From My Mother's Womb
You hold the universe, You hold everyone
on earth.
You hold the universe, You hold and You
hold.
You made all the delicate, inner parts of
my body.
And knit me together in my mother’s womb.
Thank you for making me so wonderfully
complex!
Your workmanship is marvellous—how well i
know it.
You watched me as i was being formed in
utter seclusion.
As i was woven together in the dark of the
womb.
You saw me before i’ve born.
Everyday of my life was recorded in Your
book.
Every moment was laid out.
Before a single day had passed.
How precious are Your thoughts about me,
Oh God.
They cannot be numbered!
I can’t even count them;
They outnumber the grains of sand!
And when i wake up in the morning,
You are still with me.
(Hillsong Kids, All I Need
Is You-You Are My World, Lyrics)
***
Malam
itu, sudah larut. Aku baru saja kembali pulang ke rumahku, tempat yang selalu
senang kusebut sebagai home sweet home, setelah berbulan-bulan tidak pulang
karena kuliah di luar kota, di pulau lain. Rumahku sudah terasa sunyi malam
itu, kedua bouku—sebutan tante dalam bahasa batak—sudah tertidur di kamar di
lantai atas, begitu juga adikku dan ayahku. Tapi ibuku dan aku masih terjaga.
Di dalam kamarnya, aku ikut berbaring di samping ibuku, yang berbaring di
tempat tidur di sebelah ayahku, yang sudah lelap. Akhirnya hanya kami berdua,
aku dan ibu, larut dalam cerita itu. Cerita tentang masa lalu.
Percayakah
kau kalau tidak ada yang kebetulan di dunia ini? Bukan kebetulan kau
ditempatkan di tengah-tengah keluargamu sekarang, bagaimanapun keadaannya.
Bukan kebetulan juga jika usiamu sekarang, mungkin masih sama dengan usiaku,
yang baru 21 tahun, dan cerita hidupmu mungkin baru benar-benar dimulai setelah
ini. Bukan kebetulan juga nama yang menjadi identitasmu adalah memang nama yang
kau “kenakan” sekarang, entah itu serangkaian nama yang panjang atau nama yang
singkat dan pendek. Tidak ada yang kebetulan, sungguh. Tidak ada yang
kebetulan.
Sambil
sama-sama berbaring di atas tempat tidur dan melihat ke langit-langit kamar,
ibuku, di malam yang sudah larut dan sunyi itu, mengajakku kembali ke masa yang
lebih dari 21 tahun lalu, ketika bahkan aku pun belum hadir di dalam
kandungannya. Ketika ayah dan ibuku baru saja menikah. Ketika ibuku baru
berencana untuk memberikan sebuah nama istimewa kepada calon bayi dan anaknya
nanti. Sebuah nama yang mirip dengan nama seorang suster, biarawati di India,
yang mengabdi untuk Tuhan kepada mereka yang termiskin dari antara para miskin.
Mother Teresa. Aku masih mendengarkan cerita ibu dengan perhatian penuh, di
dalam pikiran dan perasaanku—seluruh cerita mengenai panggilan hidupku yang
baru sebulan-dua-bulanan lalu disingkapkan dibagikan Yang Terkasih padaku,
seperti dipertegas, dikonfirmasi, sekali lagi, oleh cerita ibuku.
“Mama
yakin tidak ada yang kebetulan di dunia ini,” kata ibuku. “Bahkan keinginan
untuk memberikan nama itu padamu sudah muncul sebelum kamu lahir dan sebelum
kamu ada di dalam kandungan mama.”
Lanjut
ibuku, “Makanya ketika kamu cerita soal jawaban doamu mengenai panggilan
hidupmu dari Tuhan, mama langsung teringat ini, dan mengerti. Semuanya sudah
dirancang dari mulanya, bahkan sebelum kamu lahir. Sempurna. Bukankah itu
seperti memang Dia yang menempatkan keinginan itu di dalam hati mama, untuk
memberikanmu nama itu, Dia yang merancangkan hidupmu—hidup kita? Nama yang
memantapkanmu untuk menjalani panggilan hidupmu...”
Aku
tertegun. Aku ingat lagi kesemua ceritanya. Satu-persatu. Termasuk bagaimana
aku memilih jurusan sosiologi sesederhana hanya karena ingin belajar masalah
kemiskinan. Mazmur 139, yang beberapa hari lalu kubaca di waktu-waktu teduhku
berdua dengan-Nya, ter-rhema di hatiku.
“Sebab Engkaulah
yang membentuk buah pinggangku,
menenun aku
dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur kepada-Mu karena kejadianku
dashyat dan
ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya.
Tulang-tulangku
tidak terlindung bagi-Mu,
ketika aku
dijadikan di tempat yang tersembunyi,
dan aku direkam
di bagian-bagian bumi yang paling bawah;
mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis,
hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satupun daripadanya...”
mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis,
hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satupun daripadanya...”
Baru
kali itu, aku benar-benar sadar bahwa tidak ada yang kebetulan di dunia ini.
Semua hal terjalin indah dalam satu alur, satu rangkaian. Sebuah rencana agung
dari Yang Maha Kasih. Cerita-cerita yang tersusun begitu sempurna. Itulah hidup
kita. Meski kadang mungkin tidak selalu cerita yang membuatmu tersenyum atau tertawa
ketika menjalaninya, karena banyak air mata. Tapi pada akhirnya, kita pasti
bisa mengatakan “amin” di ujung ceritanya ketika semua ceritanya selesai
sempurna, tampak jelas, dan kita mengerti keseluruhan alurnya.
Aku
bisa bilang apa? Bahkan kalimat “how great Thou art” pun terasa tak cukup untuk
menyatakan kekaguman dan rasa terima kasih mendalam atas rancangan-Nya yang
sempurna atas hidupku. Andai semua orang di muka bumi ini juga bisa menemukan
dan menyadari hal yang sama. Andai semua orang di muka bumi ini juga bisa masuk
ke dalam kekaguman yang sama.
Malam
semakin larut. Ibuku membagikan pelukan hangatnya untukku, menutup ceritanya,
meski aku masih juga asyik larut di dalam perenungan pribadiku dan di dalam
seluruh cerita yang baru dibagikan ibu sebelumnya. Malam itu, aku semakin
mantap untuk menjalani apa yang sudah ku pilih—yang juga sudah dipilihkan-Nya
untukku. Aku bahagia karena kami sehati dalam pilihan ini, aku dan Dia. Aku
senang karena kami mengingini hal yang sama. Ceritaku dan cerita-Nya ini belum
selesai? Ya, belum. Tak mudah? Memang. Idealis? Harus. Dan idealisme itu harus
dibangun di atas iman dan panggilan hidup daripada-Nya, Yang Terkasih. Cinta
Yesus selalu cukup untuk memberi kekuatan dan semangat yang baru setiap hari,
setiap langkah, setiap perjuangan, dan setiap tantangan. Ngomong-ngomong,
sudahkah kau menemukan panggilan hidupmu? Sebuah alasan yang membuatmu yakin
bahwa kau hidup di dunia ini untuk sebuah tujuan, untuk sebuah hal berarti,
bukan hidup sekedar hidup, bukan hidup yang dilewatkan dalam kesia-siaan, bukan
hidup tanpa mengerti mengenai mengenai hidup itu sendiri? Aku harap kau segera
menemukannya, aku harap kau bersemangat untuk mencarinya. Aku harap Dia pun
menyingkapkan rahasia itu bagimu :)
Kota Medan, Maret 2013.
Kota Medan, Maret 2013.
No comments: