Beberapa Film, Beberapa Tokoh, Yang Membuat Kita Merasa Mirip
Kau menemukan beberapa
bagian dari dirimu ketika berkaca pada sosok Christopher Robin di film berjudul
Christopher Robin (2018), seorang laki-laki yang terbentur realita kehidupan
usia dewasa yang keras dan lupa betapa pentingnya meluangkan waktu untuk
bersenang-senang, seperti masa kecilnya yang bahagia dulu bersama Winnie The
Pooh dan kawan-kawan. Meskipun ternyata, hanya dibutuhkan hati yang rela
berhenti sejenak untuk menyelam kembali ke dunia anak-anak yang penuh fantasi
dan mimpi, dalam jalan pikiran yang naif dan sederhana saja, untuk tetap dapat terus
berbahagia.
Photo by Jakob Owens on Unsplash |
Di kesempatan yang lain,
kau memperhatikan kemiripan yang sama antara dirimu dan Kim Ha-Joon di film
Along With Gods: Two Worlds (2017). Kalian sama-sama pernah terjebak dalam
perasaan bersalah untuk keputusan yang diambil di kondisi serba salah. Apalagi,
jika sudah menyoal tentang keluarga. Kau kepayahan menjelaskannya. Sama seperti
Kim Ha-Joon, air mata pun tak luput jadi terurai jatuh begitu saja.
Tak lupa, sosok Sun dalam
The World of Us (2016), yang kind-hearted—dalam
lika-liku relasi persahabatan seorang anak SD, yang ternyata tak kalah
runyamnya dibanding relasi-relasi sosial ketika beranjak dewasa. Kau terenyuh mengikuti kisah Sun.
Tentu saja ia bukan malaikat yang selalu baik setiap saat—ia seorang anak kecil
yang masih harus belajar banyak. Kau suka Sun tidak menolak kemanusiawiannya
yang bisa merasa tidak adil, marah, kesal, dan kecewa, setelah diperlakukan tak
baik dan dicurangi oleh sahabat dan teman satu-satunya. Ia pernah membalas, bertengkar, berkelahi, bermusuhan, meski lebih banyak mencoba mengalah. Di akhir film, ia memilih
berempati bersikap sebagaimana dirinya, yang kind-hearted itu. Kau menemui sosok dirimu yang friendship-oriented di dalam sosok Sun.
Di waktu yang lain, kau
tersenyum sendiri menyadari kemiripanmu dengan tokoh Sydney Bartlett dalam I Hate Kids (2019), yang berkata “no, thank
you” saat diberikan pilihan untuk memiliki anak. Bagaimana ia menolak untuk
ikut terlibat dalam hal-hal yang terkait anak-anak, termasuk mendengarkan
tendangan bayi di dalam perut adiknya yang sedang hamil. Kau ingat dulu kau
juga pernah menghindari perihal anak-anak. Apalagi setelah melihat betapa
riwehnya seorang ibu yang sedang hamil besar, naik-turun angkutan umum, dengan
anak balita perempuan yang masih setahun dua tahun digendong di sebelah kiri
dan anak laki-laki berusia lima enam tahun digandeng di sebelah kanan. Kau
ingat merasa sebal memikirkan kemungkinan dimana sang ayah yang absen dari
momen itu, sehingga istrinya harus berjuang sendirian dalam kerepotan semacam
itu.
Dalam Isn't It Romantic? (2019), kau terkikik sendiri memperhatikan tokoh Natalie, yang sangat realistik
dan skeptis terhadap kisah romantis, yang sering “dijual” di layar kaca dengan
prasyarat standar-standar kecantikan dengan bias-bias tertentu. Meski kau tak
tahu bagaimana rasanya menjadi korban fat-shaming
karena bertahun-tahun harus bersabar dengan skinny-shaming, tetap saja kau setuju terhadap pemikiran
realistik-skeptis Natalie. Kau suka jiwa feminisnya, meski tahu Natalie juga
kekurangan self-love—tak jauh berbeda
denganmu saat ini.
Dan kau mengingat Vivian
dalam Book Club (2018), yang sangat mengusung logika dalam memikirkan resiko
soal komitmen berelasi dan pernikahan, sampai ia memasuki usia lansia. Ia tak siap mengambil resiko, sehingga
melakukan segala perhitungan sedetail-detailnya—kau tak bisa menyangkal bahwa kau sebelas dua belas dengannya. Kau
tertawa sendiri, sambil mengikuti jalan cerita film bergenre komedi itu.
Kemiripan perspektif, jelas-jelas, adalah alasan mengapa kau tertawa dan
geleng-geleng kepala. Ternyata, sebagai seorang perempuan, kau memang serealistis
dan seindependen Vivian—tapi mungkin lupa keberanian memang dibutuhkan jika
berbicara tentang resiko relasi romantis dan komitmen yang katanya harus
dipegang seumur hidup itu. Mungkin kau, sama seperti Vivian, harus berdamai dengan kurangnya keberanian.
Penokohan dalam film-film
layar lebar memang sering membuatmu terkesima. Kemiripan yang tidak
diduga-duga, yang bisa membawamu merasakan seribu rasa. Tertawa, terkikik,
terbahak, tercenung, terpana, terdiam, tersayat, terpojok, terobati. Mungkin
itu mengapa kau tidak ingin berhenti mencari, mengobservasi, dan menikmati
durasi judul-judul yang akan terus bertambah setiap tahunnya itu.
p.s. :
Ngomong-ngomong, bagi yang senang menonton film, sudah tahu tentang Letterboxd? Ini semacam Goodreads untuk kamu yang hobi nonton film, jadi kita bisa mencari judul-judul film yang pernah kita tonton dan kita masukkan di koleksi akun kita. Bisa juga menandai film-film yang ingin ditonton dalam fitur Watchlist, memberi rating & review film, sampai berjejaring. Seru sekali. Saya juga baru saja menemukan website ini. Lumayan, saya bisa mencatat film-film yang sudah saya nikmati selama ini dan memiliki "perpustakaan film" online sendiri.
Silahkan berkunjung ya! https://letterboxd.com/yoeels/films/
Silahkan berkunjung ya! https://letterboxd.com/yoeels/films/
No comments: