Realita Relasi
Belakangan, saya banyak berpikir mengenai
orang-orang yang lalu-lalang di hidup saya. Ada yang lewat begitu saja, tidak
menjadi penting dan tidak dipentingkan. Ada yang sempat singgah, sebentar atau
lama, menjalin relasi yang cukup atau bahkan sangat baik—tapi kemudian pergi
atau mengkhianati. Saya tidak apa sekarang. Saya sudah belajar dari kenyataan kehidupan,
bahwa kita tidak boleh berekspektasi terlalu tinggi jika tidak mau kecewa. Apalagi,
soal relasi sosial yang tak bisa dijamin apalagi diprediksi. Manusia berubah. Tak
terkecuali kita sendiri. Perubahan-perubahan bisa mengagetkan, menggesek dan
bahkan menghancurkan. Bersyukurlah untuk yang masih terus bertahan dan
mempertahankan.
Hanya, saya harus mengakui saya pernah
sedih. Pernah kecewa. Beberapa orang pergi karena lupa setelah ada
relasi-relasi baru yang mungkin dianggap lebih baik atau lebih benefit. Mungkin
terlalu banyak menghitung untung dan rugi. Beberapa orang pergi karena waktu,
jarak, dan kesenjangan hubungan yang tak bisa menjembatani di tengahnya. Beberapa
orang pergi karena sudah bertemu kekasih hatinya, sehingga persahabatan atau
persaudaraan menjadi nomor dua, atau nomor kesekian sampai benar-benar terlupa.
Beberapa orang pergi karena egoismenya sendiri, mungkin selama ini sebenarnya tak
pernah merasa butuh relasi sosial bernama persahabatan atau persaudaraan dan
hanya bertahan karena azas pemanfaatan atau kondisi kebersamaan.
Tapi, beberapa orang mungkin pergi karena
saya yang lebih dulu pergi. Karena saya yang lebih dulu lupa. Karena waktu,
jarak, dan kesenjangan komunikasi di tengahnya itu. Atau sebenarnya, kadang
hanya beristirahat sejenak dengan menarik diri dan mengasingkan diri sebagai
seorang introvert kelas ekstrim—yang salah
dipahami.
Saya sendiri sejujurnya tak suka lebih
dahulu pergi. Dari dulu, saya hidup dengan berorientasikan relasi. Saya
menganggap berharga dan penting setiap relasi dan cerita yang lahir karenanya. Saya
positif menanggapi dan berasumsi tentang mereka yang mampir di hidup saya, saya
bersyukur untuk mereka. Saya mengingat mereka dalam ingatan yang sangat baik
dan rela berbuat sesuatu untuk mereka. Tapi ternyata, tak semua orang yang kita
anggap penting, menganggap kita juga penting. Kesadaran itu membuat saya
berhati-hati kemudian. Relasi butuh pembuktian. Tak hanya soal menyemat
sebutan.
Beberapa relasi sebenarnya pun sangat
sulit saya mengerti. Akibat terlalu rumit, saya anggap saja saya yang terlalu
banyak berpikir padahal kadang relasi hanya butuh dijalani, tanpa harus
dipikirkan setengah mati. Meski saya juga merasa tidak aman jika memikirkan apa
yang mungkin terjadi. Saya pasrahkan relasi. Relasi itu dua arah adanya, tentu
tak bisa hanya saya yang menjaga.
Kadang, saya berharap bahwa beberapa
relasi—meski tak semua relasi, harus saya akui—bisa pulih lagi. Kembali seperti
yang dulu pernah terjadi. Baik-baik saja dan tidak ada apa-apa. Banyak waktu
dan banyak cerita. Tapi saya tidak tahu bagaimana caranya menghidupkan apa yang
hampir mati. Saya mungkin tak terlalu berbakat untuk yang satu ini. Tidak
berbakat untuk inisiasi.
Saya pikir, begitulah memang realita relasi
sosial. Pilihannya hanyalah siapa meninggalkan siapa lebih dulu, sebelum
keduanya saling meninggalkan satu sama lain. Tapi semoga saya tidak terlalu egois
untuk berharap bahwa ada orang-orang yang sungguh baik dan setia, yang tidak
akan pernah meninggalkan kita dan tidak akan pernah kita tinggalkan. Semoga harapan
ini tidak terlalu muluk, dan tidak sia-sia.
Saya yakin, ada. Sudah ada dan tetap akan
ada.
No comments: