A Crown
“My crown is called content,
a crown that seldom kings enjoy.”
(William Shakespeare)
Bertemu dengan
teman-teman baik yang kau kenal sejak kuliah sama artinya dengan larut dalam
berjam-jam obrolan tentang ini dan itu. Kami pindah dari Papua sampai Eropa,
lalu singgah di Nias. Berbagi cerita, berbagi apa yang katanya menjadi harta
karun masa sebelum hari ini: pengalaman. Kami membahas politik sampai agama.
Gereja tak luput jua. Kami takjub akan apa yang telah terjadi, sambil tak kuasa
menanti apa yang akan terjadi. Rencana-rencana terpapar di atas meja: dari
pernikahan sampai studi lanjut ke luar negeri, dari keinginan pindah kantor
sampai pindah domisili. Tentu, toleransi masih berdiri di tengah-tengah kami. Saling
menghargai adalah kunci dari pertemanan itu sendiri. Lalu obrolan kian kembali
lagi kepada power relation yang
sepertinya terus menjadi sumber banyak masalah di bumi ini, juga segala
kenang-kenangan kelas zaman kuliah yang masih tersisa di dalam kepala kami.
Kami menyebut satu sama lain teman baik, dan kami berharap baik waktu maupun
jarak atau mungkin usia, yang berubah-ubah, tak akan pernah mengubah cara kami
mengingat dan menyebut satu sama lain.
Setelah itu saya tiba
di sudut refleksi hari itu. Bahwa contentment
adalah sebuah baju sederhana yang dapat dipakai dengan nyaman, jika kau
memang betul mengingininya. Kau tidak akan sibuk berpikir tentang baju milik
orang lain, kau puas mensyukuri bajumu sendiri—sekaligus ikut bahagia dengan
baju yang sedang dikenakan orang lain. Contentment
bisa kita bahasakan sesederhana itu, karena kesederhanaan—seperti menurut saya dan timoti—jauh
lebih baik dan menarik dibandingkan kemewahan yang kehilangan esensi.
Cikarang, 12 Oktober 2016
Mengingat pertemuan empat
jam di Kota Jakarta, 8 Oktober 2016
No comments: