Refleksi: Kehilangan
“Jatuhlah pada titik siap kehilangan apapun, siapapun.
Segala sesuatu, kecuali kehilangan Yesus.”
Segala sesuatu, kecuali kehilangan Yesus.”
Tak
bisa disangkal, banyak manusia menakuti pengalaman kehilangan. Sesuatu,
seseorang. Atau bahkan, dalam takaran jamak—banyak hal, banyak orang. Dan itu
wajar, secara manusiawi, ketika sesuatu atau seseorang memiliki arti khusus
atau istimewa. Ketika sesuatu atau seseorang berharga, maka akan lebih sulit
juga bagi manusia untuk kehilangan. Akhirnya memang, kehilangan pun ditakuti
karena akan memberikan perasaan-perasaan yang tidak menyamankan. Kekecewaan dan
kesakitan, termasuk di antaranya.
Setiap
orang tentu memiliki “yang berharganya” masing-masing. Ada yang mungkin
menjadikan kepemilikan barang dan kondisi finansial sebagai “yang berharga”. Ada
yang mungkin menjadikan kenyamanan atau comfort
zone sebagai “yang berharga”. Ada yang mungkin menjadikan keluarganya, atau
sahabatnya, atau kekasihnya, sebagai “yang berharga” baginya. Ada yang mungkin
menjadikan pekerjaannya atau gaya hidupnya sebagai “yang berharga”. Ada yang
mungkin menjadikan relasi-relasi sosial yang ia miliki sebagai “yang berharga”.
Ada yang mungkin menjadikan pride, prestise, pencapaian, dan prestasinya
sebagai “yang berharga”. Setiap hal bisa menjadi “yang berharga” bagi orang-orang
yang berbeda.
Itu
tidak masalah. Yang jadi masalah adalah perasaan takut kehilangan, karena “yang
berharga” ternyata telah kita tempatkan terlalu istimewa di dalam hidup kita,
bahkan mungkin sampai menggeser posisi Tuhan sebagai yang terutama. Dan yang paling berharga. Kita lebih takut
kehilangan “yang berharga” dibanding “yang (seharusnya) paling berharga”.
Karena “yang berharga” telah menjadi berhala. Saat itulah, pengalaman
kehilangan akan menjadi lebih sakit daripada yang seharusnya. Harus diakui,
pengalaman kehilangan memang tetap mengejutkan atau menyakitkan—secara daging
dan manusiawi—tetapi efeknya tidak akan berkepanjangan atau berlebihan jika
kita mengingat bahwa setidaknya kita
tidak kehilangan “yang paling berharga”. Siapa? Yesus, Tuhan. Tapi jika
“yang berharga” telah menggeser posisi “yang paling berharga”—dan kita kemudian
kehilangan “yang berharga” yang telah kita jadikan “yang paling berharga”—tentu
pengalaman kehilangan akan semakin menyakitkan kan? Bagaimana rasanya
kehilangan sesuatu yang kita anggap “yang paling berharga” dalam hidup? Tentu
menyakitkan. Dan mengecewakan. Sayangnya, perasaan seperti ini tidak perlu
karena kehilangan “yang berharga” tidak seharusnya kita sesali sedalam itu.
Ada
begitu banyak “yang berharga” yang mungkin kita miliki dan pegang erat-erat di dalam hidup kita. Dan hanya kita yang tahu
percis, apa itu, siapa itu. Tapi apakah begitu banyak “yang berharga” itu telah
menggeser tempat “yang paling berharga”—tempat tunggal milik kepunyaan Tuhan?
Dan jika kita harus kehilangan “yang berharga” itu—apakah kita siap dan berani
menghadapinya?
Sungguh.
Jatuhlah pada titik dimana kita siap kehilangan apapun, siapapun, segala
sesuatu. Kecuali satu, kehilangan Yesus. Yesus, sebagai “yang paling berharga”.
Jatuhlah pada titik itu—meski ketika jatuh di titik itu, berarti siap
kehilangan segala sesuatu dan mampu berkata, “Christ is enough for me.” Jatuhlah pada titik itu—titik dimana kita
mungkin kehilangan batu-batu berlian yang berharga, tetapi kita tahu kita masih
memiliki sumber batu berlian yang lebih,
jauh, dan paling berharga.
Pengalaman
kehilangan tentu juga memerlukan iman. Iman yang bisa menyatakan dengan teguh
bahwa Yesus adalah satu-satunya, yang paling berharga, melebihi apapun yang
tampak berharga. Iman yang bisa mendeklarasikan bahwa Yesus adalah yang paling
berharga, yang posisinya tak bisa digeser atau digantikan oleh apapun yang lain
yang tampak berharga.
Pengalaman
kehilangan itu terjadi setidaknya untuk mengingatkan kita, agar kita tidak
berpegangan terlalu erat pada hal-hal yang tampak berharga, yang mungkin sudah menggeser atau menggantikan posisi
yang paling berharga, di dalam hidup kita. Pengalaman kehilangan itu terjadi
untuk mengajari kita, bahwa Christ is
enough for us. We don’t need a thing. We don’t need another. Pengalaman
kehilangan itu terjadi untuk menyadarkan kita bahwa segala sesuatu yang kita
miliki di dunia ini tidak akan ada yang abadi, kecuali Tuhan itu sendiri.
Siaplah
untuk kehilangan apapun, siapapun, kecuali kehilangan Yesus. Karena, kehilangan
apapun-siapapun sebenarnya bukan masalah besar bagi kita ketika kita kembali
menyadari bahwa semuanya itu memang
bisa hilang kapan saja. Dan semuanya itu bisa dicari kembali, bisa didapat
kembali, bisa diganti kembali. Kehilangan apapun-siapapun itu juga sebenarnya
bukan masalah besar, dibandingkan jika kita kehilangan Yesus—yang adalah yang
paling berharga dan yang adalah segala-galanya. Jika kita kehilangan Yesus,
bayangkan betapa besar kehilangan yang akan kita alami. What a great loss.
Tulisan
ini lahir sebagai sebuah perenungan diri sendiri. Ya, saya juga mengalami
kehilangan belakangan kemarin. Perubahan relasi-relasi sosial yang sangat saya anggap
penting. Dalam sekejap, segala sesuatu berubah. Tidak bisa saya kendalikan.
Tidak bisa saya hentikan. Tidak bisa saya benar-benar kembalikan. Yang saya bisa
hanya duduk di hadapan Tuhan Yesus, dan berserah. Belajar bersyukur—meski
mungkin manusia-manusia mengecewakan (bukan hanya saya menjadi subjek yang
dikecewakan tetapi termasuk saya yang mungkin menjadi subjek yang
mengecewakan), saya masih memiliki Yesus yang tidak pernah mengecewakan—yang
bersama-Nya, relasi saya aman dan tetap. Saya tetap anak-Nya, sahabat-Nya, sekaligus
murid-Nya. Lalu saya jatuh pada titik kesadaran itu: bahwa saya harus siap
kehilangan apapun dan siapapun, kecuali
kehilangan Yesus. Kehilangan relasi-relasi dan orang-orang ini mungkin memang
berat bagi saya, tetapi kehilangan itu akan bisa saya atasi juga. Karena mereka
hanyalah sebagian dari kehidupan
saya, bukan seluruh bagian dari hidup
saya. Tapi jika saya kehilangan Yesus? Saya tidak bisa membayangkan, bahwa saya
akan kehilangan seluruh bagian dari
hidup saya. Saya bahkan kehilangan hidup
saya itu sendiri. Betapa kacaunya saya jika saya kehilangan Yesus! Saya
benar-benar tidak siap kehilangan Yesus—tidak siap kehilangan Sahabat 24 jam
saya, tidak siap kehilangan Ayah saya yang selalu mencintai saya, tidak siap
kehilangan Guru saya yang selalu siaga mengajari dan berjaga-jaga atas saya.
Pengalaman
kehilangan mengajari saya bahwa Yesus tiada ternilai artinya dalam hidup saya. Termasuk
karena Dia berkuasa atas relasi-relasi yang telah berubah, relasi-relasi yang
akan datang, maupun relasi-relasi yang masih terjaga. Saya bersyukur Dia
menghibur saya dengan relasi-relasi yang tinggal tetap ketika saya kehilangan
beberapa relasi-relasi yang berubah. Saya bersyukur untuk sahabat-sahabat yang
setia, yang benar-benar merupakan sahabat yang seperti saudara, yang Tuhan
tempatkan di dalam hidup saya—ketika saya kehilangan orang-orang yang sudah
saya anggap seperti sahabat namun ternyata tidak menganggap saya sahabatnya.
Saya bersyukur untuk komunitas keluarga rohani dan saudara-saudara rohani yang
bisa menolong saya bertumbuh, menggantikan pembimbing rohani saya. Saya bersyukur untuk orang-orang baru dengan
relasi-relasi yang baru, yang Tuhan tempatkan di hidup saya, untuk menggantikan
yang lama. Meski, tentu tidak boleh ada kepahitan ada ganjalan yang saya
genggam atas orang-orang yang lama, yang telah pergi dan relasi-relasinya telah
berubah secara mengejutkan itu. Bagaimanapun, saya bersyukur pernah mengenal
mereka—karena saya tahu, Tuhan mempertemukan dan mengenalkan untuk sebuah
rencana yang baik juga. Tuhan tidak pernah merancang kecelakaan bagi kita kan,
selalu rancangan damai sejahtera. Roma 8:28-30 :)
Akhirnya,
kehilangan harus bisa mengajari kita sebuah respon hati yang benar. Kehilangan
tidak boleh menanamkan kekecewaan di dalam hati kita. Kehilangan tidak boleh menanamkan
kepahitan di dasar hati kita. Kehilangan harus dapat membuat kita mengucap
syukur—atas segala sesuatu yang masih belum hilang. Atas yang paling berharga
yang kita terus miliki—Yesus Tuhan. Kehilangan
harus dapat mengingatkan kita bahwa selama hidup berpijak di atas dunia yang
tidak abadi ini, kita tidak seharusnya menggenggam apapun terlalu erat, kecuali
tangan Yesus Tuhan itu sendiri.
“Sungguh. Jatuhlah pada
titik dimana kamu siap kehilangan apapun, siapapun,
segala sesuatu bahkan. Kecuali, kehilangan Yesus.”
segala sesuatu bahkan. Kecuali, kehilangan Yesus.”
—Yuli
(Sebuah Perenungan Personal:
Cikarang, Oktober 2015)
I'm crying reading this, kak :")
ReplyDeleteSemangat Ruthiee 😙
ReplyDeletePostingan ini mengajarkan saya untuk menggantikan posisi yang paling berharga di dalam relasi hidup say, Dengan Yesus! Thanks
ReplyDelete