Bagaimana Seandainya Besok Tak Lebih Baik Dari Hari Ini?
Photo by Osman Rana on Unsplash |
Bagaimana
seandainya penderitaan, beban, kesulitan, kelelahan, ketidaknyamanan, kesusahan
yang kita rasakan menekan secara manusiawi hari ini tidak akan menjadi lebih
mudah, namun justru menjadi lebih sulit
untuk dijalani, di esok hari?
Bagaimana
seandainya besok hari tidak membawa perubahan yang meringankan beban di pundak
dan di hati – namun justru membuatnya
bertambah berat memberatkan diri?
Bagaimana
seandainya Tuhan memilih dan memutuskan untuk
tidak mengangkat atau tidak mengakhiri segala beban dan penderitaan yang
terjadi dan kita alami hari ini di esok hari?
* * *
Pelajaran
penderitaan memang tak populer dan jikalau
bisa cenderung dihindari.
Saya sadar bahwa
mungkin gereja kurang mengajar realita jalan salib dan resiko penderitaan
akhir-akhir ini. Atau, mengajar, tetapi kurang holistik dan kurang realistis
untuk diresapi? Mungkin, sedikit-banyak
itupun berdampak pada (perspektif) iman kita. Banyak kali kita diajar bahwa
Tuhan dapat mengubah impossible menjadi
possible, derita menjadi sukacita. Kita berdoa untuk itu. Kita klaim
hal-hal derita yang ingin kita ubah
itu dalam iman. Namun, kita mungkin
luput menanyakan kehendak-Nya, rencana-Nya. He
is always able to turn the impossible into the possible – but, my friend, we
must realize that He will not always do it. Everything depends on His plans,
His desire – not ours. Jadi, jika Dia tidak (berkehendak) mengubah impossible menjadi possible, derita jadi sukacita,
di hidup kita, bagaimana? Apakah
kita siap menerima? Apakah kita masih
percaya? Apakah kita sebenarnya beriman
dalam rencana-Nya atau rencana kita?
Belakangan, saya
kerap mempertanyakan semua pertanyaan ini untuk diri sendiri.
*
* *
Memang,
tidak ada pelajaran penderitaan yang mudah untuk dilalui.
Saya menuliskan
ini dengan tekad untuk bersikap jujur terhadap diri sendiri. Saya tidak mau berfokus
membahas lagi bahwa mungkin Tuhan memilih
dan memutuskan untuk mengizinkan penderitaan dan tidak meringankan atau
mengakhirinya bagi kita karena itu rencana yang terbaik di mata-Nya – meski
kita tidak tahu, tidak paham tentang rencana itu. Saya mau bersikap jujur
bahwa memang kita harus beriman penderitaan
pasti diizinkan dengan suatu maksud baik
dalam kerangka besar rencana Tuhan dalam hidup kita – tetapi penderitaan
tetaplah penderitaan. Tidak mudah menerimanya sebagai sebuah rencana yang baik, secara manusiawi.
Tidak ada
pelajaran penderitaan yang tak membawa penderitaan.
Meski
tak selalu, pelajaran penderitaan sering kali banyak menuntut air mata tumpah,
hati patah kecewa, situasi pikiran kacau, harapan pupus, sampai diri terperosok
dalam lubang depresi dan frustasi yang serius. Pelajaran penderitaan pun menguji iman. Iman yang kadangkala dapat sangat keras membentur realita: keduanya bisa jadi
sangat berbeda, sangat bertolak-belakang dari apa yang dikira.
Tidak
ada pelajaran penderitaan yang tak menantang untuk dijalani.
Dalam
situasi terpuruk, kita kerap terdorong bertanya kenapa pada Sang Perencana yang
tadinya kita percaya. Kita mengevaluasi apa yang salah, apa yang tidak
seharusnya, yang mungkin kita lakukan yang mungkin menyebabkan penderitaan. Kita merasa tersudut
dan sendirian
ketika tak menemukan titik temu yang dicari, jawaban atas apa yang terjadi.
Bingung, kita mulai meragukan segala
sesuatu yang telah dilalui. Efek
pelajaran penderitaan bisa jadi seperti ini.
Ya, nyatanya, memang tak ada pelajaran
penderitaan yang mudah untuk dialami.
*
* *
Mungkin kita
perlu bersikap
jujur kepada diri sendiri. Perlu
mengakui kelemahan kemanusiawian kita. Mungkin sebenarnya kita memang tak siap untuk jalan penderitaan. Mungkin kita lupa apa yang Yesus
pernah bilang. Tentang salib dan penyangkalan diri setiap hari (yang ternyata jauh lebih sulit daripada teori teologia atau yang kita bayangkan selama ini). Mungkin kita luput pula memperhatikan bahwa iman seharusnya tak bergantung
kepada kondisi dan keadaan – iman
tak hanya existed jika cerita hidup tampak bahagia atau tampak baik-baik
saja. Lalu, bagaimana jika kondisi tidak baik-baik saja? Bagaimana jika kita
menderita, dan itu tak dialami hanya dalam sekejap mata tetapi untuk waktu yang
lama? Apakah kita akan berhenti percaya?
Tapi
jujur saja, realistis saja, manusia mana yang dalam segala kemanusiawiannya selalu siap untuk merengkuh jalan
penderitaan menjadi jalan kehidupannya?
Akui saja, kita
bisa lemah, kita bisa terpuruk. Bisa tidak kuat beriman.
*
* *
Dalam
kemanusiawian kita sebagai manusia,
saya pikir, tak
apa untuk menangis. Tak apa untuk marah. Tak apa untuk kecewa. Tak apa untuk
bingung. Tak apa untuk bertanya kenapa pada Sang Pencipta. Ketika pelajaran
penderitaan menghimpit lebih sempit dan rapat, terasa sesak dan tak lagi dapat
tertanggung. Itu sangat wajar, sangat manusiawi.
Dalam
kemanusiawian kita sebagai manusia, itu berarti
kita sadar – kita bertumbuh – kita menjadi sesuatu. Kita tak hanya menganggap segala sesuatu sebagai taken for granted. Kita tak berpura-pura kuat dan selalu merasa harus
tahan banting – padahal nyatanya tidak juga. Kita bersikap jujur dan realistis : bahwa kita adalah manusia, yang manusiawi, tetapi tak mau menyerah terhadap
kemanusiawian itu. Kita tahu kita perlu hati dan iman yang lebih siap, dan kuat
kemudian, untuk meneruskan perjalanan yang bisa jadi di luar ekspektasi. Kita berusaha untuk mendapatkan hati dan
iman yang lebih siap dan kuat itu. Kita pun tahu kita butuh anugerah untuk itu.
*
* *
Bagaimana
seandainya besok tidak lebih baik daripada hari ini?
Bagaimana
seandainya penderitaan adalah jalan yang akan
kembali menunggu
dengan porsi lebih besar dan lebih berat di hari depan nanti?
*
* *
Disini,
kita sampai pada pertanyaan paling akhir paling utama, yang penting ditanyakan pada diri sendiri.
Meski
masa depan tak selalu cerah karena ada juga jalan derita, banyak air mata, iman
membentur realita – dan kita tak tahu alasan mengapa di
baliknya – dalam kesemuanya, kesemua yang diizinkan-Nya terjadi ini, apakah kita bisa kembali lapang hati mengamini dan
mengikuti? Apa kita akhirnya dapat mempercayai dan mengalami bahwa memiliki Yesus saja cukuplah, meskipun
susah dan derita jalannya? (Kata kembali dan akhirnya menekankan, bahwa kita bisa saja sulit menerima dan
mengamini dan mengikuti di awal cerita derita – dalam segala kemanusiawian kita
– namun di ujung cerita, dalam anugerah berlimpah, kita akhirnya akan kembali juga).
Menutup perenungan
ini, saya sadar, bahwa pelajaran contentment
tidak hanya menyoal tentang “merasa cukup” dengan segala kondisi duniawi
yang dialami sebagai bagian dari rencana Ilahi (yang berarti fokusnya tetap
situasi hidup kita yang dapat berubah).
Pelajaran contentment sesungguhnya
menyoal tentang “merasa cukup” dengan hanya
memiliki Yesus yang tak pernah berubah, satu-satunya
the One & Only, dalam kondisi apapun
yang terjadi yang kita alami.
So, all in all,
will Christ be always
enough for me?
p.s. :
Cikarang,
28 Juni 2017. Setelah tangisan panjang di sebuah ruang.
Ternyata, (sungguh)
tak mudah dan tak sepele untuk mengalami dan mengatakan dan menuliskan (dan
menyanyikan), Christ is enough for me. Tulisan
ini ditulis dengan lagu Christ Is Enough dari
Hillsong sebagai pendamping
perenungan dan proses penulisan. Dituliskan (lebih) untuk diri
sendiri,
sebagai pengingat dan ekspresi perenungan. Dituliskan setelah tercerahkan dan terinspirasi karena membaca tulisan ini (Sometimes God Just Closes Doors, by Benyamin Vrbicek).
No comments: