Artikel Dari 4 Tahun Yang Lalu
Menemukan artikel
ini tepat ketika saya sedang bergumul
di dalam diri sendiri untuk sebuah masalah yang sama. Sebuah artikel yang menjadi artikel pertama, dimana Tuhan
memberikan saya kesempatan untuk melayani dalam bentuk tulisan di persekutuan
kampus tempat saya dibentuk selama mahasiswa—PO FISIP UI (Persekutuan Oikumene
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia). Waktu itu, saya masih mahasiswa tingkat satu dan baru saja bergabung dengan kepengurusan. Ternyata artikel
ini di-posting bersama
tulisan-tulisan lainnya oleh seksi buletin di blog tumblr milik persekutuan,
dan saya baru tahu. Artikel ini merupakan sebuah artikel dari rubrik Teleskop,
di majalah PO FISIP UI bernama Angkatan, edisi Februari-Maret 2011—itu sudah lama sekali, tetapi apa yang
saya pernah tulis di dalamnya masih bisa menegur saya hari ini. Saya bersyukur.
Tuhan Yesus baik.
Beberapa bulan lalu,
isu ketidakharmonisan antara bapak presiden SBY dan Sultan Hamengkubuwono X
menjadi salah satu sorotan penting rakyat Indonesia. Kedua tokoh penting yang
menjadi pemimpin besar di Indonesia dan Yogyakarta ini ternyata berselisih
paham. Titik perselisihan menyangkut sistem monarki Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY) yang dianggap oleh salah satu pihak bertentangan dengan konstitusi
Indonesia. Karenanya, penetapan Sultan HB X-Paku Alam sebagai pasangan Gubernur
dan Wakil Gubernur DIY yang tidak dipilih secara langsung, dianggap memerlukan
penegasan secara hukum. Peristiwa ini tentu saja berimplikasi pada banyak hal.
Salah satu yang terpenting adalah dampaknya terhadap integrasi Indonesia.
Memang Yogyakarta tidak bisa disamakan dengan daerah provinsi lain karena
setiap provinsi di Indonesia memiliki keunikannya sendiri. Walaupun begitu,
dalam perjalanan sejarah dan kemerdekaan, Yogyakarta sudah menjadi salah satu
bagian dari Indonesia dalam segala keunikan dan keberbedaannya. Dalam status
‘daerah istimewa’-nya, bagaimanapun, Yogyakarta tetaplah bagian integral dari
Indonesia yang majemuk dan tetap dipersatukan
oleh semboyan bhineka tunggal ika.
Seperti dalam isu
ini, seringkali perselisihan terjadi karena kita mengarahkan fokus yang terlalu
berat pada perbedaan yang ada. Sebagaimana perselisihan yang terjadi
antara SBY – HB X yang dalam konteks tertentu bisa dianggap mewakili Indonesia
dan Yogyakarta, yang sebenarnya merupakan satu kesatuan yang terintegrasi walau
mungkin memiliki perbedaan tertentu, begitupula di dalam persekutuan anak-anak
Tuhan pun, kadang terjadi perselisihan dan ketidakharmonisan. Perselisihan ini
bisa terjadi ketika anak-anak Tuhan lebih fokus kepada perbedaan, dibandingkan
dengan esensi persekutuan. Ketika anak-anak Tuhan mengesampingkan, bahkan
melupakan Tuhan Yesus Kristus sebagai kepala, dan melihat kekristenan, gereja,
atau persekutuan tidak lebih dari sebuah kelompok sosial manusia.
Dalam Efesus 2 :
19 dikatakan bahwa kita adalah anggota-anggota keluarga Allah. Keluarga
Allah – menunjuk pada kondisi dimana persekutuan seharusnya dipenuhi dengan
damai sejahtera, kesatuan dan kesehatian di dalam Yesus Kristus. Namun dalam
hal keluarga Allah inipun, banyak anak-anak Tuhan kerap kali lebih fokus
kepada keluarga-nya, dan melupakan Allah-nya. Keluarga
memang penting, tapi keluarga tidak akan menjadi penting tanpa Allah
terlibat penuh dan diakui di dalamnya. Ketika kita lebih fokus kepada keluarga
daripada Allah, maka kita akan cenderung melihat kepada
perbedaan-perbedaan yang ada. Padahal anak-anak Tuhan harusnya
mengarahkan fokus total kepada Yesus Kristus. Dalam hal inilah, kekristenan,
gereja atau persekutuan berbeda dari ‘perkumpulan’ atau ‘kelompok’ lainnya:
karena kita memiliki Yesus Kristus sebagai batu penjuru, dasar yang teguh.
Karena Allah – Yesus Kristus, tinggal di antara kita sebagai damai sejahtera
yang mempersatukan anak-anak-Nya (Efesus 2:14).
Ketika kita sudah
menerima Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat Pribadi, maka seharusnya Tuhan
Yesus-lah yang bertahta serta memiliki segenap hati dan hidup kita. Tuhan Yesus
menjadi fokus utama kita. Orang percaya harus tinggal di dalam Yesus, dan
ketika kita tinggal di dalam Dia, maka perbedaan tidak lagi terasa
penting untuk diperhatikan, sehingga pembedaan atau diskriminasi dalam bentuk
apapun juga seharusnya tidak dikenal oleh anak-anak Tuhan.
Dalam kehidupan di
kampus pun, dengan mengesampingkan ‘status’ kita sebagai anak binaan di KK
(Kelompok Kecil) atau tidak, seharusnya kita lebih fokus kepada Yesus Kristus
sebagai pemersatu segala perbedaan di dalam keluarga-Nya. Kita adalah satu
di dalam Yesus Kristus, dan di dalam persekutuan PO FISIP UI, kita bersama-sama
dipelihara Kristus dalam pertumbuhan iman agar semakin menjadi murid-murid
Kristus yang sejati. Persekutuan kita di PO FISIP UI di dalam Yesus Kristus
tidak dapat kita samakan dengan organisasi lain atau semata-mata kelompok
sosial tempat kita menemui teman-teman kita. Persekutuan
ini adalah tempat dimana kasih Kristus dapat dikenal, didapatkan, dan dibagikan
ketika kasih itu diceritakan kembali. Kasih kepada Kristuslah yang mengikat
kita satu sama lain di persekutuan ini – bukan semata-mata status sebagai ‘anak
PO’ atau ‘orang Kristen’. Ketika kita sudah
mengenal hati Yesus dan mengasihi-Nya, maka kita akan selalu rindu untuk
mencari Dia. Salah satunya adalah dengan ikut terus bersekutu di dalam kasih
persekutuan, saling memperhatikan, mendorong, dan mendoakan satu sama lain. Mari kita lebih fokus kepada fokus terutama dan terpenting
kita, yaitu Tuhan Yesus Kristus dibandingkan setiap perbedaan yang ada,
sehingga persekutuan kita tetap terintegrasi dalam kasih dan damai sejahtera,
serta kesatuan di dalam Tuhan Yesus Kristus. Selamat mengaplikasikan kesatuan
tersebut dalam persekutuan orang-orang percaya, teman-teman. Tuhan memberkati
kita semua.
(oleh: Yuliana Martha
Tresia – Sosiologi 2009)
Membaca kembali
artikel ini membuat saya harus berefleksi
pribadi. Sambil mengingat juga khotbah di Jakarta Life Christian Church minggu
lalu. Tentang egoism. Bagaimana dosa egoism ternyata mengakar di dalam setiap
orang, dan kita harus berperang melawannya setiap hari. Egoism juga mewujud ketika kita merasa ingin membela diri untuk apa
yang salah yang dikatakan orang lain tentang kita—meskipun yang dikatakan orang
lain itu salah, apakah kita benar-benar harus selalu membela diri kita sendiri?
Yang kadang mungkin bisa membunuh kasih yang harusnya kita miliki sebagai yang terdasar
dan terutama, terhadap Tuhan dan juga sesama. Bukankah itu berarti fokus kita masih berpusat kepada diri kita sendiri? Bisakah
kita menempatkan perasaan orang lain di atas perasaan kita? Maukah kita merendahkan
diri kita di bawah orang lain—meski kita akan berada dalam posisi yang tidak
enak dan apa yang dikatakan tentang kita tidak sepenuhnya benar? Ini tidak
mudah untuk saya lakukan, saat ini, harus
saya akui. Terlebih lagi, jika ini terjadi dan harus kita lakukan di dalam
sebuah persekutuan. It is really challenging.
Tapi tetap harus dilakukan. Ini menjadi
peer serius.
p.s. :
Ngomong-ngomong, rasanya sudah lama sekali saya tidak membaca buletin Angkatan PO FISIP UI. Saya ingat, dulu desain covernya masih sesederhana ini, dan terus berubah dan berevolusi dalam anugerah Tuhan menjadi lebih baik. Merindukan bisa membaca buletin Angkatan lagi :" semoga seksi buletin masih terus semangat melayani dalam tulisan untuk Tuhan di FISIP UI :"
No comments: