Merayakan Keberagaman Dalam Femfest Id 2017
Feminist Festival 2017 di Jakarta |
Setelah sukses
mengadakan Women’s March 2017 di Jakarta pada 8 Maret 2017 lalu, di bulan
Agustus 2017 ini Jakarta Feminist Discussion Group (JFDG) kembali menggelar
acara lanjutan. Feminist Festival Indonesia (Femfest Id) 2017 diselenggarakan
di SMA 1 PSKD, Jakarta Pusat, pada 26-27 Agustus 2017. Jika Women’s March 2017
merupakan aksi menyuarakan isu kesetaraan dalam long march dari Sarinah menuju Istana Negara bersama-sama, Feminist
Festival 2017 di Jakarta ini menggelar kelas-kelas untuk mengedukasi dan mensosialisasi
peserta mengenai isu-isu kajian feminisme. Keberagaman, tampak jelas dalam
Femfest Id 2017 ini. Tak hanya soal identitas peserta dan panitia yang berasal
dari berbagai latar belakang sosial-budaya serta gender, namun juga mengenai
isu-isu yang diangkat. Sangat banyak, sangat beragam.
Tak menyia-nyiakan
kesempatan untuk acara-acara feminist, saya pun ikut menjadi salah satu peserta
di Feminist Festival 2017 ini. Tak mahal, uang kontribusi peserta adalah Rp
150.000 untuk peserta umum dan Rp 100.000 untuk pelajar dan mahasiswa. Setiap
peserta bisa memilih kelas yang ingin diikuti sesuai isu feminisme yang
diminati, maksimal 8 kelas dari total 20 kelas yang ada.
Jadwal Lengkap FemFest Id 2017 |
Kelas-kelasnya
sendiri sangat beragam dan sangat menarik. Saya sempat bingung, seperti ingin
mengambil semua kelas – namun ada kelas-kelas yang diselenggarakan bersamaan
jadi memang kita harus memilih 1 dari 3 dalam setiap jadwal sesi. Yang jelas,
memang ada beberapa kelas yang sangat
ingin saya ambil, terkait dengan isunya yang benar-benar menyerap perhatian
saya selama ini. Ekofeminisme, salah
satunya. Bagi saya, kelas ini merupakan best
session dari semuanya. Tiga panelis yang diundang sangat dekat dengan isu
ini. Bahkan, panitia juga mengundang Yu Sukinah, salah satu perempuan pejuang
aksi Kendeng yang menolak pabrik semen. Dua lagi tak kalah kece. Dewi
Candraningrum, yang memang memfokuskan diri dalam kajian ekofeminisme akademik
sekaligus seorang seniman yang melukis tentang-dan-bersama alam. Tiza Mafira,
yang menginisiasi petisi untuk mengurangi pemakaian kantong plastik di
Indonesia, sehingga di tahun 2016 kemarin pemerintah sempat mengadakan uji coba
3 bulan tentang kantong plastik berbayar di swalayan.
Sesi Kelas Ekofeminisme Bersama Dewi Candraningrum |
Meskipun bagi saya
kelas Ekofeminisme adalah best session, bukan berarti kelas-kelas
lainnya tidak bagus atau tidak menarik. Setiap kelas sebenarnya memiliki
keunikannya masing-masing. Dari setiap kelas, saya merasa mendapat ilmu
pengetahuan berlimpah, sudut pandang yang semakin tercerahkan, dan semangat
baru. Berikut 8 kelas dan apa hal yang sangat berkesan bagi saya dalam setiap
sesinya.
1. Pleno: Dasar-Dasar FeminismeLihat (simbol: mata) --> Analisa (simbol: hati) --> Aksi/Refleksi (simbol: tangan). Gerakan feminism berproses dalam alur ini. Kita melihat-mengalami isu ketidakadilan dan ketidaksetaraan yang terjadi, tetapi sekedar melihat-mengalami itu tidak cukup. Kita harus menganalisa apa yang terjadi, kita berpikir. Kita mencari jawaban dari pertanyaan mengapa. Tidak berhenti sampai menganalisa, kita harus berbuat sesuatu. Kita bergerak dan beraksi. Akan ada dorongan untuk berhenti dan diam. Segala sesuatu yang bisa kita lakukan sesuai kapasitas kita untuk menyuarakan perubahan dan kesetaraan. — Pencerahan dari Valentina Sagala (Institute Perempuan)
2. Panel Diskusi: Pekerja PerempuanBagaimanapun, menutup lokalisasi bukanlah solusi. Terbukti, bahwa penutupan lokalisasi tidak bisa meniadakan prostitusi, justru semakin membuatnya menyebar tak terdeteksi. Justru legalisasi itu penting. Mengapa? Karena di dunia yang manusiawi ini akan selalu ada demand, permintaan, akan pekerja seks dan prostitusi. Penutupan lokalisasi justru akan membuat masalah prostitusi tidak terawasi dan menjadi rentan bahaya baik bagi para pekerja seks, pemakai jasa, maupun masyarakat. Misalkan, untuk penanganan pencegahan isu HIV/AIDS. Pemusatan prostitusi di satu area lokalisasi membuat intervensi masalah kesehatan oleh pemerintah maupun pihak swasta menjadi lebih mudah. Pun jika lokalisasi dilegalisasi, pemerintah bisa menetapkan aturan tegas tentang prasyarat mereka yang boleh menjadi pemakai jasa (misalnya usia dan status pernikahan). — Pencerahan dari Ikka Noviyanti (Organisasi Perubahan Sosial Indonesia – OPSI)
3. Panel Diskusi: Kebijakan Publik & MarginalisasiKelompok teman-teman disabilitas di Indonesia masih mengalami diskriminasi dalam banyak hal. Apalagi, jika mereka disabled dan mereka perempuan, diskriminasi yang dialami malah bersifat ganda. Karena itu, kita butuh menciptakan lingkungan dan kebijakan yang inklusif bagi mereka, bagi semua. Teman-teman disabilitas harus ditolong mencapai kemandirian, yang bertitik tolak dari perspektif bahwa mereka disabled (fokus pada sistem dan lingkungan yang tidak inklusif dan tidak ramah bagi mereka, menekankan bahwa teman-teman disabilitas memiliki potensi untuk berkembang dan hidup mandiri), bukan bahwa mereka cacat (fokus pada kelemahan dan kekurangan, apa yang mereka tidak bisa lakukan). — Pencerahan dari Fajri Nursyamsi
4. Panel Diskusi: Kekerasan Berbasis GenderDi dalam masyarakat, ketidaksetaraan gender sebenarnya sangat terkait dengan gender superior yang berakar dari ideologi patriarkhi – dimana seperti ada tingkatan hierarkis yang menempatkan gender dalam kelas-kelas bertingkat. Laki-laki menempati kelas paling atas, perempuan di bawahnya, dan tempat terakhir diberikan kepada kelompok transgender. Gender superior ini merupakan salah satu penyebab secara langsung dan tidak langsung kekerasan berbasis gender yang akhirnya menimpa kelompok paling marginal, baik kelompok perempuan maupun kelompok transgender. — Pencerahan dari Rebecca Nyuei, Sanggar Suara
5. Pleno: Relevansi FeminsimeJangan lupa bahwa, gender equality adalah goal #5 dari SDGs (Sustainable Development Goals). Artinya, dunia juga sudah mengakui bahwa gender equality atau kesetaraan gender merupakan satu cita-cita dan satu tujuan yang penting untuk dicapai dan diusahakan. Gender equality ini juga bukan hanya soal kesetaraan antara gender biner, perempuan dan laki-laki, tetapi kesetaraan untuk semua gender yang ada. — Pencerahan dari Hannah Al Rashid, Actor & UN Ambassador Indonesia for Goal #5 SDGs
6. Panel Diskusi: EkofeminismePerspektif ekofeminisme menempatkan kita untuk melihat tanah sebagai daging kita, sungai sebagai aliran darah kita, dan gunung sebagai payudara kita – hal ini juga berarti, jejak lingkungan yang kita tinggalkan di alam sama dengan membuang sampah ke diri kita sendiri. Pengaitan pengalaman dan kebersatuan dengan alam ini perlu diresapi untuk perjuangan menjaga lingkungan alam. — Pencerahan dari Dewi Candraningrum
7. Lokakarya: Intervensi Pelecehan SeksualCandaan seksis, termasuk catcalling, dapat menimbulkan bigger impact dalam masyarakat. Sebuah candaan seksis pun dapat berkontribusi dalam kekerasan seksual yang lebih parah. Jika digambarkan sebagai sebuah piramida yang berproses : candaan seksis atau bahasa yang mengobjektivikasi di bagian paling dasar, berdampak pada sistem nilai masyarakat seperti menciptakan stereotipe bias gender tertentu yang bisa menghambat salah satu gender dalam karir atau pekerjaan, kemudian naik lagi berdampak pada ancaman pelecehan seksual verbal, kemudian naik lagi berdampak pada pemerkosaan, pelecehan seksual, siksaan fisik, emosional dan keuangan, sampai pembunuhan (tingkat paling atas, paling parah). Karena itu, kita harus speak up. Tidak boleh menggangap bercandaan seksis itu sepele atau biasa. — Pencerahan dari Angie (Hollaback! Jakarta) dan Sophia Hage (Lentera Sintas Indonesia)
8. Panel Diskusi: Kesehatan Seksual dan ReproduksiKesehatan seksual berbeda dengan kesehatan reproduksi. Jika kesehatan reproduksi hanya menyoal mengenai perihal reproduksi manusia, kesehatan seksual mencakup ranah yang lebih luas – tidak hanya soal reproduksi, tetapi juga kesehatan well-being holistik kita terkait seksualitas. Untuk perempuan normatif saja yang cisgender, sudah berusia, heteroseksual, dan belum menikah, akses layanan dan informasi seksualitas-reproduksi masih sulit. Karena, layanan dan informasi seksualitas dan reproduksi sepertinya banyak hanya ditujukan bagi para perempuan normatif yang cisgender, heteroseksual, dan sudah menikah, sehingga mengeksklusi perempuan yang tidak masuk ke dalam kelompok ini. Apalagi untuk kelompok marginal yang lain (seperti disabled, transgender)? Bagaimanapun layanan dan informasi mengenai seksualitas dan reproduksi di Indonesia yang masih sangat bias dan diskriminatif butuh perubahan. — Pencerahan dari Asti Widihastuti (Klinik Angsamerah)
Keberagaman dalam
Femfest Id 2017 juga dirayakan melalui berbagai stand dari organisasi/komunitas/NGOs yang menangangi isu perempuan
dan isu keberagaman. Di stand ini,
peserta bisa berkunjung dan bertanya mengenai kegiatan dan pergerakan mereka,
menanyakan seputar perihal keterlibatan, ataupun mendukung mereka melalui
pembelian merchandise khas yang
kebanyakan bersifat campaign tentang
isu yang diangkat. Ada stand dari Magdalene.co,
Rutgers, Migrant Care, Arus Pelangi, Lentera Sintas Indonesia, Kapal Perempuan,
Trade Union Rights Centre (TURC), HELP, Jurnal Perempuan, perEMPUan (dan
mungkin masih ada yang luput tersebut di list
ini). Saya sendiri sangat senang dengan merchandise
dari perEMPUan (goodie bag yang
berisi informasi bagaimana membantu teman yang mengalami pelecehan seksual), dari Arus Pelangi (pin pelangi yang
bertuliskan no bullying untuk ikut campaign anti-bullying bagi teman-teman LGBTQIA), dan dari Jakarta Feminist Discussion Group / JFDG (pin bergambar logo JFDG) yang sempat saya beli ini.
Merchandise dari FemFest Id 2017 |
Oh ya, Feminist
Festival 2017 Indonesia juga mengundang para kolaborator feminis (termasuk para
laki-laki pro-feminis, seperti KH Husein dan Syaldi Sahude dari Laki-Laki
Baru). Ada satu sesi kelas yang mewadahi diskusi bersama mereka, yaitu dalam
Panel Diskusi: Sekutu dan Kolaborator Feminis. Meski tidak dapat mengikuti
kelas ini (karena ada kelas Lokakarya Intervensi Pelecehan Seksual), bagi saya,
ini adalah salah satu keunikan Feminist Festival Indonesia 2017. Acara ini
memang bukan hanya acara tentang dan (eksklusif) untuk perempuan, tapi inklusif
bagi semua ;)
Selain 20 kelas
yang berlangsung dari 09.00-19:00 WIB, di malam hari ada juga sesi Poetry Night (untuk malam pertama di 26
Agustus 2017) dan sesi Musik (untuk
malam kedua di 27 Agustus 2017). Dalam Poetry
Night, banyak teman-teman yang membacakan puisi mengenai perempuan dan isu
feminisme. Sangat menarik dan sangat menyentuh, bahwa isu perempuan dan
feminisme juga dapat disuarakan melalui puisi dan kata-kata sastra.
Akhirnya, ya, saya
sangat menikmati acara Femfest Id 2017 ini. Bagi saya, acara ini adalah acara
dimana saya benar-benar bisa melihat indahnya toleransi dan penghargaan
keberagaman. Mulai dari kelas-kelas dan isu-isu yang beragam, berbagai jenis
aliran feminisme yang dibahas dan penganutnya yang dapat saling menghormati
satu sama lain, para peserta dengan gayanya masing-masing dan ekspresi
gendernya masing-masing yang tidak saling nyinyir
atau menghakimi, ide-ide dan pemikiran yang bisa saja berbeda dalam panel
diskusi tetapi tidak menimbulkan perpecahan karena masing-masing belajar untuk
saling memahami, berbagai organisasi/komunitas yang ikut berpartisipasi dan
sama-sama menyuarakan indahnya keberagaman itu sendiri.
Dan, ya, saya
bersyukur dapat ikut merayakan keberagaman itu dalam dua hari yang panjang di
Feminist Festival 2017 Indonesia ini (terima kasih untuk setiap panita yang
sudah berupaya keras mempersiapkan acara ini). Beragam
lebih indah dari seragam.
p.s. :
Untuk yang
penasaran dengan serunya diskusi, sesi-sesi kelas dalam Feminist Festival 2017
ini masih bisa diakses di halaman Facebook Feminist Fest Indonesia (masih ada
rekaman siaran langsung). Saya pribadi juga sudah merangkum catatan refleksi
saya untuk setiap sesi dalam catatan elektronik (file ms word) dan sangat senang serta terbuka untuk berbagi (boleh leave comment atau menghubungi saya via
email). Karena masa depan itu feminis, mari terus bersama menyuarakan
kesetaraan untuk semua :)
No comments: