Que Sera-Sera, Tentang Menjadi Netral Melihat Masa Depan
Saat ayah masih dalam kondisi
sadar-tidak-sadar di ruangan ICU pasca operasi bedah kepala di Oktober 2019,
saya ingat beberapa pesan dari beberapa teman dan kenalan baik ayah ketika
menjenguk, yang membuat perasaan keluarga kami campur-aduk. Beberapa, yang
berprofesi dokter dan berlatar belakang medis, ada yang berpesan, mungkin dalam
pengetahuannya di tengah kondisi ayah yang begitu sulit, seolah-olah ayah kami,
yang sebenarnya masih berjuang antara hidup dan mati dan masih bernafas di
ruang ICU, akan tiada. Terlalu negatif. Beberapa
lagi, yang begitu spiritualis, malah sebaliknya, berucap yang pasti-pasti. Pasti ayah kami akan bangun, akan sembuh, akan
pulih lagi seperti dulu. Terlalu positif.
Ketika adik dan mama mungkin memilih salah satu dari dua kubu positif dan
negatif ini, sesuai dengan ekspektasi di kedalaman hatinya—saya merasa terjebak
di tengah-tengah. Diam-diam, ingin protes, mengapa orang-orang ini, yang
terbagi dalam kubu positif dan negatif ini, seperti bisa membaca dan memastikan
apa yang ada di masa depan? Bukankah masa depan tiada satupun yang tahu dengan
pasti dan setiap orang hanya bisa berharap, berdoa, atau menebak-nebak?
Photo by Annie Spratt on Unsplash |
Sama seperti pengalaman penantian-penantian yang lainnya, di sepanjang hidup saya selama ini. Masuk universitas, mendapat pekerjaan di tempat yang diingini, sampai menyambut ketidakpastian di tahun baru. Berdamai dengan masa depan yang tidak pasti, memang sebuah pergulatan di dalam jiwa. Saya mulai menghindari kata pasti. Bukan berarti menjadi pesimistik, atau skeptik—tapi realistis tanpa kehilangan harapan akan hasil yang diinginkan, berfokus pada apa yang bisa saya kendalikan—daripada apa yang ada di luar kendali saya. Usaha ada dalam kendali saya, tapi hasil di masa depan kan tidak bisa diprediksi pasti. Supaya jika seandainya hal yang diharapkan tidak terjadi, saya tidak jatuh terlalu dalam, dan bisa lebih mudah bangkit lagi.
Saya mulai sadar bahwa jatuh terlalu ekstrim
di salah satu kubu bukanlah hal yang baik. Entah itu menjadi terlalu positif,
dimana kita memproyeksikan masa depan sebagai sesuatu yang selalu akan bahagia dan senang, atau berhasil baik, sehingga kita
tidak mempersiapkan diri untuk resiko dan kemungkinan buruk. Pun sebaliknya, entah
itu menjadi terlalu negatif, dimana kita memproyeksikan masa depan sebagai
sesuatu yang begitu beresiko, susah dan
sulit, sepertinya tidak akan membawa hal-hal yang menyenangkan atau
membahagiakan, sehingga kita lupa bahwa mungkin
saja hal-hal baik bisa terjadi.
Kecenderungan kita untuk jatuh di salah satu
titik ekstrim, bisa jadi tinggi sekali. Biasanya orang-orang yang telah lama di
zona nyaman akan terjebak untuk menjadi terlalu
positif, dengan dasar takut kehilangan hal-hal baik yang sudah dimiliki.
Sebaliknya, orang-orang yang telah lama di zona depresif dan sulit akan
terjebak untuk menjadi terlalu negatif,
dengan dasar pengalaman sebelumnya dan respon alamiah untuk mempertahankan diri
di tengah masa sulit.
Bukankah hal yang paling tepat dilakukan
adalah berdiri di titik tengah, mengakui masa depan sebagai sesuatu yang tidak
pasti adanya, tapi berusaha untuk tidak jatuh pada keputusasaan sekaligus
optimisme yang berlebihan? Bersikap netral. Mengakui dengan rela dan rendah
hati, bahwa kita tidak tahu, karena
masa depan bisa saja baik dan bisa saja tidak baik. Atau yang seringkali
terjadi, adalah perpaduan yang rumit dari keduanya. Jadi, bukankah kita perlu
mempersiapkan diri untuk kedua kemungkinan yang akan terjadi—baik dan buruk,
senang dan sedih, bahagia dan susah?
Saya ingin menutup tulisan ini dengan sebuah
lagu, yang belakangan, khususnya tahun ini, telah menjadi semacam soundtrack untuk lebih legowo dalam menjalani hidup. Apalagi,
ketika saya sedang mencuri-curi pandang ke masa depan, dengan kelelahan dan
kebingungan yang tercampur-aduk jadi satu.
When I was just a little girl
I asked my mother, what will I be
Will I be pretty, will I be rich?
Here's what she said to me
Que sera, sera
Whatever will be will be
The future's not ours to see
Que sera, sera
When I grew up and fell in love
I asked my sweetheart what lies ahead
Will there be rainbows day after day?
Here's what my sweetheart said
Que sera, sera
Whatever will be will be
The future's not ours to see
Que sera, sera
Now I have children of my own
They ask their mother what will I be
Will I be handsome, will I be rich
I tell them tenderly
Que sera sera, whatever will be, will be
The future is not ours to see,
Que sera sera
What will be, will be
Que sera, sera
p.s. :
Kota Depok, 11 Januari 2020. Sebuah refleksi
personal, dalam penantian yang tidak mudah untuk dilalui, karena keterkaitannya
dengan langkah-langkah selanjutnya, di masa depan nanti. Semoga pandangan ini tetap netral, sampai hasilnya tiba.
No comments: