Refleksi: Ketika Kasih Berarti Lebih
“You’re familiar with the old written law, ‘Love your friend,’
and its unwritten companion, ‘Hate your enemy.’ I’m challenging that. I’m
telling you to love your enemies. Let them bring out the best in you, not the
worst. When someone gives you a hard time, respond with the energies of prayer,
for then you are working out of your true selves, your God-created selves.
This is what God does. He gives His best—the sun to warm and the
rain to nourish—to everyone, regardless: the good and bad, the nice and nasty.”
—Matthew
5:43-47 MSG
Bagaimana
kalau saya menulis dan berbagi mengenai kasih disini? Membaca ayat ini membuat
saya harus mengakui: mengasihi, bagi saya saat ini, adalah hukum terutama yang
paling sulit dilakukan dalam praktik iman kekristenan. Mengasihi yang membenci.
Mengasihi tanpa mengenal lelah. Mengasihi tanpa syarat. Mengasihi dengan iman
tanpa melihat yang terjadi. Mengasihi tanpa alasan lain selain ketulusan dan
kesejatian. Mengasihi yang lain lebih dari diri sendiri. Mengasihi sampai terluka.
Mengasihi sampai mati. Mengasihi seperti
Yesus. Berat sekali.
Tentu,
kebanyakan kita ingin take and give. Mengasihi
jika kita dikasihi. Mengasihi jika mereka layak dikasihi. Mengasihi jika tidak menyalibkan diri sendiri.
Mengasihi jika tidak menguras harga
diri. Mengasihi jika keadaannya baik
terkendali. Mengasihi jika kasih itu
seperti apa yang kita ingini. Mengasihi jika
ada banyak alasan rasional yang melatarbelakangi. Mengasihi jika ada imbalan kasih akan didapati.
Mengasihi jika kasih terjadi sesuai
dengan apa yang ada dalam imajinasi—seperti
kisah cerita novel atau drama, yang ditulis oleh manusia tapi sering
dikonsumsi.
Sayangnya,
mengasihi sebenarnya tidak pernah
mengenai kita. Kasih yang sejati menempatkan Dia di nomor pertama-terutama,
dan sesama setelahnya. Diri yang sebenarnya cenderung kita kasihi lebih dari
keduanya, justru di urutan terakhir harus berada.
Bagi saya,
kasih selalu menantang agar pusat diri berpindah. Dari kita ke sesama. Dari
kita ke Tuhan yang dipuja. Disitulah kesulitannya. Karena terlalu sering kita
tidak rela berpindah. Kita melihat sesama, lalu menjadi ragu. Kenapa kita harus
memberi ketika kita tidak diberi? Kenapa kita harus berpindah ketika kita bisa
tidak berpindah? Tapi apakah kasih mengenal relasi untung dan rugi?
Ketika
itulah, kasih menjadi sebuah pilihan yang harus mantap ditentukan. Bukan hanya
tentang siapa yang bisa kita kasihi dengan mata dan hati, tetapi juga tentang
Dia yang tak kasat mata yang harus kita kasihi lebih dari siapa yang bisa kita
kasihi di bumi, termasuk diri sendiri. Yang sudah lebih dulu mengasihi kita
sebelum kita mengenal apa itu kasih yang sejati. Yang sudah lebih dulu
mengasihi kita sehebat itu sampai mengorbankan tahta dan harga diri.
Kasih memang
bukan perihal hitung sana dan sini. Kasih bukan sekedar tentang balas budi.
Kasih juga bukan perintah soal kerjakan dan jangan kerjakan itu dan ini. Tapi
mengenai kemauan hati: sebuah kerelaan yang mengalir karena anugerah tanpa
alasan. Terlalu rumit untuk dijelaskan, hanya dapat sungguh-sungguh dijalani
dan dialami dalam satu Pribadi.
Tuhan yang
rela miskin agar yang dikasihi menjadi kaya. Tuhan yang rela patah agar yang
dikasihi bahagia. Tuhan yang rela mati agar yang dikasihi merasakan hidup lagi.
Tuhan yang rela menyalibkan diri agar yang dikasihi bisa kembali.
Bagaimana
seandainya kasih adalah mengenai memberi lebih dari menerima? Bagaimana
seandainya kasih meminta egoisme harus runtuh tanpa sisa? Bagaimana seandainya
kasih membutuhkan kesabaran, pengampunan, kesetiaan, kepercayaan, ketekunan,
ketulusan, kerendahan hati, dan keteguhan hati—lebih dari ekspektasi yang
terealisasi? Bagaimana seandainya kasih menuntut pengorbanan sebesar nyawa di
dalam diri?
Bagaimana
seandainya kita tidak perlu alasan lain untuk mengasihi
selain
karena Tuhan sendiri?
Sepertinya
kita harus lebih menyiapkan hati.
p.s. :
Jujur,
tulisan ini saya tulis untuk diri sendiri. Bukan karena saya sudah mampu
mengasihi, kebalikannya. Untuk mengingatkan dan ber-re-refleksi. Agar tidak
menyerah untuk dapat menjawab pertanyaan sendiri. Agar tidak menyerah untuk
dapat terus mengasihi. Agar tidak menyerah untuk menjadi seperti Yesus yang
diikuti. Karena, sungguh, saat ini saya ingin menyerah untuk mengasihi.
(Setelah
Hari Hujan: Cikarang, 13 Juli 2016)
No comments: