3 Hal Yang Sangat Mahal Harganya Jelang Usia 30

December 13, 2020

 

Tahun ini, saya akhirnya berusia 29 tahun. Itu berarti, ini adalah tahun terakhir saya untuk menikmati menjadi orang muda berusia 20 tahunan. Tahun depan, say bye. Saya akan mulai menyemat awal angka yang baru, menjadi 30 tahun. Waktu ternyata berjalan cepat sekali ya, rasanya baru kemarin saya merasa kikuk sendiri untuk melepas masa remaja belasan tahun dan menyemat usia 20. Siapa sangka sekarang saya sudah jelang usia 30? Ah, time flies.

 

Berusia 29 tahun dan menjelang usia 30 ternyata tidak mudah. Saya berproses sulit sekali selama lima bulanan terakhir, sejak bulan Juli 2020 lalu mulai resmi menjadi 29 tahun. Seabrek-abrek pikiran mulai memenuhi kepala karena saya termasuk orang yang takut menjadi tua. Usia 20-an itu seperti safe space yang sempurna buat saya dari segala rentang usia: usia dimana kita masih bisa merasa muda dan bebas, bebas mencoba ini-itu, bebas berkomunitas dan volunteer—pun yang pasti, masih bisa punya ruang untuk menarik nafas dari tuntutan ‘menjadi dewasa’. Tapi usia 30? Kebalikannya. Rasanya di usia 30, segala tuntutan ‘menjadi dewasa’ dan segerombol tanggung-jawabnya pasti akan mengikuti. Kita tak bisa lagi dimaklumi dan pergi melenggang dari percakapan basa-basi dengan kenalan dan kerabat soal pernikahan dan kemapanan, misalkan. Yang dibawa-bawa pasti: ‘umurmu sudah kepala 3 lho.’


Photo by Agê Barros on Unsplash

Selain itu, saya merenungi bahwa ada tiga hal yang sangat mahal harganya di usia jelang 30: energi, emosi, dan waktu. Tiga ini seperti kombo yang tak terpisahkan, sepaket. Semakin tua, semakin dekat dengan usia 30, saya menyadari bahwa ternyata, energi-emosi-dan-waktu saya terbatas. Karena itu, saya perlu berhati-hati untuk menggunakannya setiap hari.

 

Energi = semakin bertambah usia, kita sadar bahwa badan fisik kita pun akan otomatis semakin menua. Kita mungkin akan lebih cepat lelah dibandingkan ketika kita masih lebih muda. Kita harus lebih jaga pola makan-minum, istirahat dan olahraga. Kita sudah mulai harus memperhatikan kadar gula darah, tensi atau asam urat, demi tetap sehat sampai tua. Energi kita terbatas. Selektif memilih apa dan siapa saja yang bisa mengakses energi kita, harus.

 

Emosi = semakin bertambah usia, kita sadar bahwa stabilitas emosi adalah salah satu kunci dari kesehatan jiwa. Generasi milenial apalagi, dengan terjangan media sosial dan pandemi sekarang. Bagi orang-orang dengan kepribadian yang highly sensitive seperti saya ini (INFJ-HSP), tentu perihal emosi jadi semakin penting diperhatikan. Sedikit kecolongan, ruginya banyak. Gak enak banget harus terkuras emosi buat hal-hal yang gak perlu dan gak signifikan.

 

Waktu = semakin bertambah usia, kita sadar bahwa waktu berjalan begitu cepat dan waktu sangat berharga, sementara ternyata ada begitu banyak hal yang ingin kita lakukan dan eksekusi. Sama seperti umur manusia juga terbatas, tak ada yang benar-benar tahu kapan usianya akan berakhir kan. Kita perlu mengakui, kita tidak bisa handle semua hal, bahkan yang kita inginkan atau kita rencanakan. Itu berarti mengalokasikan waktu untuk hal-hal prioritas, wajib hukumnya.

 

Yang jarang kita sadari, banyak sekali ini-dan-itu dalam hidup yang bisa menguras tiga hal ‘yang paling mahal harganya’ jelang usia 30 ini. Pekerjaan dan perihal pencarian nafkah untuk bertahan hidup, sudah pasti tak luput untuk mengakses energi, emosi dan waktu kita. Namun, pekerjaan dan perihal pencariaan nafkah untuk bertahan hidup adalah salah satu prioritas bagi nyaris semua orang, jadi kita tidak punya banyak pilihan—selain bersiasat mengelola dan memanajemen baik agar tidak terlalu bablas saja. Selain pekerjaan, ada satu lagi yang sering menguras energi-emosi-waktu yang saya yakin dialami banyak orang. Apa itu? Segala jenis relasi sosial. Bagi saya, termasuk pertemanan.

 

Sebagai seorang perempuan yang friendship-oriented sejak masih duduk di bangku taman kanak-kanak, di usia jelang 30, saya belajar untuk memberi highlight pada relasi-relasi pertemanan yang dua arah saja dan mengesampingkan (atau bahkan mengeliminasi) relasi-relasi yang tidak searah. Kembali mengingat bahwa relasi pertemanan juga membutuhkan ‘akses’ pada tiga hal yang 'paling mahal harganya jelang usia 30' tadi: energi, emosi dan waktu. Masalahnya, relasi apapun, termasuk pertemanan, membutuhkan dua prinsip penting yang sangat mendasar: equal, mutual. Apakah setiap relasi pertemanan yang saya punya sudah equal & mutual secara sehat, apalagi menyoal energi-waktu-dan-emosi? Saya banyak bertanya pada diri sendiri belakangan ini.

 

Saya mengevaluasi usia 20-an tahun saya dan menyadari saya banyak ‘menyia-nyiakan’ emosi-energi-dan-waktu untuk relasi-relasi pertemanan yang sebenarnya membuat saya terkuras habis sendirian tanpa timbal-balik yang jelas. Jadi, prioritas saya sekarang hanyalah untuk relasi persahabatan dengan mereka yang terus berelasi mutual-equal kontinu dengan saya, through highs & lows. Namun selebihnya, saya belajar untuk menetapkan batas yang tegas sekarang, demi tetap waras.

 

Untuk apa mengingat kawan yang melupakanmu? Untuk apa memperjuangkan kawan yang tidak memperjuangkanmu? Untuk apa mempertahankan kawan yang tidak mempertahankanmu? Mungkin, saya hanya sedang berusaha rasional saja: saya makin berumur dan energi-waktu-emosi saya makin terbatas. Tak mudah bagi saya yang friendship-oriented ini untuk let go beberapa relasi pertemanan yang tadinya akrab sekali—tapi ya, seperti pesan bijak dari Heraclitus: nothing endures but change, right? Pada akhirnya, kita juga bakalan mati sendiri-sendiri kok, gak bareng-bareng, hehe. Mungkin perubahan bagi beberapa relasi pertemanan ini adalah tak lain dari yang disebut friendship break-up (yang seringkali bahkan tanpa ba-bi-bu kata-kata perpisahan dan otomatis saling melupakan saja seiring waktu berjalan dan jarak memisahkan, hm).

 

Meskipun begitu, sebagai friendship-oriented-person (INFJ is a social introvert with idealism, they said), saya tentu tetap terbuka terhadap relasi-relasi pertemanan yang baru, terbuka terhadap komunitas-komunitas baru, dengan mengikuti arusnya saja, apakah akhirnya dapat berujung menemukan sahabat baru atau hanya sekedar relasi pertemanan biasa untuk social networking. Dalam hal ini, mungkin benar juga seperti yang dialami orang-orang dan dikatakan hasil penelitian: makin bertambah usia kita, semakin kecil lingkaran pertemanan (inner circle) kita. Skala prioritas, lagi-lagi.

 

Termasuk perihal relasi romantis, yang satu ini juga. Karena saya bukan orang yang afektif atau romantis, pun pernikahan tidak ada dalam bucket list cita-cita saya sejauh ini, saya merasa tidak perlu. Saya pernah mencoba terbuka ketika ada beberapa lawan jenis yang mencoba dekat beberapa tahun belakangan dan pengalaman itu menjadi evaluasi yang baik akan kebutuhan dan skala prioritas saya: perihal relasi romantis memang menghabiskan energi-waktu-dan-emosi secara signifikan dan saya merasa itu bukan kebutuhan saya. Jadi untuk apa saya menghabiskan energi, emosi, dan waktu untuk hal yang bukan kebutuhan saya? Ya, tetep nyebelin juga sih kalau ada yang kurang kerjaan jadi saya harus menghadapi single-shaming lagi, tapi kembali pada prioritas. Saya tahu apa yang saya perlu.

 

Masih banyak hal-hal yang saat ini ada dalam rencana saya untuk dikejar dan dikerjakan selama saya masih hidup, termasuk belajar lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan dengan gaya hidup minimalis dan mengurangi konsumsi, belajar mengurangi sampah (serius, saya benar-benar ingin belajar karena guilty feeling pada Ibu Bumi untuk jejak lingkungan saya). Bukan hal sepele ternyata untuk belajar bertanggung jawab terhadap lingkungan, perlu energi-emosi-waktu juga, mengingat betapa dampaknya merembet kemana-mana (termasuk sampah organik yang bisa meledak seperti bom karena mengeluarkan gas metana di timbunan sampah TPA dan sangat berbahaya pastinya bagi mereka yang underpriveleged, seperti para pemulung). Nah, ini salah satu prioritas saya di 2021 jika saya masih berumur panjang.


Photo by Marina Vitale on Unsplash

Oh, ya! Satu catatan lagi: bukan hanya mereka yang sudah menikah yang mengalami perubahan prioritas lho. Mungkin ada yang mengira hanya mereka yang sudah menikah dan beranak yang bakal jadi lebih sibuk, lebih gak punya waktu buat ‘main’ di luar rumah, atau berubah fokus—karena biasanya memang yang sudah menikah akan lebih kentara perubahannya. Padahal, prioritas yang berubah itu adalah sebuah hal yang wajar dialami semua yang sedang melangkah ke usia kepala tiga, apapun statusnya, baik lajang maupun sudah menikah sama saja. Tak heran. Seperti yang saya bilang di awal tulisan, usia 30-an tentu berbeda dengan usia 20-an. Jika usia 20-an yang masih dianggap young adult itu erat dan lekat dengan tagline 'young and free', maka usia 30-an merupakan fase dimana kita mau tak mau berhadapan dengan maturity & stability. Kedewasaan dan kemapanan. Tentu saja dua hal ini menuntut prioritas yang berubah.

 

Ruang Refleksi Saya

Beberapa cara yang sudah-dan-terus saya praktikkan untuk bisa menjaga energi-emosi-dan-waktu tetap seimbang jelang usia 30 :

 

1. Deeper and deeper in my self-knowledge & self-awareness. Mengetahui dan memastikan, serta meyakini teguh, tentang nilai-nilai personal, tentang apa saja hal-hal penting dan prioritas bagi saya dalam hidup. Ini tentu bukan proses instan yang sekali selesai. Ini kontinu, berkelanjutan dan melibatkan proses panjang seumur hidup. Namun, bukan berarti saya tidak bisa menikmati prosesnya.

 

2. Memiliki tujuan personal yang jelas. Hal ini membantu mengarahkan langkah kaki saya sendiri, pun membantu saya untuk mengarahkan energi, emosi dan waktu, kepada apa-apa yang penting—di sisi lain, mengeliminasi apa-apa yang tidak penting.

 

3. Tetap fleksibel dan tidak menutup diri pada pengalaman baru, tapi tak lupa selektif dan evaluatif—selain bijak menyesuaikan dengan skala prioritas sendiri. Dalam prosesnya, pada akhirnya saya tahu, mana yang baik dan mana yang kurang baik bagi saya.

 

4. Journaling & mind map in routine. It really helps a lot in my own personal process. Mind map membantu memperjelas pandangan saya akan apa yang penting, seperti rangkuman dari poin pertama dan kedua. Journaling melengkapinya, membantu memproses pandangan dan perspektif saya terhadap apa yang saya alami. Lagi-lagi untuk menyortir apa yang penting. Saya sudah menulis jurnal rutin setiap hari lebih dari setahunan terakhir dan cara ini benar-benar efektif menolong saya mengelola dan memanajemen energi-emosi-waktu saya dengan jauh lebih baik.

 

5. Embrace my phases of life, termasuk umur yang semakin bertambah. Jelas tidak mudah, apalagi di usia 29 ini (it’s the heaviest so far!), tapi perlu dan harus. Saya kan gak bisa mundurin umur atau memberhentikannya di usia tertentu. Tak ada pilihan lain, selain berdamai dengan perubahan usia dan fase hidup. Saya berusaha terus belajar untuk menemukan hal-hal baik dan menarik, ketimbang hal-hal yang depressing. Salah satunya termasuk menyepi di ruang refleksi dan menuliskan catatan tulisan ini. :)

 

 

Ngomong-ngomong, tulisan refleksi ini lahir setelah membaca sekalimat yang sangat mengena di timeline Instagram dari akun @iamempwr: not everyone deserves access to your energy. Tak bisa dibantah. Memang tak semua orang, tak semua hal, harus kita beri ‘akses’ pada energi-waktu-dan-emosi kita (yang terbatas itu).

 

Akhir kata—sampai bertemu tahun depan, usia 30!*


No comments:

Powered by Blogger.