Beberapa Film, Beberapa Tokoh, Yang Membuat Kita Merasa Mirip

April 03, 2019

Kau menemukan beberapa bagian dari dirimu ketika berkaca pada sosok Christopher Robin di film berjudul Christopher Robin (2018), seorang laki-laki yang terbentur realita kehidupan usia dewasa yang keras dan lupa betapa pentingnya meluangkan waktu untuk bersenang-senang, seperti masa kecilnya yang bahagia dulu bersama Winnie The Pooh dan kawan-kawan. Meskipun ternyata, hanya dibutuhkan hati yang rela berhenti sejenak untuk menyelam kembali ke dunia anak-anak yang penuh fantasi dan mimpi, dalam jalan pikiran yang naif dan sederhana saja, untuk tetap dapat terus berbahagia.

Photo by Jakob Owens on Unsplash

Di kesempatan yang lain, kau memperhatikan kemiripan yang sama antara dirimu dan Kim Ha-Joon di film Along With Gods: Two Worlds (2017). Kalian sama-sama pernah terjebak dalam perasaan bersalah untuk keputusan yang diambil di kondisi serba salah. Apalagi, jika sudah menyoal tentang keluarga. Kau kepayahan menjelaskannya. Sama seperti Kim Ha-Joon, air mata pun tak luput jadi terurai jatuh begitu saja.

Tak lupa, sosok Sun dalam The World of Us (2016), yang kind-hearted—dalam lika-liku relasi persahabatan seorang anak SD, yang ternyata tak kalah runyamnya dibanding relasi-relasi sosial ketika beranjak dewasa. Kau terenyuh mengikuti kisah Sun. Tentu saja ia bukan malaikat yang selalu baik setiap saat—ia seorang anak kecil yang masih harus belajar banyak. Kau suka Sun tidak menolak kemanusiawiannya yang bisa merasa tidak adil, marah, kesal, dan kecewa, setelah diperlakukan tak baik dan dicurangi oleh sahabat dan teman satu-satunya. Ia pernah membalas, bertengkar, berkelahi, bermusuhan, meski lebih banyak mencoba mengalah. Di akhir film, ia memilih berempati bersikap sebagaimana dirinya, yang kind-hearted itu. Kau menemui sosok dirimu yang friendship-oriented di dalam sosok Sun.

Di waktu yang lain, kau tersenyum sendiri menyadari kemiripanmu dengan tokoh Sydney Bartlett dalam I Hate Kids (2019), yang berkata “no, thank you” saat diberikan pilihan untuk memiliki anak. Bagaimana ia menolak untuk ikut terlibat dalam hal-hal yang terkait anak-anak, termasuk mendengarkan tendangan bayi di dalam perut adiknya yang sedang hamil. Kau ingat dulu kau juga pernah menghindari perihal anak-anak. Apalagi setelah melihat betapa riwehnya seorang ibu yang sedang hamil besar, naik-turun angkutan umum, dengan anak balita perempuan yang masih setahun dua tahun digendong di sebelah kiri dan anak laki-laki berusia lima enam tahun digandeng di sebelah kanan. Kau ingat merasa sebal memikirkan kemungkinan dimana sang ayah yang absen dari momen itu, sehingga istrinya harus berjuang sendirian dalam kerepotan semacam itu.

Dalam Isn't It Romantic? (2019), kau terkikik sendiri memperhatikan tokoh Natalie, yang sangat realistik dan skeptis terhadap kisah romantis, yang sering “dijual” di layar kaca dengan prasyarat standar-standar kecantikan dengan bias-bias tertentu. Meski kau tak tahu bagaimana rasanya menjadi korban fat-shaming karena bertahun-tahun harus bersabar dengan skinny-shaming, tetap saja kau setuju terhadap pemikiran realistik-skeptis Natalie. Kau suka jiwa feminisnya, meski tahu Natalie juga kekurangan self-love—tak jauh berbeda denganmu saat ini.

Dan kau mengingat Vivian dalam Book Club (2018), yang sangat mengusung logika dalam memikirkan resiko soal komitmen berelasi dan pernikahan, sampai ia memasuki usia lansia. Ia tak siap mengambil resiko, sehingga melakukan segala perhitungan sedetail-detailnya—kau tak bisa menyangkal bahwa kau sebelas dua belas dengannya. Kau tertawa sendiri, sambil mengikuti jalan cerita film bergenre komedi itu. Kemiripan perspektif, jelas-jelas, adalah alasan mengapa kau tertawa dan geleng-geleng kepala. Ternyata, sebagai seorang perempuan, kau memang serealistis dan seindependen Vivian—tapi mungkin lupa keberanian memang dibutuhkan jika berbicara tentang resiko relasi romantis dan komitmen yang katanya harus dipegang seumur hidup itu. Mungkin kau, sama seperti Vivian, harus berdamai dengan kurangnya keberanian.

Penokohan dalam film-film layar lebar memang sering membuatmu terkesima. Kemiripan yang tidak diduga-duga, yang bisa membawamu merasakan seribu rasa. Tertawa, terkikik, terbahak, tercenung, terpana, terdiam, tersayat, terpojok, terobati. Mungkin itu mengapa kau tidak ingin berhenti mencari, mengobservasi, dan menikmati durasi judul-judul yang akan terus bertambah setiap tahunnya itu.


p.s. :



Ngomong-ngomong, bagi yang senang menonton film, sudah tahu tentang Letterboxd? Ini semacam Goodreads untuk kamu yang hobi nonton film, jadi kita bisa mencari judul-judul film yang pernah kita tonton dan kita masukkan di koleksi akun kita. Bisa juga menandai film-film yang ingin ditonton dalam fitur Watchlist, memberi rating & review film, sampai berjejaring. Seru sekali. Saya juga baru saja menemukan website ini. Lumayan, saya bisa mencatat film-film yang sudah saya nikmati selama ini dan memiliki "perpustakaan film" online sendiri.

Silahkan berkunjung ya! https://letterboxd.com/yoeels/films/

No comments:

Powered by Blogger.