From My Mother's Womb

June 16, 2014



Photo by Luma Pimentel on Unsplash


You hold the universe, You hold everyone on earth.
You hold the universe, You hold and You hold.

You made all the delicate, inner parts of my body.
And knit me together in my mother’s womb.

Thank you for making me so wonderfully complex!
Your workmanship is marvellous—how well i know it.

You watched me as i was being formed in utter seclusion.
As i was woven together in the dark of the womb.

You saw me before i’ve born.
Everyday of my life was recorded in Your book.
Every moment was laid out.
Before a single day had passed.

How precious are Your thoughts about me, Oh God.
They cannot be numbered!

I can’t even count them;
They outnumber the grains of sand!
And when i wake up in the morning,
You are still with me.


(Hillsong Kids, All I Need Is You-You Are My World, Lyrics)

***

Malam itu, sudah larut. Aku baru saja kembali pulang ke rumahku, tempat yang selalu senang kusebut sebagai home sweet home, setelah berbulan-bulan tidak pulang karena kuliah di luar kota, di pulau lain. Rumahku sudah terasa sunyi malam itu, kedua bouku—sebutan tante dalam bahasa batak—sudah tertidur di kamar di lantai atas, begitu juga adikku dan ayahku. Tapi ibuku dan aku masih terjaga. Di dalam kamarnya, aku ikut berbaring di samping ibuku, yang berbaring di tempat tidur di sebelah ayahku, yang sudah lelap. Akhirnya hanya kami berdua, aku dan ibu, larut dalam cerita itu. Cerita tentang masa lalu.

Percayakah kau kalau tidak ada yang kebetulan di dunia ini? Bukan kebetulan kau ditempatkan di tengah-tengah keluargamu sekarang, bagaimanapun keadaannya. Bukan kebetulan juga jika usiamu sekarang, mungkin masih sama dengan usiaku, yang baru 21 tahun, dan cerita hidupmu mungkin baru benar-benar dimulai setelah ini. Bukan kebetulan juga nama yang menjadi identitasmu adalah memang nama yang kau “kenakan” sekarang, entah itu serangkaian nama yang panjang atau nama yang singkat dan pendek. Tidak ada yang kebetulan, sungguh. Tidak ada yang kebetulan.

Sambil sama-sama berbaring di atas tempat tidur dan melihat ke langit-langit kamar, ibuku, di malam yang sudah larut dan sunyi itu, mengajakku kembali ke masa yang lebih dari 21 tahun lalu, ketika bahkan aku pun belum hadir di dalam kandungannya. Ketika ayah dan ibuku baru saja menikah. Ketika ibuku baru berencana untuk memberikan sebuah nama istimewa kepada calon bayi dan anaknya nanti. Sebuah nama yang mirip dengan nama seorang suster, biarawati di India, yang mengabdi untuk Tuhan kepada mereka yang termiskin dari antara para miskin. Mother Teresa. Aku masih mendengarkan cerita ibu dengan perhatian penuh, di dalam pikiran dan perasaanku—seluruh cerita mengenai panggilan hidupku yang baru sebulan-dua-bulanan lalu disingkapkan dibagikan Yang Terkasih padaku, seperti dipertegas, dikonfirmasi, sekali lagi, oleh cerita ibuku.

“Mama yakin tidak ada yang kebetulan di dunia ini,” kata ibuku. “Bahkan keinginan untuk memberikan nama itu padamu sudah muncul sebelum kamu lahir dan sebelum kamu ada di dalam kandungan mama.”

Lanjut ibuku, “Makanya ketika kamu cerita soal jawaban doamu mengenai panggilan hidupmu dari Tuhan, mama langsung teringat ini, dan mengerti. Semuanya sudah dirancang dari mulanya, bahkan sebelum kamu lahir. Sempurna. Bukankah itu seperti memang Dia yang menempatkan keinginan itu di dalam hati mama, untuk memberikanmu nama itu, Dia yang merancangkan hidupmu—hidup kita? Nama yang memantapkanmu untuk menjalani panggilan hidupmu...”

Aku tertegun. Aku ingat lagi kesemua ceritanya. Satu-persatu. Termasuk bagaimana aku memilih jurusan sosiologi sesederhana hanya karena ingin belajar masalah kemiskinan. Mazmur 139, yang beberapa hari lalu kubaca di waktu-waktu teduhku berdua dengan-Nya, ter-rhema di hatiku.


“Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku,
menenun aku dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur kepada-Mu karena kejadianku
dashyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya.
Tulang-tulangku tidak terlindung bagi-Mu,
ketika aku dijadikan di tempat yang tersembunyi,
dan aku direkam di bagian-bagian bumi yang paling bawah;

mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis, 

hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satupun daripadanya...”


Baru kali itu, aku benar-benar sadar bahwa tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Semua hal terjalin indah dalam satu alur, satu rangkaian. Sebuah rencana agung dari Yang Maha Kasih. Cerita-cerita yang tersusun begitu sempurna. Itulah hidup kita. Meski kadang mungkin tidak selalu cerita yang membuatmu tersenyum atau tertawa ketika menjalaninya, karena banyak air mata. Tapi pada akhirnya, kita pasti bisa mengatakan “amin” di ujung ceritanya ketika semua ceritanya selesai sempurna, tampak jelas, dan kita mengerti keseluruhan alurnya.

Aku bisa bilang apa? Bahkan kalimat “how great Thou art” pun terasa tak cukup untuk menyatakan kekaguman dan rasa terima kasih mendalam atas rancangan-Nya yang sempurna atas hidupku. Andai semua orang di muka bumi ini juga bisa menemukan dan menyadari hal yang sama. Andai semua orang di muka bumi ini juga bisa masuk ke dalam kekaguman yang sama.


Malam semakin larut. Ibuku membagikan pelukan hangatnya untukku, menutup ceritanya, meski aku masih juga asyik larut di dalam perenungan pribadiku dan di dalam seluruh cerita yang baru dibagikan ibu sebelumnya. Malam itu, aku semakin mantap untuk menjalani apa yang sudah ku pilih—yang juga sudah dipilihkan-Nya untukku. Aku bahagia karena kami sehati dalam pilihan ini, aku dan Dia. Aku senang karena kami mengingini hal yang sama. Ceritaku dan cerita-Nya ini belum selesai? Ya, belum. Tak mudah? Memang. Idealis? Harus. Dan idealisme itu harus dibangun di atas iman dan panggilan hidup daripada-Nya, Yang Terkasih. Cinta Yesus selalu cukup untuk memberi kekuatan dan semangat yang baru setiap hari, setiap langkah, setiap perjuangan, dan setiap tantangan. Ngomong-ngomong, sudahkah kau menemukan panggilan hidupmu? Sebuah alasan yang membuatmu yakin bahwa kau hidup di dunia ini untuk sebuah tujuan, untuk sebuah hal berarti, bukan hidup sekedar hidup, bukan hidup yang dilewatkan dalam kesia-siaan, bukan hidup tanpa mengerti mengenai mengenai hidup itu sendiri? Aku harap kau segera menemukannya, aku harap kau bersemangat untuk mencarinya. Aku harap Dia pun menyingkapkan rahasia itu bagimu :)




Kota Medan, Maret 2013.

No comments:

Powered by Blogger.