Refleksi: Merenungi Kembali 2015
Photo by S. on Unsplash |
Sebagian saya kumpulkan dari halaman facebook saya, sebagian dari buku catatan jurnal pribadi saya. Tapi asal-muasalnya, sebenarnya bukanlah darisana. Bukan juga dari (pikiran) saya. Tapi dari Dia, yang membawa terang yang mencerahkan saya, ketika pelajaran penderitaan terlalu gelap untuk dibaca. Perenungan-perenungan ini lahir begitu saja dalam pengaturan-Nya. Dilahirkan pengalaman kehidupan, yang tak mengenal tempat dimana atau kemana. Kebanyakan tiba setelah kapal goncang, dan keakuan digorat-goret. Tak jarang membuat lidah saya kelu, atau mata saya basah. Di atas segala, tetap saya bersyukur: Dia mengajari lewat terang setelah gelap, tentu karena rasa sayang-Nya. Perenungan-perenungan ini, yang menjadikan lembaran 2015 begitu berharga—meski jalannya sungguh tak mudah. Saya mengumpulkannya kembali dan merangkainya satu, di halaman ini, lebih untuk mengingatkan diri saya sendiri, supaya tak melupakan pelajaran-pelajaran ini. Pelajaran-pelajaran ini harus saya bawa sampai mati.
“Bagaimana jika bagian yang dianugerahkan kepadamu
adalah hanya untuk menabur dan bukan untuk menuai? Apakah itu menjadi masalah?
Bukankah yang terpenting bukanlah siapa yang menabur atau siapa yang menuai,
tetapi siapa yang memiliki ladang tuaian? Tidaklah penting siapa yang menabur,
atau siapa yang menuai, asal mereka bekerja di ladang yang sama, dengan visi
yang sama, dan untuk tuan yang sama.”
(Cikarang, November 2015: Sebuah Perenungan Personal Tentang Pride & Untiy)
(Cikarang, November 2015: Sebuah Perenungan Personal Tentang Pride & Untiy)
“Bagaimana jika Tuhan mengizinkanmu kehilangan segala hal yang bisa kau
banggakan dalam hidupmu, sampai hanya Tuhan satu-satunya yang bisa menjadi
kebanggaan dalam hati dan hidupmu—dan tidak perlu yang lain? Kadang seluruh
jubah harus dicopot demi sebuah pakaian sederhana, yang sangat penting yang
dinamakan, kerendahan hati.”
(Cikarang,
November 2015: Sebuah Perenungan Personal Tentang Kerendahan Hati)
“Kehilangan harus bisa mengingatkan kita bahwa selama
kita masih hidup berpijak di dunia yang tidak abadi ini, kita seharusnya tidak
menggenggam apapun terlalu erat, selain tangan Yesus Tuhan itu sendiri.”
(Cikarang, Oktober
2015: Sebuah Perenungan Personal Tentang Kehilangan)
“Let the true light will naturally shine.
The light will shine for sure, when you fully abide in
Him.
Terang itu bercahaya di dalam kegelapan, dan kegelapan
itu tidak menguasainya.”
(Dalam Penerbangan
Di Atas Langit Malam Kota Jakarta, Oktober 2015:
Sebuah Perenungan
Personal Tentang Terang)
“Kadang memiliki pilihan (lain) merupakan hal yang
lebih sulit dibandingkan jika kita tidak punya pilihan sama sekali.
Tantangannya adalah, apakah kita bisa tetap memilih Tuhan, ketika kita punya
banyak pilihan lain, selain pilihan
Tuhan?”
(Hedwin’s House of
Prayer—Jakarta, Juli 2015: Sebuah Perenungan Tentang Pilihan)
“Sepenting
mata bagi tubuh, sepenting itulah Injil bagi hidup.”
(Bangka Belitung, Dalam
Tugas Kantor Untuk Kegiatan Bantuan Operasi Katarak,
November 2015: Sebuah
Perenungan Tentang Mata & Injil)
“It’s really okay untuk meragukan manusia, sebaik
apapun dia di mata kita selama ini—asalkan keraguan terhadap manusia itu tidak akan
pernah mempengaruhi pandangan kita akan Tuhan dan tidak membuat kita ikut
meragukan Tuhan. Tuhan tetaplah Tuhan, dan dalam kedaulatan serta kasih-Nya,
Dia tetap memakai manusia yang lemah dan berdosa, dengan alasan yang mungkin
sulit diterima oleh manusia. Termasuk oleh kita.”
(Cikarang, September
2015: Sebuah Perenungan Tentang Manusia)
“Mengapa kita harus takut untuk berjalan sendiri
melewati padang gurun jika Allah memimpin dan beserta kita, dengan janji bahwa
sekalipun Ia takkan pernah meninggalkan kita?”
(Jakarta, Oktober 2015:
Sebuah Perenungan Tentang Padang Gurun)
“Apakah kau tega untuk tidak berhenti ketika di tengah
perjalananmu, kau bertemu seorang pengelana yang menanyakan arah tujuan kepadamu?
Apalagi, jika tujuan itu adalah kepada Yesus? Tegakah kau untuk melewati dan
tidak berhenti, mengabaikan pertanyaan yang menentukan hidup dan mati?”
(Cikarang, November 2015:
Sebuah Perenungan Tentang Amanat Agung)
“Tidak perlu lautan luas, badai dashyat, atau ikan
besar seperti yang menelan Yunus untuk mengingatkanmu atau memanggilmu pulang
pada panggilan dan isi hati Tuhan. Ikan besar itu, di masa kini, bisa berwujud
apa saja—orang-orang di sekelilingmu, kondisi, pengalaman-pengalaman yang
mungkin sepele dan sederhana—yang diatur-Nya berada di tempat dan waktu yang
tepat untuk mengingatkanmu bahwa, panggilan-Nya tak bisa ditolak. Panggilan itu
secara naturally menjadi bagian yang
penting dari hidupmu, yang meski disangkal atau dilupakan akan terus memanggil
pulang.”
(Cikarang, November 2015:
Sebuah Perenungan Tentang Panggilan: To
Serve The Poorest Of The Poor)
Blessing,
Yoels
No comments: