Princess Merida dari Disney, Tuan Putri Tanpa Pangeran

Apakah kamu tahu bahwa ada 11 orang tuan putri dalam list Princess Disney—dan hanya satu tuan putri yang kisahnya tidak fokus menyoal soal cinta atau pangeran atau pernikahan atau happily ever after. She is the anti-mainstream, anti-conformism one.

Hal ini saya sebut sebagai angin segar dalam dunia cerita dongeng Disney. Setelah anak-anak dimabukkan dengan cerita cinta dari usia masih belia, tentang pangeran berkuda yang tampan dan baik hati—yang tentu tidak menggambarkan tepat sosok laki-laki yang exist dalam dunia mereka kemudian—Disney melahirkan tokoh baru. Perempuan yang sadar, bahwa kehidupannya tidak hanya soal pangeran tampan atau pernikahan. Apalagi, di usia yang masih belasan.

Sebutlah tokoh itu Princess Merida. Tokoh yang sangat kontroversial dibanding semua tuan putri Disney. Dengan rambut keriting panjang yang digerai kadang terlihat berantakan tak ditata, dengan panah di tangan dan hobi berkuda serta menjelajah berpetualang mendaki gunung—meski tentu, masih dengan dress seperti tuan putri lainnya. Hanya saja, Merida tidak digambarkan secantik atau se-feminine tuan-tuan putri Disney lainnya. Ia berbeda. Agenda yang dibawa alur kisahnya juga berbeda. Feminisme kuat berakar disana.
 

Princess Merida dalam Brave (2012)

Bukannya tidak ada pangeran dalam cerita Brave (2012). Tapi, pangeran dalam cerita ini digambarkan lebih realistik. Nyatanya memang, Merida akan dijodohkan orang tuanya dengan salah satu pangeran dari negeri tetangga demi menjaga kedamaian—sejenis pernikahan politik. Hanya saja, jangan bayangkan tiga pangeran itu sebagai laki-laki yang tampan berkuda putih dengan senyum dewasa dan karakter baik, seperti pangeran-pangeran lainnya dalam cerita Disney. Tiga pangeran itu lebih dilukiskan apa adanya.

Perjodohan itu berakhir dengan pembangkangan Merida, dari ibunya. Pertentangan antara Merida dan ibunya lebih kental mengairi seluruh alur cerita, karena itulah agendanya. Ibu Merida, sosok perempuan dengan pandangan kolot yang terikat sistem dan kebiasaan tradisional. Merida adalah kebalikannya, ia sosok perempuan yang baru, yang tangguh dan berani, yang mencoba membawa perubahan berarti. Anti-mainstream, anti-conformism. Inilah feminisme.

Menarik menyadari bahwa, Merida menguji ketiga pangeran dengan kemampuannya untuk memanah—yang tak satupun bisa melakukan sebaik Merida. Ini bukan soal merendahkan kaum laki-laki, tapi bagi saya sendiri, scene ini menggambarkan bahwa Merida pun, sebagai gambaran tokoh feminist, tidak ingin (pendamping) laki-laki lebih rendah dalam perihal keahlian daripadanya. Ingat, feminisme adalah soal kesetaraan posisi antara perempuan dan laki-laki, bukan posisi perempuan yang di atas laki-laki.


Tiga Pangeran (Beserta Ayah Mereka) Dalam Brave (2012)

Merida, memutuskan untuk tidak mau menikah. Ia menikmati hidupnya tanpa sosok pangeran. Ia bebas, ia bisa berkelana kemana saja. Lagipula, ia memang terlalu muda untuk pernikahan. Sebuah ending yang sangat berbeda dari kesemua kisah tuan putri Disney. Sebut dari Princess pertama, Snow White sampai Cinderella. Belum lagi Jasmine, Ariel, dan Aurora. Rapunzel, Tiana, Belle, dan Pocahontas. Bahkan, Mulan—salah satu tuan putri Disney asal China, yang berani menyamar sebagai prajurit laki-laki untuk turun perang menggantikan ayahnya demi membela negara, berakhir dalam pernikahannya dengan Captain Li Shang. (p.s. : meski begitu, bukan berarti saya membenci Mulan—sejujurnya Mulan adalah sosok kedua dari Disney Princess yang menarik perhatian, karena membahas gender roles dan memiliki semangat awal feminisme).

Tuan putri tidak harus selalu dengan pangeran berkuda putih, girls. Ketiadaan pangeran tidak berarti bahwa kehidupan tuan putri tidak lengkap. Apalagi di usia yang masih sangat belia, belasan tahun. Mengapa tidak berpikir tentang mimpi, cita-cita, dan tujuan hidup—yes, destiny!—apa harus mengganti kesemuanya dengan bayang-bayang pangeran tampan? Hidup terlalu sia-sia untuk itu. Bisa kita set ulang? Tujuan, panggilan dulu, baru pangeran (yang mungkin tidak tampan)? Be realistic. No artificial.

Disney First Polynessian Princess, Moana (2016), yang baru rilis tahun lalu juga menarik perhatian saya terkait agenda feminisme. Meski ia belum resmi masuk ke dalam list tuan putri Disney yang sekarang ini masih sebelas orang (yes, but sorry, tokoh-tokoh tuan putri dari Frozen juga tidak masuk ke dalamnya), Moana membawa angin segar yang lain. Sebutlah karena topik isu lingkungan menjadi inti perjuangan Moana, dalam balutan budaya Polynessia di Oceania, bagi saya itu memukau. Ekofeminisme! Juga, karena sama sekali tidak ada pangeran, entah itu tampan dan berkuda putih atau itu realistik seperti tiga pangeran yang akan dijodohkan dengan Princess Merida. Sama sekali tidak ada.

 

Moana dalam Moana (2016)

Bagi saya, Moana sukses mensimbolisasi perjuangan kaum feminist saat ini—bukan hanya fokus pada perempuan tetapi juga pemulihan kaum laki-laki. Kita bisa menyimak alur ceritanya: dunia di ambang kehancuran karena te fiti atau mother earth, kehilangan hatinya yang dicuri oleh Maui, tokoh demigod yang sudah hidup ribuan tahun, seorang laki-laki dewasa yang gagah perkasa tetapi juga memiliki banyak kekurangan (p.s. : he is not the Prince, ok? If he is the Prince, he must be pedophile). Moana, yang adalah anak dari kepala suku di desanya, kemudian membantu Maui untuk mengembalikan hati te fiti dan menyelamatkan dunia dari kehancuran. Yang dimulai dengan mengembalikan kepercayaan diri Maui yang merasa telah gagal dan bersalah karena mencuri hati te fiti. Tokoh Moana menggambarkan tepat bagaimana perempuan kemudian berjuang menolong laki-laki untuk pulih dan memulihkan yang rusak—bukan karena Moana atau perempuan lebih kuat—baik Moana maupun Maui, atau dalam arti perempuan dan laki-laki, memiliki kelebihan dan kekuatannya sendiri yang bisa harmonis saling menolong dan melengkapi demi dunia yang lebih baik. Very nice!

Moana juga digambarkan sangat melekat dengan budaya Pollynesian. Tidak ada kulit putih, seperti yang katanya adalah standar kecantikan saat ini (tentu, standar itu sebuah manipulasi). Ia juga memiliki rambut ikal-keriting, mirip Merida tetapi sepertinya lebih rapi. Tidak ada gaun atau dress modern, Moana tetap terkesan cantik dengan pakaian perempuan ala desanya di Oceania.

Memang, banyak media internasional membahas bahwa Disney sedang mengganti orientasi cerita tuan putrinya. Setelah banyak kritik tentang tuan-tuan putri sebelumnya, yang tak terlalu baik untuk anak-anak yang sepertinya hanya dijejali dengan kisah percintaan happily ever after dan kurang realistik—banyak yang berpendapat bahwa tokoh-tokoh cerita baru Disney saat ini lebih realistis dan lebih feminist. That’s kind of good, isn’t it? ;)


Saya sungguh berharap bahwa angin segar ini tidak segera berlalu, bahwa Disney akan terus dalam semangat merevolusi cerita tuan putri-nya dalam versi yang lebih realistik. Yang meski tanpa pangeran, tidak berarti tuan putri tidak punya kehidupan lain. Kiranya film-film Disney Princess bahkan bisa melahirkan generasi anak perempuan selanjutnya yang tidak takut, yang berani untuk hidup tanpa pangeran (bukannya terseret arus konformitas romantika pernikahan tanpa tujuan). Generasi anak perempuan yang tidak (hanya) fokus menanti-mendapatkan pangeran lalu lupa ia harus hidup dengan tujuan (yang tentu bukan itu). Saya berharap generasi anak perempuan selanjutnya tidak menjadi putri-putri yang lupa mimpi dan cita-cita, hanya karena masalah cinta. Saya tak ingin berhenti berharap bahwa Disney akan terus memunculkan tokoh-tokoh feminist protagonist, yang membawa paradigma baru bagi anak-anak perempuan—yang memperjuangkan kesetaraan dan keharmonisan antara perempuan dan laki-lakibukan generasi yang memberi diri didominasi dan dikuasai atau sebaliknya, bukan juga mendominasi dan menguasai. Salam kesetaraan!

No comments:

Powered by Blogger.