Refleksi: Sebuah Cerita Tentang Bejana Tanah Liat
Dalam bejana-bejana tanah
liat itu, sebuah panggilan bertunas. Sang Penanam tidak menanamnya di dalam
sebuah bejana yang terlalu indah, atau terlalu sempurna—Ia memilih bejana tanah
liat, yang bisa pecah dan yang rentan. Yang bisa tergores atau terluka. Tentu dengan
sebuah maksud istimewa.
Dalam bejana-bejana tanah
liat itu, sebuah pesan terkandung seperti harta. Sang Pemilik Pesan tak memilih
bejana seperti sepatu kaca yang tampak begitu cemerlang, atau bejana penuh
berlian berkilauan—Ia memilih bejana tanah liat, yang terlihat apa adanya. Lugu
dan polos. Biasa saja. Yang tanpa pesan itu, tak menimbulkan kesan apa-apa.
Tapi justru dengan pesan itu sebagai harta, menjadi sangat berharga.
Dalam bejana-bejana tanah
liat itu, kasih dituangkan seperti air tercurah. Sang Penuang tak memilih bejana
yang terlalu besar—Ia memilih bejana yang kecil sengaja agar kasih itu
bisa tumpah, meluap mengairi sekitarnya. Bukan bejana besar yang menampung kasih
itu sendiri di dalam diri. Bukan bejana besar yang tak ingin berbagi.
Sang Penanam, Pemilik
Pesan, dan Penuang itu memilih dan membentuk bejana-bejana tanah liat, juga seperti
seorang Penjunan yang ahli. Setiap bejana tanah liat diciptakan dengan telapak tangan-Nya
sendiri. Bejana tanah liat yang diukir menjadi indah dengan cara-Nya. Bejana
tanah liat yang disempurnakan seturut kehendak-Nya. Dan jika bejana itu rusak?
Ia mengulang mengerjakannya agar bejana itu siap kembali. Untuk menunaskan
sebuah panggilan, untuk mengandung sebuah pesan, untuk menampung dan
mengalirkan kasih yang tumpah. Sang Penjunan memastikan: Tak ada bejana yang
tak bisa diperbaiki. Tak ada bejana yang dibiarkan rusak selamanya. Tak ada
yang bejana yang tak menuntaskan tugasnya.
Bejana-bejana tanah liat
dipilih untuk sebuah maksud istimewa. Untuk membuktikan kekuatan yang lebih besar
dari kekuatan manusia. Untuk menumbuhkan rasa percaya. Untuk menghindari
keangkuhan. Untuk menjadi sebuah media dan sarana, dari sebuah rencana. Agar
pesan yang lebih indah dari bejana, bisa dilihat, didengar, dan dipahami,
dengan fokus yang tidak salah tujuannya.
p.s. :
But we have this treasure in jars of clay to show that
this all-surpassing power is from God and not from us. Yes, if you only look at us, you might
well miss the brightness. We carry this precious Message around in the unadorned
clay pots of our ordinary lives. That’s to prevent anyone from confusing God’s
incomparable power with us. (Reference: 2 Corinthians 4:7 NIV & MSG, penekanan
ditambahkan).
(Sebuah Pelajaran Setelah Kebingungan:
Pulau Nias, Sumatera Utara, 3 September 2016)
Pulau Nias, Sumatera Utara, 3 September 2016)
No comments: