Antara Panggilan & Ambisi Pribadi
Some time later, God tested Abraham’s faith. “Abraham!” God called.
“Yes,” he replied. “Here I am.”
“Take your son, your only son—yes, Isaac, whom you love so
much—and go to the land of Moriah. Go and
sacrifice him as a burnt offering on one of the
mountains, which I will show you.”
—Genesis
22:1-3 NLT
Panggilan adalah pemberian. Kita melalui sebuah perjalanan untuk
menemukan. Panggilan itu bisa lahir setelah passion
yang menggebu-gebu sejak lama di dalam hati sehingga sangat disyukuri, tapi juga bisa menjadi beban
bagi diri. Manusiawi. Kita kadang tidak mengingini apa yang Tuhan ingini.
Sampai kita tiba di titik berpasrah diri dan belajar mengikuti, belajar
mencintai.
Entah dengan senang atau dengan beban cerita panggilan itu diawali,
panggilan itu akhirnya menjadi bagian dari
kehidupan yang dijalani. Yang diingini. Yang dikasihi. Yang dijaga dan
dilindungi. Yang dipercayai sebagai
anugerah Ilahi. Yang diupayakan dan diperjuangkan. Supaya menjadi sesuatu yang berarti
bagi sang pemberi. Namun hidup dengan panggilan itu, tanpa keintiman relasi dengan sang pemberi yang tetap kuat
terkoneksi, kita bisa hanyut. Panggilan bisa
berubah menjadi ambisi, bukan lagi sesuatu yang kita lakukan demi sang pemberi—tetapi
demi diri sendiri. Semacam pembuktian eksistensi.
Photo by Samantha Sophia on Unsplash |
Bagaimana jika ternyata panggilan yang sebenarnya didapati daripada-Nya
itu telah menjadi ambisi pribadi? Ambisi yang telah menjadi Ishak kita yang sangat berharga—whom we love
so much? Ambisi yang bahkan sulit dilepas sehingga kita perlu ditantang
untuk menyembelihnya di atas mezbah, kembali pada sang pemberi?
Kadangkala, kita bahkan tidak menyadari bahwa panggilan telah menjadi
ambisi. Sebaik, semulia, sesosial, serohani
apapun tampaknya panggilan itu, ketika pusat
pencapaian panggilan telah bergeser, dari Tuhan ke
diri sendiri, panggilan sekejap dapat berubah menjadi ambisi.
Perulangan pertanyaan dibutuhkan kemudian. Apakah panggilan ternyata telah menjadi sumber kebanggaan
diri? Apakah panggilan telah banyak kali mendorong kita untuk meninggikan diri
sendiri, meski kadang tersembunyi? Apakah panggilan membuat kita lupa diri?
Apakah panggilan tidak lagi mengingatkan kita pada siapa yang memberi? Dan yang kita kejar untuk mewujud-nyatakan
panggilan
itu—apakah isi hati sang
pemberi
atau justru kepuasan diri sendiri? Apa yang kita kejar dalam panggilan—ketaatankah, atau ketenaran?
Apakah kita siap untuk dipandang sebelah mata karena panggilan kita tak
tampak brilian atau prestisius dalam pandangan manusia? Apakah kita siap disepele jika
ternyata tak banyak bisa memahami apa
yang kita kerjakan dalam panggilan dan
memang panggilan tak berjalan semulus yang diprediksi? Apakah
kita berpikir panggilan kita harus menghasilkan sesuatu yang besar yang bisa
mendampaki dunia, sampai lupa bertanya rencana sang pemberi atas bagian kita? Apakah kita dapat
menerima dan tidak kecewa jika panggilan kita terealisasi hanya dalam bentuk yang paling sederhana dan tak
melahirkan hal yang luar biasa, tak sesuai
ekpektasi sama sekali? Apakah kita dapat tidak
mempermasalahkan jika panggilan kita terasa tak signifikan bahkan bagi diri
sendiri?
Apakah kita bisa legowo bahkan jika panggilan itu
hanya perlu diketahui berdua antara kita dan sang pemberi, tanpa perlu dipublikasi
kesana-sini?
Apakah panggilan membuat kita membanding-bandingkan diri? Apakah panggilan membuat kita merasa gagal dan tidak
berarti hanya karena kita belum mencapai target yang kita tetapkan sendiri? Apakah
panggilan akhirnya lebih membuat kita merasa
kecil daripada merasa bersyukur pada sang
pemberi? Apakah kita mengukur kesuksesan panggilan lebih
dengan indikator manusiawi, daripada dengan kehendak sang pemberi?
Apakah panggilan itu kita sayangi terlalu sepenuh hati, sampai kita
tidak rela jika harus merebahkannya di atas mezbah dan mengembalikannya kepada sang pemberi? Lalu apa-siapa yang menjadi lebih berarti? Pemberian
atau sang pemberi? Panggilan atau Tuhan sumber
panggilan?
Tidak ada yang salah
dengan panggilan itu. Panggilan, selama berasal dari hati Tuhan, kita percaya tentu akan baik adanya. Hanya saja,
kita yang kadangkala lupa, kemudian menjadikan panggilan itu lebih berarti
daripada yang seharusnya. Kita selip, kita hanyut
dalam hasrat manusiawi. Mempertuhankan yang bukan tuhan. Tapi kita butuh
kembali. Saat itulah, sebagaimana sang pemberi meminta pada Abraham untuk
mengorbankan Ishak di atas mezbah, sang pemberi mungkin akan meminta pula hal
yang sama kepada kita. Go and sacrifice
it.
Seandainya panggilan telah menjadi lebih penting daripada sang pemberi. Go and
sacrifice it. Seandainya panggilan telah menjadi ambisi daripada ketaatan
hati. Go and sacrifice it. Seandainya,
panggilan telah membuat kita lebih dekat kepada kejatuhan diri daripada Tuhan
yang dipuji. Go and sacrifice it. Seandainya
pun, panggilan itu tampak serohani menjadi
pendeta atau biarawati, jika itu telah kehilangan fokus tujuan dan esensi
karena lebih pada pencapaian diri sendiri. Go
and sacrifice it.
Sebagaimana kisah
Abraham, kita tahu, ujian yang diberikan sebenarnya bukan benar-benar bermaksud untuk mengambil Ishak
kita, panggilan kita. Panggilan telah diberi menjadi tugas yang harus diselesaikan dan digenapi. Ujian yang
terjadi dan dialami lebih menuntun
kita untuk memurnikan hati. Bahwa panggilan
adalah sebuah anugerah, bukan ambisi. Bahwa panggilan adalah bentuk ketaatan,
bukan pencapaian pribadi. Bahwa panggilan bertujuan untuk dikembalikan demi nama sang pemberi, bukan untuk disemat di nama diri sendiri.
Kiranya setiap hati rela pergi
merebahkan Ishak-nya di atas mezbah ketika Tuhan
pinta, ketika ujian itu tiba. Kiranya setiap hati mengasihi sang pemberi, lebih dari apa yang diberikan sang pemberi. Kiranya panggilan
setiap hati tetap murni, tanpa berubah menjadi ambisi.
p.s. :
Cikarang, Februari 2017. Sebuah perenungan panjang, dalam minggu
penghujan.
No comments: