Refleksi: The Idea of Enough
Photo by Joseph Greve on Unsplash |
“Jika ada sebuah gelas yang setengahnya berisi air—bagaimana kau melihatnya? Apakah itu setengah penuh? Ataukah setengah kosong?”
Apa yang salah jika kita menjawab setengah kosong? Dalam
perenungan saya, saya pikir ini tidak hanya sekedar mengenai cara pandang
pesimisme, yang menjadi lawan dari cara pandang optimisme—sebagaimana
filosofinya berkata. Tidak sengaja menemukan kembali pertanyaan ini di sebuah
halaman website yang biasa saya baca setiap pagi, saya kemudian menguji diri sendiri
dengan mencoba menjawabnya. Dan menemukan jawabannya menuntun saya ke sebuah
perenungan yang lebih jauh. Perenungan
ini.
Ini tentang apa yang kita sebut sebagai contentment.
Istilah yang tidak populer, mungkin. Bahkan kurang dipahami orang. Contentment tidak sekedar mengenai kepuasan, arti harafiahnya dalam bahasa
Indonesia. Lebih dalam bagi saya, contentment
menunjuk soal sikap hati. Ada kemampuan untuk menerima, ada juga rasa
syukur di dalamnya.
Contentment
juga bukan soal rasa cepat berpuas diri. Itu jelas berbeda.
Contentment justru sulit untuk
diraih, menurut saya. Ada paradoks di dalamnya. Ketika kita merasa sulit untuk merasa puas, menerima, bersyukur (to be
content), maka kita berjuang untuk merasa puas, menerima, dan bersyukur. Saat
itulah, kita membutuhkan contentment.
Sudut pandang yang melihat gelas itu sebagai setengah
kosong, bagi saya, juga bisa menjadi indikator contentment ini di dalam diri seseorang. Kita berfokus kepada apa yang kurang, apa yang tidak ada. Kita
tidak melihat dan tidak benar-benar menyadari bahwa sudah ada setengah gelas
air di dalam gelas itu.
Memang harus diakui, to
be content or to have that
contentment bukanlah hal sepele yang mudah dilakukan. Jika gaji di dalam
rekeningmu setiap bulan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan, jika pekerjaan
yang sekarang kau geluti bertentangan dengan idealisme-mu, atau ketika kau
mengevaluasi hidupmu dan menyadari bahwa kau belum mencapai apapun yang ada dalam
daftar mimpi atau misimu, ketika teman-temanmu sudah mendapatkan ini-itu dan
kau merasa masih stuck di titik yang
sama saja, misalnya. Contentment akan
menjadi sangat menantang bagi sisi manusiawi diri sendiri. Apalagi jika ada
variabel independen lain, yaitu kehendak Tuhan. Ya, kondisi-kondisi itu bisa
jadi terjadi sebagai cara-Nya untuk mengajarimu sesuatu, seperti contentment itu. The idea of enough. Dan
kau tak bisa lari.
Menerima, bersyukur, dan tidak mengeluh—atau yang saya bahasakan sebagai
contentment—bukan berarti tidak berbuat apa-apa untuk mengubah keadaan. Ini
lebih seperti menyadari bahwa kita berada dalam kondisi itu, karena sebuah alasan. Alasan yang mendatangkan
kebaikan, tentu saja. Sebuah pelajaran, tak sekedar karena kemungkinan
kesalahan. Contentment menolongmu
menyadari bahwa Dia berdaulat atas hidupmu dan kau hanya perlu menikmati sampai
detail-detail kecil kehidupanmu dengan hati yang jauh dari mengeluh. Bahwa ada
saatnya, keadaan berubah dan kau juga harus melakukan sesuatu untuk mengubah
keadaannya—tapi tidak memaksanya. Jadi, selagi ada disana, kau harus berusaha menemukan pelajaran-pelajarannya. Ya,
pelajaran kehidupan dari pengalaman kehidupanmu.
Epilog :
To be
content adalah sebuah pelajaran untuk menjadi sanggup, ketika kau
tidak sanggup. Sanggup menerima diri dan situasi, sanggup mensyukurinya sebagai
anugerah Yang Ilahi, dan sanggup tidak membandingkan diri dengan yang lain atau
mengeluh akan apa yang tengah terjadi. Sanggup untuk berkata, “ini cukup bagi saya saat ini.”
Jadi, tanyakan lagi,
Sanggupkah kita bersyukur jika apa yang di hadapan mata tak
sama seperti apa yang diekspektasi hati? Sanggupkah kita bersyukur jika apa
yang dapat kita raih tak sama seperti apa yang ingin kita gapai? Sanggupkah kita
bersyukur jika apa yang ditunggu tak datang dalam waktu dan cara yang kita duga,
mungkin lebih lama dan lebih sulit dalam prosesnya?
Sanggupkah kita bersyukur jika realita tak merealisasi apa
yang lahir dalam imajinasi kita? Sanggupkah kita bersyukur jika realita seperti
tak merealisasi janji-janji yang kita dapat daripada-Nya? Sanggupkah kita
bersyukur jika realita justru menantang apa yang dengan iman kita bawa dalam
ruang waktu doa kita?
Sanggupkah kita bersyukur jika iman menantang kita, to live by it—
yes to live
by faith, and not by sight?
p.s. :
Live by
faith, ya iman itu, tidak berfokus pada apa yang dapat kita capai di masa yang akan datang. Live by faith, ya
iman itu, berfokus pada siapa yang
dapat menolong kita mencapainya. Iman bahwa
Dia itu, tak mungkin merancangkan kecelakaan untuk kita. Jadi, bukan apa yang menjadi penting, tapi siapa. Kita butuh kehidupan spiritual yang
berfokus benar seperti itu. Sebenarnya, inilah kunci utama, contentment itu.
(Sebuah Perenungan: Cikarang, 23 Juni 2016)
No comments: