Tentang Belajar (Mencintai) Sejarah
Bertahun-tahun kemudian, setelah saya berhenti mendapat
pelajaran sejarah seperti bangku sekolah, meski muatan yang beberapa mirip,
banyak saya dapat di mata kuliah sosial-politik bangku kuliah—saya menemukan
sejarah kembali dalam lembar halaman-halaman novel historical fiction. Rasanya
seperti nostalgia. Meski itu kadangkala bukan tentang bagian sejarah yang saya
suka, seperti soal penjajahan Belanda. Tapi ternyata, sejarah yang dikemas
dalam lembaran novel lebih memukau dan lebih cantik daripada yang tidur panjang
dalam buku-buku pelajaran sejarah di sekolah—dan baru bangun ketika kita baca.
Saya terkesima, dan jatuh cinta lagi pada sejarah. Itu ketika selera baca saya
ikut berubah: dari cerita ringan menghibur menjadi cerita berlatar-belakang konteks
sejarah. Jangan lupa, dibumbui sosial-budaya. Semuanya berdasar realita, meski
mungkin tidak semua, tidak dengan seluruh cerita tokohnya. Tiga serangkai
kembar yang mengubah novel fiksi menjadi lebih berarti, bagi saya sendiri.
Nyatanya, kiblat jenis bacaan saya memang berubah drastis
sejak zaman masih remaja. Saya tak lagi suka cerita sekedar drama cinta. Ya,
mungkin dengan konteks zaman modern saat ini yang diselip ada dan tiada di
lembarannya sudah terlalu membosankan bagi saya. Meski saya tak boleh
menyangkal, saya masih menonton drama-drama dari Korea. Tapi untuk novel dan
cerita fiksi, saya sudah lama tak lagi betah. Kisah romance dengan latar
belakang konteks sejarah lebih menarik minat saya: semuanya tidak hanya tentang
sepasang kekasih itu, tetapi juga tentang dunia di sekitarnya—yang bisa jadi
sedang kacau-balau dan carut-marut. Atau jika kisah cinta terlalu klise, kita
bisa ganti dengan kisah keluarga. Konflik sosial. Politik. Sampai agama. Yang
tak hanya dikarang-karang belaka. Pertanggung-jawaban tetap ada disana, merujuk
sejarah.
Belakangan saya membaca banyak soal Eka Kurniawan. Ia
sastrawan cerdas dan berani, menurut saya. Sudah memiliki tiga novelnya, saya
sudah membaca dua. Dua-duanya memukau saya. Cantik Itu Luka, merupakan novel dengan ratus halaman yang menagih untuk dibaca
habis, berkisah tentang seorang perempuan Indo-Belanda yang di masa peralihan
kekuasan dari penjajahan Belanda-Jepang-Sekutu (ingat, bahwa Indonesia baru
diakui kemerdekaannya oleh
Belanda di 1949 dan bukan 1945 sehingga empat tahun itu merupakan masa agresi militer, meski kemudian akhirnya masalah pengakuan kemerdekaan ini telah dikoreksi Belanda pada 2005), terpaksa jadi pelacur setelah menjadi tawanan
perang. Kisahnya sebagai pekerja seks itu dimulai ketika kuasa Belanda di
Indonesia dilucuti Jepang dan diganti. Kisah itu tak berhenti bahkan kemudian
sampai ia berusia cukup tua. Dari pekerjaan itu, ia melahirkan tiga anak, yang
kesemuanya cantik. Percampuran keturunan Indo-Belanda dengan Jepang yang
mengalir dalam darah dan gen-sel mereka, menciptakan itu semua. Sampai tiba
suatu ketika, Dewi Ayu, namanya, hamil kembali dan berharap ia akan melahirkan
seorang bayi buruk rupa yang bagaimanapun akan diberikannya nama si Cantik. Karena
saya tidak mau spoiler, lebih ingin
siapapun yang tertarik membaca untuk membeli, saya tidak akan menceritakan
lebih. Tapi kisah-kisah di dalamnya, sungguh panjang dan beragam. Seperti
memuat berapa puluh tahun dalam satu benang merah yang pintar sekali. Novel Lelaki Harimau-nya tak kalah menarik. Meski
menjadi yang cukup tipis di antara novel-novelnya, kisahnya tetap seru untuk
disimak. Tentang seorang bocah bernama Margio yang terperosok dalam tragedi
pembunuhan paling brutal. Masalahnya, ketika ditanya, Margio mengaku bukan
dialah pelakunya. Ia lanjut berkata, “Ada harimau di dalam tubuhku.” Flashback yang mencoba membongkar motif
dan alasan mengapa dan apa yang tengah terjadi sebenarnya adalah yang
diceritakan sepanjang novel ini. Bukan oleh polisi tentunya, tapi oleh penullis
sendiri. Pintar sekali. Kedua novel inipun sudah diterjemahkan ke dalam begitu
banyak bahasa di Asia dan Eropa. Tanda bahwa apa yang diciptakan Eka Kurniawan memang
sesuatu yang berarti untuk dibeli dan dibaca.
Saya juga menyenangi novel-novel dengan semangat
feminisme. Ada beberapa yang sudah saya temu dan saya baca. Yang paling
berkesan bagi saya adalah Tarian Bumi dari Oka Rusmini. Novel ini
berlatar-belakang budaya Hindu-Bali. Dengan segala kasta. Dan penari-penari. Saya
tak lupa akan novel Okky Madasari. Entrok, salah satunya. Dengan front cover
yang sudah anti-mainstream bergambar bra yang dipakai seorang perempuan tampak
belakang, novel ini memang bercerita banyak tentang perempuan dengan latar
belakang konteks sejarah. Kali ini, tentang politik di Indonesia zaman Orde
Baru dan Orde Lama.
Meski saya juga banyak membeli dan membaca novel
terjemahan dari Barat, kebanyakan berkisah mengenai sosial dan banyak menyoal anak,
sebenarnya saya lebih suka membaca karya bangsa sendiri. Perbedaan bahasa
menjadi salah satu faktor pasti. Bahasa sastra, itu kelebihan lain yang nyata
dari novel-novel historical fiction negeri ini.
Saya tidak tahu berapa penikmat novel seperti yang saya
sebut di sepanjang tulisan ini—apakah lebih banyak atau cenderung lebih sedikit
dibanding yang melumat novel roman biasa? Nyatanya, memang tak semua orang suka
kemasan seberat sejarah atau politik. Jika mereka membaca novel untuk hiburan
maka mereka akan memilih yang bukan ini, sepertinya.
Terakhir, terlanjur bicara soal sejarah, saya ingin
menutup tulisan ini dengan satu ide—yang mungkin sudah pernah digagas yang lain
sebelum saya, tapi anggap saja ini sebagai sebuah penekanan dan pengulangan
berharap melahirkan inovasi. Saya ingat betapa jemunya belajar sejarah hanya
dari buku-buku pelajaran di sekolah. Sejarah yang sangat lampau, tak terjamah,
apalagi. Rasanya ada rentang waktu yang tak dimengerti membatasi. Generasi muda
butuh jembatan untuk sampai tepat pada sejarah. Jembatan itu perlu dibangun
secara kreatif, tak hanya melalui jam-jam belajar menjemukan di kelas. Kita
perlu keluar, menelusuri jejak sejarah. Langsung menatap peninggalannya, dengan
penjelasan komprehensif kreatif holistik agar tidak kehilangan esensinya.
Mengunjungi museum, atau mempraktikkannya dalam drama di atas panggung, atau
menonton film, atau memakai segala media yang perlu dan yang bisa agar sejarah
bisa dinikmati lebih lagi. Atau bahkan, mencoba berkenalan dengannya melalui
novel-novel historical fiction. Apa sajalah. Yang penting pelajaran sejarah
tidak dikemas sedatar itu. Agar sejarah tak terlupa atau dilupa, generasi muda
perlu tahu. Ya, mereka perlu tahu, sebanyak itu.
No comments: