Realita Relasi

February 20, 2017

Belakangan, saya banyak berpikir mengenai orang-orang yang lalu-lalang di hidup saya. Ada yang lewat begitu saja, tidak menjadi penting dan tidak dipentingkan. Ada yang sempat singgah, sebentar atau lama, menjalin relasi yang cukup atau bahkan sangat baik—tapi kemudian pergi atau mengkhianati. Saya tidak apa sekarang. Saya sudah belajar dari kenyataan kehidupan, bahwa kita tidak boleh berekspektasi terlalu tinggi jika tidak mau kecewa. Apalagi, soal relasi sosial yang tak bisa dijamin apalagi diprediksi. Manusia berubah. Tak terkecuali kita sendiri. Perubahan-perubahan bisa mengagetkan, menggesek dan bahkan menghancurkan. Bersyukurlah untuk yang masih terus bertahan dan mempertahankan.

Hanya, saya harus mengakui saya pernah sedih. Pernah kecewa. Beberapa orang pergi karena lupa setelah ada relasi-relasi baru yang mungkin dianggap lebih baik atau lebih benefit. Mungkin terlalu banyak menghitung untung dan rugi. Beberapa orang pergi karena waktu, jarak, dan kesenjangan hubungan yang tak bisa menjembatani di tengahnya. Beberapa orang pergi karena sudah bertemu kekasih hatinya, sehingga persahabatan atau persaudaraan menjadi nomor dua, atau nomor kesekian sampai benar-benar terlupa. Beberapa orang pergi karena egoismenya sendiri, mungkin selama ini sebenarnya tak pernah merasa butuh relasi sosial bernama persahabatan atau persaudaraan dan hanya bertahan karena azas pemanfaatan atau kondisi kebersamaan.
Tapi, beberapa orang mungkin pergi karena saya yang lebih dulu pergi. Karena saya yang lebih dulu lupa. Karena waktu, jarak, dan kesenjangan komunikasi di tengahnya itu. Atau sebenarnya, kadang hanya beristirahat sejenak dengan menarik diri dan mengasingkan diri sebagai seorang introvert kelas ekstrim—yang salah dipahami.

Saya sendiri sejujurnya tak suka lebih dahulu pergi. Dari dulu, saya hidup dengan berorientasikan relasi. Saya menganggap berharga dan penting setiap relasi dan cerita yang lahir karenanya. Saya positif menanggapi dan berasumsi tentang mereka yang mampir di hidup saya, saya bersyukur untuk mereka. Saya mengingat mereka dalam ingatan yang sangat baik dan rela berbuat sesuatu untuk mereka. Tapi ternyata, tak semua orang yang kita anggap penting, menganggap kita juga penting. Kesadaran itu membuat saya berhati-hati kemudian. Relasi butuh pembuktian. Tak hanya soal menyemat sebutan.

Beberapa relasi sebenarnya pun sangat sulit saya mengerti. Akibat terlalu rumit, saya anggap saja saya yang terlalu banyak berpikir padahal kadang relasi hanya butuh dijalani, tanpa harus dipikirkan setengah mati. Meski saya juga merasa tidak aman jika memikirkan apa yang mungkin terjadi. Saya pasrahkan relasi. Relasi itu dua arah adanya, tentu tak bisa hanya saya yang menjaga.

Kadang, saya berharap bahwa beberapa relasi—meski tak semua relasi, harus saya akui—bisa pulih lagi. Kembali seperti yang dulu pernah terjadi. Baik-baik saja dan tidak ada apa-apa. Banyak waktu dan banyak cerita. Tapi saya tidak tahu bagaimana caranya menghidupkan apa yang hampir mati. Saya mungkin tak terlalu berbakat untuk yang satu ini. Tidak berbakat untuk inisiasi.

Saya pikir, begitulah memang realita relasi sosial. Pilihannya hanyalah siapa meninggalkan siapa lebih dulu, sebelum keduanya saling meninggalkan satu sama lain. Tapi semoga saya tidak terlalu egois untuk berharap bahwa ada orang-orang yang sungguh baik dan setia, yang tidak akan pernah meninggalkan kita dan tidak akan pernah kita tinggalkan. Semoga harapan ini tidak terlalu muluk, dan tidak sia-sia.



Saya yakin, ada. Sudah ada dan tetap akan ada.

No comments:

Powered by Blogger.