KOTA DEPOK
Aku
merindukan kota Depok. Merindukan atmosfernya yang teduh, akrab. Cuacanya yang
panas, hangat. Daun-daun pohon yang hijau sampai ke ujung. Rumah-rumah
sederhana di lingkungan rumah bude yang saling bersebelahan tak jauh. Jalan-jalannya
yang beraspal yang selalu ramai orang, belum tercemar individualisme kompleks
dan perumahan.
Aku
merindukan kota Depok. Kampus kuning tempat tiga setengah tahun mencari ilmu yang
ikut terbentang di dalamnya. Mall-mall tempat orang-orang berkunjung, makan,
dan melepas jenuh dari rutinitas menjemukan. Margonda Raya yang penuh dengan
mobil dan motor, terkungkung macet—tetapi masih bisa kumaklumi dibanding
kemacetan jalanan Ibukota di sebelah.
Aku
merindukan kota Depok. Merindukan rumah bude yang dua tahunan ini sudah menjadi
tempat pulang. Merindukan selimutku yang tebal dan nyaman. Yang di bawah
kulitnya aku bergelut sepanjang malam, merasa hangat, terlindungi dari hari
dingin. Merindukan sofa di ruang tengah, yang di depannya terletak sebuah
televisi tua. Merindukan luasnya ruang gerakku, kemana-mana. Merindukan kesendirianku
di dalamnya. Sebuah bentuk dari kebebasan. Keleluasaan.
Aku
merindukan kota Depok. Merindukan buku-buku bermacam judul yang kubeli dan
kusimpan tak rapi di dalam lemari. Yang belum sempat selesai kubaca dan selalu
membuat hati rindu untuk mengulang membaca. Sebuah peta dunia. Di dinding ruang
tamu. Dispenser yang sedia. Air panas yang tak harus didapat dengan memasak
lebih dulu.
Aku
merindukan kota Depok. Merindukan duniaku yang hidup di dalamnya. yang tak
ingin kutinggalkan, yang enggan kulepaskan. Karena dunia yang baru masih penuh
tanda tanya dan kebimbangan. Keragu-raguan. Dunia yang baru belum benar-benar
bisa kupercayai sepenuhnya, belum bisa kunikmati, belum bisa kumasuki. Aku merindukan
dunia tempat aku sendirian larut di dalamnya, di kota Depok. Dunia yang lama,
tapi tak sama dengan kehidupan yang lama.
Ada
suatu masa dimana masa lalu dan masa depan runtuh, di depan matamu. Ketika masa
transisi terlalu terjal untuk dilalui. Ombak di bawah kakimu terlalu ganas
untuk dipijak. Hujan yang jatuh di kepalamu terlalu keras untuk dihadapi. Api yang
memurnikan tak sanggup kau lalui. Dan saat itulah, aku merindukan kota Depok.
Aku
tak merindukan kota Medan, meski itu kampung halaman. Aku merindukan kota Depok—kota
tempat aku dibesarkan. Oleh yang Empunya Kehidupan. Dalam sebuah masa kehidupan
yang lebih menyenangkan, daripada yang kualami di kampung halaman. Atau di kota tempatku berpijak sekarang.
Dengan cinta yang masih ada,
Untuk
kota yang delapan kali namanya ku ulang ku sebut,
Di sepanjang
tulisan ini,
April
2, 2015
No comments: