Sudah Berusia 25+? Selamat Menyambut Fase Baru Kehidupan
Saya masih jelas mengingat
bagaimana saya “menyambut” pertambahan
usia di tahun lalu, ketika saya menginjak usia 26 tahun. Rasanya berat. Harus
meninggalkan angka 25 dan menerima kenyataan bahwa perlahan-lahan saya akan mendekati kepala tiga dalam usia, itu
berat. Saya belum bisa move on dari
usia 25 tahun. Karena bagi saya, usia 25+ itu berarti no more fun games anymore. The real adulthood will start
soon -- so, welcome to the real life, self. Saya,
mungkin adalah salah satu orang yang melihat masa kedewasaan, kadangkala, menakutkan.
Photo by Annie Spratt on Unsplash |
Tahun ini, usia saya bertambah
lagi. Angka 27. Anehnya, saya justru bisa lebih legowo. Meskipun saya juga masih belum ingin merayakan pertambahan
usia di tahun ini, atau bahkan diberi
ucapan “selamat”—itu mengapa saya juga menyembunyikan informasi tanggal
ulang tahun saya di media sosial—, saya merasa sudah bisa lebih lowong untuk
menyambut kenyataan memang saya sudah harus
semakin dewasa lagi. Kepala tiga di depan, Capt. Tidak bisa dihindari.
Hanya saja, tahun ini, setelah
angka 27 disemat dan hati lebih legowo, saya
sadar bahwa adulthood is real. Perubahan
fase kehidupan itupun nyata. Mata
saya lebih “terbuka” terhadap segala kondisi yang berubah (banyak). Khususnya, ketika menoleh ke kanan dan kiri,
dan mengobservasi teman-teman yang sepantaran dengan saya usianya.
Photo by rawpixel on Unsplash |
Saya tidak menyangka bahwa di usia 27 inilah, saya baru benar-benar berkenalan dengan fase-fase kehidupan yang baru. Menurut saya, ini bukan sekedar mengenai apa yang dikaitkan orang-orang, apalagi millennials, dengan quarter life crisis: kemapanan hidup dan karir, pendidikan lanjutan, pernikahan dan memiliki anak, pencapaian hidup. Lebih dari itu, ini mengenai fase kehidupan yang baru, yang tiba bersama jenjang usia yang baru. Apalagi, tahun ini, saya mulai berkenalan dengan fase yang disebut kehilangan, kepergian, dan kematian.
Saya tidak bisa mengatakan “pencerahan”
atau mungkin awareness ini mudah
untuk dihadapi dan dijalani. Jujur, saya masih cukup terkejut dan seperti orang
yang jet lag, saya merasa butuh waktu
lebih untuk beradaptasi. Baik
terhadap perubahan yang terjadi, maupun terhadap fase kehidupan baru yang telah
datang atau yang akan datang. Dalam momen inipun, saya harus mengakui saya
masih seperti seorang peneliti yang sedang mengobservasi—daripada seorang murid
yang sedang belajar untuk bersiap menjalani.
Photo by rawpixel on Unsplash |
1. Ketika teman-teman sepantaran
maupun di atas saya usianya "semakin banyak" yang menikah, terutama
ketika sahabat di inner circle terdekat saya sendiri yang (akhirnya) akan menikah.
Sebagai
salah seorang yang mungkin tidak mengingini pernikahan sebagaimana orang
kebanyakan, ternyata hal ini juga membawa perenungannya (tersendiri) bagi saya. Ini bukan tentang comparison, membandingkan diri “kenapa dia sudah dan saya belum”—karena
memang saya sendiri masih bergumul untuk keinginan untuk menikah. Namun, ini
seperti lebih menyadari bahwa memang fase
hidup sudah berubah. Jika dulu, sebelum usia 25, timeline media sosial
hanya diisi oleh update satu atau dua
teman yang menikah—kini, update pernikahan
menjadi salah satu yang lumrah, pasti ada ketika scrolling timeline.
Saya
menyadari bahwa memang di usia saat ini, angka 27, adalah usia yang sudah cukup matang untuk menikah bagi
kebanyakan orang (meskipun, tentu, saya sendiri menekankan pentingnya kesiapan
personal, lebih dari hitungan usia,
dalam pandangan mengenai pernikahan—tapi akui saja, memang di usia ini,
kebanyakan orang akan menikah. Konformitas.). Dampaknya adalah adanya perbedaan
status, antara single and free, dengan
married and responsibility. Dimana, teman-teman
yang sudah menikah pasti tidak lagi sebebas ketika masih lajang. Beberapa teman
terdekat saya harus pindah domisili setelah pernikahan (dampaknya, ya, tidak
akan bisa semudah itu lagi untuk jalan dan nongkrong). Jenis topik obrolan dan
fokus perhatian juga menjadi berbeda, ada topik yang mungkin belum bisa diselami orang-orang yang belum menikah. Rumah
tangga, sex life, atau suami?
