
taruhannya nyawa. He is resilient. Sama juga dengan Nebula, anak Thanos dan
saudara (tiri) Gamora. Meski memilih “berjuang sendirian” dan tidak termasuk tim The Avengers, bahkan tidak termasuk juga dalam tim Guardians of Galaxy, Nebula tak pernah menyerah untuk
melawan Thanos. Meski taruhannya adalah penyiksaan luar biasa dengan “memisahkan
anggota badannya” setiap kali dia gagal dan tertangkap Thanos, she is resilient.
Sebelas dua belas juga
dengan Tony Stark. Meski mengalami penderitaan dan keterkejutan mental setelah
serangan alien yang dikisahkan serial film Avengers sebelumnya, Tony Stark
(Iron Man) tetap tak memilih mundur ketika serangan Thanos “yang sesungguhnya”
datang. Ia bahkan “nekat” memutuskan menyelinap ke dalam pesawat luar angkasa
anak buah Thanos, demi menyelamatkan Doctor Strange dan time stone. Pun ketika misi penyelamatan Doctor Strange berhasil,
Stark tetap memutuskan akan menemui Thanos di luar bumi, untuk menghentikannya
tanpa memberi dampak pada bumi. He is
resilient. Jangan lupa, Black Panther dan para petarung dari Wakanda.
Bagaimanapun, kita bisa melihat kengerian dan keterkejutan di raut wajah mereka
ketika mereka melihat pesawat-pesawat alien Thanos mulai tiba di perbatasan
Wakanda dan seabrek-abrek alien serupa monster itu mulai menyerang mereka. But, they are resilient. They don’t give up
on Wakanda. Bahkan, Banner. Meski sempat gentar dan terlihat hopeless mengingat sosok Thanos, ketika Hulk “tidak mau keluar”, Banner memilih untuk resilient dan menghadapi perang juga
dengan meminjam Hulkbuster dari Stark.
Dalam semua ini, saya
belajar bahwa even in the midst of
hopelessness, resilient is real. Ya, di tengah segala kondisi dan perasaan
putus asa, kebertahanan itu nyata. Kita tahu kita harus melawan dan berbuat sesuatu, apapun kondisinya, apapun hasilnya. Tidak
ada pilihan untuk menyerah dan tidak melawan. Meski jika banyak dipikir-pikir,
kita bisa saja merasa tidak mampu dan tidak cukup berkapasitas—tapi kita
mengesampingkan semua itu, karena memahami kondisi bahwa tidak ada lagi pilihan.
Dibutuhkan niat yang teguh dan tangguh. Dibutuhkan keinginan untuk melawan dan
bertahan. Hopelessness ternyata sehening
dan semenakutkan itu. Sebaliknya, resilience ternyata sekuat dan seberani itu.
Dari Avengers: Infinity
War, saya juga belajar untuk menertawakan kenyataan kondisi depresif tanpa
menyangkal atau menolak kesedihannya. Saya berkaca pada Thor, dalam humornya di
pesawat Star Lord (Peter Quill), yang menertawakan masalah keluarganya yang chaos, dalam empati pribadinya menanggapi
masalah keluarga Gamora. Padahal, jika mau mengingat kejadian sebelumnya, Thor
baru saja kehilangan segalanya. Rakyatnya,
saudaranya Loki—apalagi. Ya, dia digambarkan juga sedih dan marah tentu atas
semua itu dalam scene lainnya, tapi
tak kehilangan sisi humoris dan kemampuan resistensinya. In the midst of hopelessness, Thor is also resilient.
And Then?
And then, saya
hanya ingin mengakhiri perenungan reflektif ini sampai disini. Saya tidak ingin
fokus membahas bahwa Avengers: Infinity War berakhir dalam sad ending, meski sudah resilient
dalam hopelessness. Karena nyatanya,
cerita ini juga belum berakhir sampai di Avengers: Infinity War. Masih ada
kisah lanjutan, yang baru akan dirilis tahun depan. Dan, saya pikir, begitu
juga hidup ini? Kita juga belum tahu bagaimana ujung kisah masing-masing. Yang
kita tahu, memang kita sedang menghadapi kondisi hopelessness saat ini dan kita butuh mengingat pun memperjuangkan resilience di tengah kondisi itu.
Be prepared. Bad days will come without telling you
before.
Sometimes, it will bring us hopelessness. But always
remember, that resilience is real.
No comments: