Antara Panggilan & Ambisi Pribadi

February 19, 2017



Some time later, God tested Abraham’s faith. “Abraham!” God called.

“Yes,” he replied. “Here I am.”

“Take your son, your only son—yes, Isaac, whom you love so much—and go to the land of Moriah. Go and sacrifice him as a burnt offering on one of the mountains, which I will show you.”

                                                                           —Genesis 22:1-3 NLT

Panggilan adalah pemberian. Kita melalui sebuah perjalanan untuk menemukan. Panggilan itu bisa lahir setelah passion yang menggebu-gebu sejak lama di dalam hati sehingga sangat disyukuri, tapi juga bisa menjadi beban bagi diri. Manusiawi. Kita kadang tidak mengingini apa yang Tuhan ingini. Sampai kita tiba di titik berpasrah diri dan belajar mengikuti, belajar mencintai.

Entah dengan senang atau dengan beban cerita panggilan itu diawali, panggilan itu akhirnya menjadi bagian dari kehidupan yang dijalani. Yang diingini. Yang dikasihi. Yang dijaga dan dilindungi. Yang dipercayai sebagai anugerah Ilahi. Yang diupayakan dan diperjuangkan. Supaya menjadi sesuatu yang berarti bagi sang pemberi. Namun hidup dengan panggilan itu, tanpa keintiman relasi dengan sang pemberi yang tetap kuat terkoneksi, kita bisa hanyut. Panggilan bisa berubah menjadi ambisi, bukan lagi sesuatu yang kita lakukan demi sang pemberi—tetapi demi diri sendiri. Semacam pembuktian eksistensi.


Photo by Samantha Sophia on Unsplash
Bagaimana jika ternyata panggilan yang sebenarnya didapati daripada-Nya itu telah menjadi ambisi pribadi? Ambisi yang telah menjadi Ishak kita yang sangat berharga—whom we love so much? Ambisi yang bahkan sulit dilepas sehingga kita perlu ditantang untuk menyembelihnya di atas mezbah, kembali pada sang pemberi?

Kadangkala, kita bahkan tidak menyadari bahwa panggilan telah menjadi ambisi. Sebaik, semulia, sesosial, serohani apapun tampaknya panggilan itu, ketika pusat pencapaian panggilan telah bergeser, dari Tuhan ke diri sendiri, panggilan sekejap dapat berubah menjadi ambisi.

Perulangan pertanyaan dibutuhkan kemudian. Apakah panggilan ternyata telah menjadi sumber kebanggaan diri? Apakah panggilan telah banyak kali mendorong kita untuk meninggikan diri sendiri, meski kadang tersembunyi? Apakah panggilan membuat kita lupa diri? Apakah panggilan tidak lagi mengingatkan kita pada siapa yang memberi? Dan yang kita kejar untuk mewujud-nyatakan panggilan itu—apakah isi hati sang pemberi atau justru kepuasan diri sendiri? Apa yang kita kejar dalam panggilan—ketaatankah, atau ketenaran?

Apakah kita siap untuk dipandang sebelah mata karena panggilan kita tak tampak brilian atau prestisius dalam pandangan manusia? Apakah kita siap disepele jika ternyata tak banyak bisa memahami apa yang kita kerjakan dalam panggilan dan memang panggilan tak berjalan semulus yang diprediksi? Apakah kita berpikir panggilan kita harus menghasilkan sesuatu yang besar yang bisa mendampaki dunia, sampai lupa bertanya rencana sang pemberi atas bagian kita? Apakah kita dapat menerima dan tidak kecewa jika panggilan kita terealisasi hanya dalam bentuk yang paling sederhana dan tak melahirkan hal yang luar biasa, tak sesuai ekpektasi sama sekali? Apakah kita dapat tidak mempermasalahkan jika panggilan kita terasa tak signifikan bahkan bagi diri sendiri? Apakah kita bisa legowo bahkan jika panggilan itu hanya perlu diketahui berdua antara kita dan sang pemberi, tanpa perlu dipublikasi kesana-sini?

Apakah panggilan membuat kita membanding-bandingkan diri? Apakah panggilan membuat kita merasa gagal dan tidak berarti hanya karena kita belum mencapai target yang kita tetapkan sendiri? Apakah panggilan akhirnya  lebih membuat kita merasa kecil daripada merasa bersyukur pada sang pemberi? Apakah kita mengukur kesuksesan panggilan lebih dengan indikator manusiawi, daripada dengan kehendak sang pemberi?

Apakah panggilan itu kita sayangi terlalu sepenuh hati, sampai kita tidak rela jika harus merebahkannya di atas mezbah dan mengembalikannya kepada sang pemberi? Lalu apa-siapa yang menjadi lebih berarti? Pemberian atau sang pemberi? Panggilan atau Tuhan sumber panggilan?

Tidak ada yang salah dengan panggilan itu. Panggilan, selama berasal dari hati Tuhan, kita percaya tentu akan baik adanya. Hanya saja, kita yang kadangkala lupa, kemudian menjadikan panggilan itu lebih berarti daripada yang seharusnya. Kita selip, kita hanyut dalam hasrat manusiawi. Mempertuhankan yang bukan tuhan. Tapi kita butuh kembali. Saat itulah, sebagaimana sang pemberi meminta pada Abraham untuk mengorbankan Ishak di atas mezbah, sang pemberi mungkin akan meminta pula hal yang sama kepada kita. Go and sacrifice it.

Seandainya panggilan telah menjadi lebih penting daripada sang pemberi. Go and sacrifice it. Seandainya panggilan telah menjadi ambisi daripada ketaatan hati. Go and sacrifice it. Seandainya, panggilan telah membuat kita lebih dekat kepada kejatuhan diri daripada Tuhan yang dipuji. Go and sacrifice it. Seandainya pun, panggilan itu tampak serohani menjadi pendeta atau biarawati, jika itu telah kehilangan fokus tujuan dan esensi karena lebih pada pencapaian diri sendiri. Go and sacrifice it.

Sebagaimana kisah Abraham, kita tahu, ujian yang diberikan sebenarnya bukan benar-benar bermaksud untuk mengambil Ishak kita, panggilan kita. Panggilan telah diberi menjadi tugas yang harus diselesaikan dan digenapi. Ujian yang terjadi dan dialami lebih menuntun kita untuk memurnikan hati. Bahwa panggilan adalah sebuah anugerah, bukan ambisi. Bahwa panggilan adalah bentuk ketaatan, bukan pencapaian pribadi. Bahwa panggilan bertujuan untuk dikembalikan demi nama sang pemberi, bukan untuk disemat di nama diri sendiri.

Kiranya setiap hati rela pergi merebahkan Ishak-nya di atas mezbah ketika Tuhan pinta, ketika ujian itu tiba. Kiranya setiap hati mengasihi sang pemberi, lebih dari apa yang diberikan sang pemberi. Kiranya panggilan setiap hati tetap murni, tanpa berubah menjadi ambisi.



p.s. :
Cikarang, Februari 2017. Sebuah perenungan panjang, dalam minggu penghujan.

No comments:

Powered by Blogger.