Some of The Hardest Truths


Photo by Lola Guti on Unsplash

1. Kejujuran dan keterbukaan tidak selalu menjadi awal pemulihan. Kejujuran dan keterbukaan, sebaliknya, bisa membuka luka lama dan melukainya lebih dalam lagi, ketika orang(-orang) yang kepadanya kita mencoba jujur dan terbuka, tak bisa mengapresiasi kejujuran kita atau menerima pesan di dalamnya. Unresponsiveness, sampai respon yang tidak seharusnya. Pun penolakan, rejections. Bagaimanapun, setiap orang punya limitasinya masing-masing dan tidak akan pernah ada orang yang benar-benar hidup bebas dari nilai. Beberapa kejujuran mungkin mengagetkan. Beberapa kejujuran mungkin melukai yang mendengarnya pula. Beberapa kejujuran mungkin terlalu berat bagi yang mendengarkan. Beberapa yang merespon dengan baik, tanpa kita tahu, bisa jadi menilai dan menghakimi kejujuran kita, meski tak mereka ungkapkan dan hanya dilakukan-disimpan di dalam hati.

2. Seberapa besar dan seberapa dalam pun keinginan kita untuk dapat membantu setiap dan semua orang di dunia ini, kita tidak akan pernah bisa membantu setiap dan semua orang. Bahkan, kita tidak bisa selalu membantu satu orang yang sama, setiap saat kapan saja. Kita punya limitasi. Kita bukan sosok Maha Bisa atau Maha Kuasa. Akan ada orang-orang yang terlewat dalam kehidupan kita, yang tak sanggup kita tolong. Akan ada orang-orang yang singgah dalam kehidupan kita dan gagal kita tolong. Beberapa mungkin kecewa, beberapa mungkin terluka, beberapa mungkin masa bodoh saja.

3. Siapapun itu di muka bumi ini pasti ada kalanya akan mengecewakan, jika dilihat dalam perspektif dan ekspektasi kita. Bahkan, Tuhan, ada kalanya pun bisa akan mengecewakan, dalam pandangan perspektif dan ekspektasi kita yang tidak terpenuhi itu terhadap-Nya. Bagaimanapun, setiap orang memiliki ego-nya masing-masing, keinginan-harapan-ekspektasinya, sudut pandangnya berdasarkan nilai-nilai yang dipegang dan diacunya secara personal, yang bisa jadi berbeda atau bahkan berbenturan dengan orang lain. Akhirnya, merupakan sebuah kewajaran yang sangat alamiah, jika manusia saling mengecewakan satu sama lain.

4. Dalam pandangan bahwa semua kebenaran adalah relatif, sebenarnya deep in our hearts, kita tak bisa 100% mengamini dan mengadopsi sudut pandang relativisme kebenaran itu dalam ranah personal. Dalam kebutuhan kita akan acuan nilai untuk pijakan kehidupan, kita harus berpegangan pada, setidaknya satu kebenaran yang kita anggap mutlak benar, setidaknya bagi diri sendiri. Itu berarti, sebenarnya akan selalu ada kebenaran mutlak bagi setiap orang, meski tak diungkapkan atau dipaksakan pada orang lain. Mengadopsi 100% bahwa semua kebenaran itu relatif dan menempatkan diri 100% dalam relativisme itu tanpa benar-benar menganut kebenaran apapun (yang dianggap) mutlak, akan cenderung menempatkan kita dalam posisi chaos. Sadly, karena kebenaran yang relatif itu, bisa jadi saling bertentangan satu sama lain dan sebenarnya mengharuskan kita memilih mana yang benar dan mana yang salah, serta menyoal hal mendasar penting yang perlu dipikirkan terkait kehidupan.

5. Tidak ada manusia yang tidak memiliki sisi negatif dan sisi jahat. Good and bad adalah sifat natural di setiap manusia, tak terkecuali kita. Mengasihi seorang manusia, bahkan jika manusia itu adalah diri kita sendiri, berarti kita tak bisa hanya mengasihi sisi baiknya saja, kita harus belajar menerima keberadaan sisi negatif dan sisi jahat itu juga – demi melihat manusia itu sebagai seorang pribadi yang utuh. Menolak menerima sisi negatif dan sisi jahat manusia merupakan tindakan menolak kemanusiawian itu sendiri. Masalahnya, memang tidak pernah mudah untuk menerima sisi negatif dan sisi jahat, apalagi kemudian untuk mengasihi pribadi manusia seutuh itu.

6. Kemampuan untuk bertoleransi, bersimpati, dan berempati ditentukan sangat besar oleh pelajaran pengalaman pribadi. Pengalaman, tak selalu harus soal mengalami sendiri atau memiliki orang yang terdekat mengalami, tetapi termasuk juga tentang keterpaparan tentang suatu pengetahuan. Itu berarti, toleransi, simpati, dan empati pun memiliki batasannya. Kita tidak bisa menuntut seseorang untuk bisa bertoleransi, bersimpati, dan berempati sempurna untuk dan dalam semua hal, teristimewa yang tak ia alami atau ketahui. Itu juga berarti, meski sangat ingin, kita pun harus mengakui bahwa kita tidak bisa berlaku yang sama, ya kita tidak bisa selalu bertoleransi-bersimpati-dan-berempati pada setiap orang dan setiap hal di muka bumi.

7. Dalam kebenaran agama yang memang menempatkan dunia dalam hitam dan putih, baik dan buruk, benar dan salah, dalam tataran yang disebut “moralitas”, setiap orang yang beragama selalu akan memiliki tendensi moral superiority complex. Merasa diri yang mengikuti ajaran agama lebih benar dan lebih bermoral daripada yang belum atau tidak mengikuti ajaran agama yang sama. Lebih punya kecenderungan untuk melihat atau bahkan menghakimi yang salah, yang dianggap tak sesuai dengan nilai agama yang “benar”. Pun memiliki keinginan untuk membenarkan mereka yang dianggap “salah” dan “belum benar”, dalam segala hal dan dengan segala cara – dengan anggapan “saya sudah benar” atau “saya lebih benar, jadi kamu harus ikut percaya saya". Masalahnya, bagaimana kita benar-benar selalu tahu yang benar ketika kita yang beragama ini adalah juga sama-sama manusia yang masih berdosa dan tak bebas juga dari kesalahan moralitas, dan kita bukanlah Tuhan? Impossible thing.

8. Di tengah kenyataan bahwa manusia memang terbatas dalam limitasi personalnya masing-masing, manusia yang sama tetap saja terus berekspektasi pada kesempurnaan terkait kemanusiaan. Lupa akan keterbatasan diri sendiri dan orang lain, dan dalam orientasi perfeksionisme, terus menuntut tentang bagaimana manusia bisa menjadi sempurna seperti yang diekspektasi. Terutama terhadap tokoh-tokoh manusia yang mencoba tampil menjadi inovator sosial dan politik. Akhirnya, penyinyiran dan kritik-kritik yang tak membangun bisa lahir dari mulut siapa saja. Ternyata, tanpa disadari, manusia memang bisa jadi setergila-gila itu pada kesempurnaan yang tak mungkin akan pernah dicapai sepenuhnya.

9. Sesungguhnya, jika ingin berpikir filosofis njelimet, hidup bermasyarakat adalah sebuah bentuk pertarungan nilai. Nilai-nilai, yang bisa jadi berdampingan, pun berseberangan, terus diusung kelompok-kelompok manusia, berkontestasi untuk mendapat tempat dan perhatian. Semuanya tentang politik kepentingan, dalam level paling makro yang teragenda sistematis ataupun dalam level paling mikro yang tak terencana dan dilakukan sesepele dalam obrolan sehari-hari. Siapa yang bisa merebut tempat dan mempengaruhi siapa. Lalu, menciptakan aturan dan tatanan. Siklus yang sama, bentuk dominasi yang sama, kelelahan yang sama. Membuat manusia bisa jadi bingung memutuskan tentang sebaiknya percaya siapa, yang mana. Hidup ternyata tidak sederhana.



p.s. :

Kebenaran itu, kawanku, katanya berat dan kadang menyakitkan – tetapi harus dikatakan. Kebenaran itu, kawanku, katanya tak mudah dihadapi, tapi harus dihadapi. Jadi, kawanku, aku menuliskan inipun sebagai sebuah cara untuk menghadapi realita kebenaran. Dengan harapan agar menjadi lebih berani menghadapi dan menerima dengan tangan terbuka.

(Depok, di akhir bulan April 2018. Sebuah tulisan yang lahir dari ruang refleksi personal.)

No comments:

Powered by Blogger.