Pastinya.
Photo by Ashton Mullins on Unsplash |
2. Lalu, ketika teman-teman baik masa
kecil yang sudah menikah, pun hamil dan memiliki anak (yang juga semakin
besar). Mm, bahkan selebgram atau artis yang tadinya kita tahu masih single.
Eh, sekian lama gak denger kabarnya, setelah buka feed Instagram, isinya foto
anak-istri atau anak-suami semua (yang udah jadi model endorse sana-sini), haha.
But yes, it’s real. Saya kadang suka berasa jet lag ketika melihat update salah satu sahabat masa remaja
sekolahan saya, yang dulu main hujan bareng, sekarang sudah gendong anak balita.
Masih amazed rasanya membayangkan
orang yang kita kenal dekat dari remaja, sekarang sudah masuk masa dewasa yang
seserius itu, bahkan sudah berumahtangga. Sudah menjadi ibu! Sudah melalui masa mengandung, sakit melahirkan, menyusui, sampai mengurus anak setiap hari. Ya ampun, time flies. Teman baik saya yang lain (yang dulu ketika remaja, cukup cuek
terhadap perihal crush atau
cinta-cintaan) juga sudah menikah bahkan mengandung dan saya makin merasa, wah fase hidup di usia ini memang sudah
berubah. Hahaha.
Photo by Andrew Neel on Unsplash |
3. Ketika menyadari bahwa di usia
ini, kita dituntut untuk mencari jalan terbaik untuk bertahan hidup dan menjadi
mapan.
Tidak
lagi seperti ketika baru lulus, dimana rasanya hidup mencari pekerjaan terasa
lebih simpel dan masih penuh dengan curiosity
dan exploration—di usia ini,
tuntutan untuk “lebih stabil dan lebih mapan” memang terasa lebih menekan. Ini
bukan sekedar karena kita melirik kawan di kiri dan di kanan, yang mungkin
karirnya sudah lebih jelas dibanding kita. Dalam perenungan saya, ini lebih
karena kita makin menyadari banyaknya tanggung jawab dan proyeksi masa depan
yang harus kita pikirkan. Membiayai keluarga dan orang tua di masa lansia,
salah satunya. Atau, mungkin bagi yang mempersiapkan pernikahan. Atau, bahkan,
sejauh berpikir masa tua kita sendiri. Di usia ini, mempertimbangkan dan
memikirkan jalan terbaik untuk bertahan hidup dan menjadi mapan, pun stabil, benar-benar tidak
terhindarkan. Saya makin menyadari di usia ini pembicaraan dengan teman-teman
mulai menyoal topik investasi, and etc.
Photo by Annie Spratt on Unsplash |
4. Yang terberat adalah menyadari
bahwa para orang tua kita memang sudah berumur dan mungkin akan masuk ke masa lansia
(dan bahkan, beberapa sudah meninggal).
Di
tahun ini, perenungan ini yang paling berat rasanya untuk ditempuh. Perenungan
ini juga yang makin menyadarkan saya bahwa fase hidup memang sudah berubah.
Jujur saja, di tahun ini, banyak sekali kabar duka yang saya dengar dari
teman-teman saya, yang kehilangan ayah atau ibunya. Belum lagi, saya dan
keluarga juga mulai menyadari bahwa ayah kamipun sudah memasuki masa lansia, yang
mungkin membuat ayah cukup tidak berdaya, ketika di akhir tahun ini penyakit stroke menerpa. Saya, benar-benar harus
berhadapan dengan kenyataan bahwa orang tua saya akan berusia 60 dan 70 dalam
beberapa tahun lagi.
Masalahnya,
memang kehilangan itu berat. Meskipun keluarga, katanya, adalah tempat paling
subur untuk love-hate relationship, tetap
saja kehilangan memiliki sisi-sisi yang berat untuk dilalui. Masa lansia juga,
baik bagi orang tua kita yang harus menerima fakta bahwa mereka tak lagi sekuat
dulu dan harus bergantung banyak pada orang lain, juga bagi kita yang harus
siap untuk menjadi tempat bersandar mereka di masa ini. Perannya sudah berganti. Jika tadinya kita diurus orang tua, maka sekarang
kita mengurus orang tua. Tuh kan, fase hidup memang sudah beralih dan berubah. Perlahan, tapi pasti.
Meskipun hal-hal di atas tentu tidak bisa diseragamkan
(karena sebagaimana kampanye yang banyak digaungkan belakangan ini, setiap
orang memiliki timeline-nya sendiri
untuk menjalani momen-momen hidup), kita tetap harus
diakui, fase kehidupan umumnya berjalan mengikuti angka dalam usia kita.
Usia 6 tahun, kita meninggalkan usia balita dan mulai masuk sekolah. Usia
belasan tahun, kita menginjak remaja, mulai mengenali masa puber. Usia awal
20-an, kita mulai berkenalan dengan masa dewasa muda. Menjelang 30-an, kita
mulai menyadari bahwa kedewasaan itu harus ditempuh: disini pernikahan,
memiliki anak, dan keluarga baru memang lumrah dan banyak terjadi. Segala
hormon dan perkembangan fisik tubuh pun memang sudah siap untuk itu. Memasuki
usia 60 ke 65-an, kita mulai berkenalan dengan masa lansia. Mulai merasa lebih
cepat lelah dan tidak sekuat sebelumnya.
Seperti yang saya sudah bilang di
awal tulisan, bagi saya kadangkala adulthood
is scary. Kadangkala, saya berpikir saya tidak siap menjadi dewasa. Tidak
siap membayangkan bahwa di usia ini, saya mungkin sudah bisa menjadi istri atau
ibu. Tidak siap membayangkan untuk membentuk keluarga baru. Tidak siap untuk
menjadi tua, apalagi lansia dan jadi tidak berdaya. Tidak siap membayangkan
segala tantangan masa dewasa yang lebih bervariasi terbentang di hadapan saya
nanti. Menjadi anak-anak atau anak muda, kelihatan lebih menarik dan nyaman.
Tidak siap juga, sebenarnya dan
sejujurnya, untuk ditinggalkan
teman-teman dan orang sekitar yang sudah mengikuti arus konformitas sesuai
tuntutan usia. Tidak siap harus mengalami kesenjangan topik obrolan dengan
teman dekat dan sahabat, karena mereka sudah menjalani fase hidup yang berbeda.
Tidak siap harus belajar legowo juga untuk
kehilangan waktu-waktu yang tidak lagi fleksibel untuk bertemu teman-teman
terdekat dan sahabat, karena pernikahan mengandung tanggung-jawab yang lebih
berat dan menuntut perhatian. Tidak siap ditinggalkan orang tua saya, jika mereka
nanti dipanggil pulang Ilahi.
Photo by Aron Visuals on Unsplash |
Namun, bagaimanapun usia harus
dijalani. Begitupula dengan masa kedewasaan dan fase kehidupan. Ketiganya sudah
memiliki alurnya, yang mengalir
alamiah, kita suka atau tidak suka.
Saya belajar berlapang dada bahwa
usia saya memang sudah 27 tahun ini dan akan menjelang kepala tiga. Saya
belajar berlapang dada bahwa di usia ini, banyak teman dan sahabat saya yang
sudah siap dan sudah memulai membentuk keluarga barunya masing-masing -- dan saya
sendiri belum siap dan mungkin belum
yakin saya memang mengingininya (ya, tak apa). Saya belajar berlapang dada
bahwa momen kehidupan saya mungkin berbeda timeline
dengan kebanyakan orang lain (termasuk soal kemapanan dan kestabilan hidup).
Saya belajar berlapang dada dengan kondisi dan apa-apa saja yang harus saya
jalani saat ini. Saya belajar berlapang dada, untuk menerima bahwa usia akan terus bertambah, peralihan fase hidup tidak bisa dihindari, dan kedewasaan harus disambut dan dipersiapkan. Tidak mungkin saya menjadi anak-anak atau anak muda selama-lamanya, kan?
Ya, saya belajar untuk berlapang
dada. Tidak membanding-bandingkan hidup. Tidak terburu-buru untuk menjalani apa
yang saya belum siap dan memilih untuk lebih menikmati proses perjalanannya. Tidak
menyesali kondisi saya pribadi, ataupun pilihan apapun yang sudah saya pilih
selama ini, tetapi lebih berfokus pada upaya memahaminya dan menggumuli rencana
Ilahi di baliknya. Tidak menyerah dan tidak mundur untuk menjalani yang harus
dijalani. Tidak mudah, tapi meski
jatuh-bangun, setidaknya saya terus mencoba.
Photo by Danica Tanjutco on Unsplash |
Sebagaimana perubahan memang tidak
nyaman untuk dihadapi, peralihan fase kehidupan juga sama. Tidak nyaman. Bisa
jadi penuh pertanyaan dan kebingungan. Wondering
what will happen next? Saya merasa situasi ini mirip ketika di usia 12
tahun, saya menyadari saya sudah mulai memasuki masa remaja, dengan perpindahan
jenjang sekolah dari SD ke SMA, pun diikuti dengan menstruasi dan lain-lainnya
di masa puber. Atau di usia 20 tahun, ketika saya menyadari bahwa saya tidak
lagi remaja dan harus mulai bersiap-siap untuk fase dewasa muda (dengan sepupu-sepupu yang lebih tua sebagai referensinya).
Namun, sebagaimana saya bisa melewati
masa-masa tidak nyaman dalam peralihan fase kehidupan di usia 12 tahun (menuju
remaja) dan 20 tahun (menuju dewasa muda) itu—saya berharap saya bisa melewati
masa-masa peralihan fase kehidupan di masa dan momen menuju real adulthood ini. Dan, selamat berjuang buat kamu juga.*
No comments: