Memperingati Hari Penyintas Kehilangan Bunuh Diri Sedunia 2018 Dengan Film "A Star Is Born"



Banyak orang menonton film “A Star Is Born” (2018) karena film ini termasuk ke dalam salah satu film drama musikal romantis yang direkomendasikan baik. Namun, mungkin banyak dari penontonnya tidak menyadari bahwa “A Star Is Born” (2018) lebih dari sekedar film drama musikal romantis. “A Star Is Born” (2018) juga sebuah film yang menceritakan sedikit-banyak mengenai duka dan luka yang harus dihadapi oleh penyintas kehilangan bunuh diri (mereka yang kehilangan orang terdekat yang meninggal karena bunuh diri).

A Star Is Born (2008), Warner Bros. Pictures 
Saya salah seorang yang menonton “A Star Is Born” (2018) lebih karena ingin menyimak isu kehilangan bunuh diri yang diceritakan di dalamnya. Apalagi, “A Star Is Born” (2018) rilis dekat dengan Hari Penyintas Kehilangan Bunuh Diri Sedunia, yang diperingati pada 17 November 2018. Sebelumnya, saya minta maaf karena tulisan ini akan bersifat me-review sehingga mengandung spoiler mengenai film ini (kamu bisa menghentikan membaca sampai disini jika tidak ingin tahu spoilernya sebelum menonton ya).


“A Star Is Born” (2018) Juga Mengangkat Isu Kesehatan Jiwa

“A Star Is Born” (2018) bercerita tentang kisah cinta Ally (diperankan oleh Lady Gaga) dan Jackson Maine (diperankan oleh Bradley Cooper). Keduanya jatuh cinta setelah menemukan passion mereka yang sama dan sehati dalam dunia musik. Jackson Maine, yang sudah merupakan musisi terkenal, menolong Ally yang tadinya kesusahan, untuk menjajaki jenjang karirnya. Perjalanan Ally berbuah manis, ketika ia sukses meniti karirnya sendiri di dunia musik—bahkan tanpa harus berduet dengan Jackson lagi. Sampai disini, ya, musik dan kisah romantis memang menjadi tema sorotan. Namun, jika kita memperhatikan, ada detail-detail isu kesehatan jiwa yang juga diselipkan dalam cerita.

Bradley Cooper dalam A Star Is Born (2008), Warner Bros. Pictures

Dalam film “A Star Is Born” (2018), Jackson Maine mengalami masalah adiksi yang serius terhadap minuman keras. Masalah adiksi ini merupakan masalah yang berakar sejak masa kecilnya, pun atas pengaruh sang ayah. Jack besar dengan kehilangan sosok ayah dan ibu. Ibunya, yang masih berusia 17 tahun, meninggal setelah melahirkan Jack—dan ayahnya, yang berusia 63 tahun (yah, saya juga terkejut, sepertinya ada kasus kekerasan seksual dalam hal ini)—bukan merupakan sosok ayah yang baik dan bertanggung jawab. Masalah adiksi Jack mencapai puncaknya ketika ia mabuk di Acara Grammy Awards, dimana Ally mendapatkan penghargaan kategori New Best Artist, dan menyebabkan insiden yang cukup memalukan. Karena insiden tersebut, Jack akhirnya menjalani terapi di pusat rehabilitasi narkotika.

Salah satu scene yang membuat saya tertegun adalah scene ketika Jack bercerita kepada pembimbingnya di pusat rehabilitasi, tentang masalah kesehatan jiwanya. Jack ternyata sudah pernah melakukan percobaan bunuh diri sebelumnya, saat usianya masih sangat muda, 13 tahun. Namun, saat itu ia selamat. Itupun keluarganya sama sekali tidak tahu-menahu. Kisah mengenai riwayat bunuh diri ini juga mungkin tidak pernah dibicarakan Jack dengan Ally.

Detail-detail cerita yang mengangkat tentang isu kesehatan jiwa dalam film mungkin akan luput diperhatikan bagi penonton yang masih sangat awam mengenai isu ini. Meski begitu, ya, ternyata memang film ini dibalut dengan alur cerita itu juga, as mental health campaign—selain bertema tentang drama musikal dan romantisme.


Mencoba Memahami Luka & Duka
Penyintas Kehilangan Bunuh Diri Melalui “A Star Is Born” (2018)

Jujur saja, “A Star Is Born” (2018) memang tidak ditutup dengan happy ending. Pada kenyataannya, di akhir film, Ally harus kehilangan Jack yang meninggal karena bunuh diri. Mengapa Jack bunuh diri? Saya sendiri merasa kita tidak perlu menebak-nebak karena bunuh diri disebabkan oleh berbagai faktor yang sangat kompleks. Tentu, tidak bisa kita simpulkan sepihak, apalagi kita simplifikasi.

A Star Is Born (2008), Warner Bros. Pictures

Kehilangan Jack, apalagi karena bunuh diri, mematahkan hati Ally. Ally harus menghadapi luka dan duka yang sangat berat untuk dilalui. Jelas tergambar dalam film bahwa Ally sangat mencintai Jack dan mengupayakan segala yang terbaik untuk Jack—termasuk membatalkan turnya di Eropa untuk merawat Jack, jika ia tidak bisa membawa Jack ikut serta. Betapapun Ally merasa bingung (karena kejadian itu sama sekali tiba-tiba tidak terduga) dan merasa bersalah—bukan salah Ally, Jack meninggal karena bunuh diri.

Ini adalah salah satu hal yang sangat penting untuk kita ingat dan pahami. Apalagi, stigma baik kepada para penyintas bunuh diri maupun para penyintas kehilangan bunuh diri, masih sangat kental di masyarakat (khususnya, Indonesia). Kita memang tidak boleh meromantisasi bunuh diri (sebagai sesuatu yang benar untuk dilakukan), tetapi juga tidak boleh menstigmatisasi mereka yang mengalami dan bergulat dengan kecenderungan bunuh diri (bahwa itu dosa, mereka yang mengalami adalah orang yang lemah iman, dan sebagainya). Bagaimanapun, keinginan untuk bunuh diri termasuk salah satu masalah kejiwaan yang perlu dimengerti dan ditangani dengan serius—tetapi, stigma akan lebih menjatuhkan para penyintas, daripada membantu mereka.

Memang tidak digambarkan dalam film bahwa Ally mengalami stigma dari masyarakat tentang kematian Jack. Namun, seringkali, para penyintas kehilangan bunuh diri mengalami stigma yang berat, seperti disalahkan karena kematian orang terdekat karena bunuh diri, dianggap tidak bisa menjaga atau tidak bertanggung-jawab baik. Padahal, tidak ada satupun orang yang berkuasa atas nyawa orang lain. Jack bertanggung-jawab atas nyawanya sendiri, begitupula setiap kita. Orang-orang di sekelilingnya hanya bisa membantu sejangkauan tangan.


Duka dan luka para penyintas kehilangan bunuh diri memang sangat kompleks untuk dilalui. Menurut American Association of Suicidology (2014), kehilangan seseorang karena bunuh diri seringkali mengejutkan, menyakitkan, dan tidak disangka. Dalam proses berduka, penyintas kehilangan sering merasa syok, stres, bingung, depresi, menyangkal, marah, tidak percaya, sedih, kesepian, menyalahkan diri sendiri, cemas, rasa sakit, malu, merasa tidak ada harapan, tidak berdaya, dan sebagainya – emosi-emosi ini menurut saya tergambar sangat baik dalam tokoh Ally yang diperankan Lady Gaga.

Untuk akhir cerita yang dirasa sebagian penonton “menggantung” dengan sad ending dalam lagu “I’ll Never Love Again” itu (dan tidak menceritakan kemudian bagaimana Ally bisa coping dan melalui duka-luka kehilangannya), bagi saya, juga memiliki pesan yang lain. Ya, bahwa memang kita tidak bisa menyamakan proses berduka setiap orang, apalagi karena kehilangan bunuh diri. Proses berduka itu bisa jadi singkat, bisa jadi memakan waktu yang lama. Kita harus memberi ruang dan waktu kepada setiap penyintas kehilangan bunuh diri untuk berduka tanpa penilaian negatif. Dalam “A Star Is Born” (2018), Ally memang membutuhkan waktu lebih untuk melalui luka dan duka kehilangannya. And it’s totally okay.


Bagaimana Jika Kamu Tonton Langsung?

Pada akhirnya, review singkat dalam tulisan ini tentu tidak bisa menggambarkan film “A Star Is Born” (2018) sepenuhnya. Kamu harus menontonnya langsung untuk memahami alur cerita secara utuh. Namun, jika kamu adalah seorang penyintas bunuh diri atau penyintas kehilangan bunuh diri, trigger warning, saya merekomendasikan untuk tidak menonton film ini sendirian—apalagi jika kamu sedang dalam kondisi yang kurang baik. Beberapa scene bisa jadi memicu dan berdampak bagi masalah kesehatan jiwa kamu.

Dokumentasi Pribadi di CGV Depok Mall, Nov 2018

Tips lainnya adalah jika kamu termasuk melankolis atau highly-sensitive-person seperti saya, siapkan hati kamu dan siapkan tissue kamu. Ini serius, karena film ini bagi saya (dan banyak penonton lainnya) cukup menguras air mata. Meskipun bisa saja ada perbedaan interpretasi pemaknaan film untuk alasan yang mendasari mengapa kita menangis: mungkin ada yang merasa sedih karena kisah cintanya berakhir sad ending (apalagi dengan lagu “I’ll Never Love Again” dari Lady Gaga, yang dinyanyikan Ally itu), tapi mungkin juga ada yang seperti saya, yang sedih menyesali mengapa Jack tidak tertolong dan harus pergi dengan cara bunuh diri (saya selalu berduka setiap kali mendengar ada korban meninggal akibat bunuh diri).


Akhirnya, Standing Applause Untuk “A Star Is Born” (2018)!

Yass, standing applause! Saya sangat mengapresiasi sekali setiap kru dan artis yang terlibat dalam pembuatan film ini—karena sudah mengangkat salah satu isu yang masih dianggap “tabu” untuk dibicarakan, tetapi sebenarnya sangat penting untuk mulai dibicarakan, demi upaya pencegahan. Secara khusus, untuk Lady Gaga, yang memang sangat vokal dan aktif mengkampanyekan isu kesehatan mental belakangan ini (saya menonton film ini juga karena tahu Lady Gaga ikut memerankan salah satu tokohnya, ngomong-ngomong).

Lady  Gaga dalam A Star Is Born (2008), Warner Bros. Pictures

Kiranya film “A Star Is Born” (2018) bisa membantu lebih banyak orang untuk memperhatikan isu kesehatan jiwa dan pencegahan bunuh diri. Kiranya melalui film “A Star Is Born” (2018) semakin banyak yang menyadari bahwa ya, ada orang-orang yang terdampak setelah kematian karena bunuh diri (para penyintas kehilangan bunuh diri) dan mereka membutuhkan dukungan kita. Tak terkecuali, di Indonesia.



p.s. :

Jika kamu masih bergulat dengan masalah kesehatan jiwa tertentu ataupun dengan pemikiran bunuh diri, segera kunjungi tenaga profesional (psikolog/psikiater) ya. Pun jika kamu sedang dalam masa krisis dan membutuhkan bantuan, kamu bisa menghubungi teman-teman konselor sebaya dari Save Yourselves Id. Jika kamu ingin mengetahui lebih banyak mengenai isu pencegahan bunuh diri & sucidologi (ilmu kajian pencegahan bunuh diri), ikuti Into The Light Indonesia di media sosial ya! Into The Light Indonesia adalah komunitas orang muda untuk advokasi, riset, dan edukasi mengenai pencegahan bunuh diri, dimana saat ini saya sedang menjadi relawan #Lightbringers2018.

No comments:

Powered by Blogger.