Refleksi: Who Am I
Who am I,
that the Lord of all the
earth
would care to know my
name,
would care to feel my
hurt?
Pesawatku
nyaris akan mendarat di bandara Ibukota kembali. Meski ia melayang-layang di
langit malam, banyak penumpangnya tampak tak terusik, sama sekali. Kebanyakan tetap
larut dalam tidur nyenyak, dalam mimpinya masing-masing. Tapi, aku tidak.
Mataku, tetap terjaga. Perjalanan hanya sekitar kurang dari satu jam dari
Semarang ke Jakarta, tak cukup bagiku untuk memejamkan mata. Jadi, di sepanjang
perjalanan, aku hanya bisa terjaga. Sambil berbincang-bincang, dengan Tuhan
Sang Kekasih Jiwa. Atau membolak-balik majalah pariwisata. Tapi, menjelang pesawat
mendekati daratan kembali, mataku terpaku kepada pemandangan di luar jendela.
Meski
sudah berkali-kali mengalami penerbangan di hari malam, ada yang berbeda dengan
penerbangan malam itu. Aku tak bisa lepas memandangi apa yang bisa kusaksikan
di balik jendela, sembari pesawat yang kutumpangi melayang-layang di udara
dalam kendali penuh sang pilot, masih mempersiapkan proses pendaratan kami.
Di
balik jendela, beribu titik-titik putih dan kuning, menghias daratan yang
adalah ibukota negara. Sangat banyak. Sangat luas. Dan mengagumkan, di hari
malam. Beberapa cahaya berpendar, bergerak. Berasal dari mobil-mobil yang
memadati jalan-jalan tol. Cahaya lain berderet di satu jejer memanjang ke bawah—gedung-gedung
pencakar langit Jakarta. Dari ketinggian, semuanya itu bagai lukisan yang tak
terkatakan dalam kegelapan. Indah. Dan aku melihat kehidupan, di dalamnya.
Teduh. Hangat.
Tapi
bukan itu titik penting perenunganku malam itu. Ada satu hal yang jauh lebih
penting dan lebih indah, lebih mengagumkan, dari segala kerlap-kerlip titik-titik
cahaya ribuan lampu yang menyapu dan menghias ibukota. Perenungan mengenai diriku.
Diriku sendiri. Diriku yang kecil ini, yang sangat kecil dibandingkan semuanya
itu, yang adalah juga bagian dari semuanya itu. Bagian kecil, bagian yang
sangat amat kecil. Dan meski diriku ini sangat kecil, Tuhan mengenalku. Tuhan
mencintaiku. Tuhan mengetahui tempat tinggalku, tempat dimana aku berada. Secara
percis. Bahkan, yang tak bisa kulacak dan tak bisa kutemukan dari ketinggian
saat itu. Betapa kecilnya, aku.
Itu
baru perbandingan dengan apa yang kulihat di dalam Ibukota Indonesia. Aku tak
bisa membayangkan jika aku mengingat jumlah penduduk total di seluruh belahan
dunia. Lebih dari tujuh milyar manusia. Sungguh, ada lebih dari 7.000.000.000
orang manusia di muka bumi ini, dan aku hanyalah 1 (satu!) dari semuanya itu—tapi
Tuhan mengenal namaku! Tapi Tuhan mengenalku dari ujung rambut sampai ujung
kaki. Tapi Tuhan mengenalku dari dalam dan luar, bahkan ketika aku masih
dibentuk di dalam kandungan ibuku. Aku hanya 1 dari 7.000.000.000 manusia di
muka bumi ini—tapi Dia begitu peduli padaku. Tapi Dia sangat mencintaiku.
Mataku
panas. Air mata menggenang di sudutnya. Aku sadar betapa kecilnya aku, dan
betapa besarnya Dia. Aku sadar apalah aku dibandingkan semua hal mengagumkan
yang sedang kulihat, dan apalah semua hal mengagumkan yang sedang kulihat
dibandingkan Diri-Nya itu. Tapi melampaui segalanya itu, Dia yang begitu
besarnya itu, mau mencapaiku. Dia mau memperhatikanku. Dia mau menganggapku,
sangat berharga.
Dia
tak melepaskan pandangan mata-Nya daripadaku. Tak akan. Tak pernah. Aku ada di
dalam telapak tangan penjagaan-Nya. Aku selalu berada dalam pengawasan biji
mata-Nya. Dan Dia beserta, meski bagiku sosok-Nya kasat mata. Tuhan Maha Hadir
dalam segala. Omni Presence God.
Siapalah
aku ini maka Tuhan mau memperhatikanku begitu rupa?
Siapakah
aku ini maka mata-Nya tetap tertuju padaku dan hati-Nya diberikan-Nya bagiku?
Hanya
ada satu jawaban saja dari kesemuanya ini : anugerah dan kasih karunia.
Not
because of who I am
But
because of what You've done
Not
because of what I've done
But
because of who You are
Ada
suara yang berkata: "Berserulah!" Jawabku: "Apakah yang harus
kuserukan?" "Seluruh umat manusia adalah seperti rumput dan semua
semaraknya seperti bunga di padang. Rumput menjadi kering, bunga menjadi layu,
apabila TUHAN menghembusnya dengan nafas-Nya. Sesungguhnyalah bangsa itu
seperti rumput. Rumput menjadi kering, bunga menjadi layu, tetapi firman Allah
kita tetap untuk selama-lamanya." (Yesaya 40:6-8)
Dan
si bunga di padang yang segera menjadi
kering dan layu ini mendapat perhatian penuh dari Yang Maha Kuasa? Tidakkah
itu benar-benar sebuah kasih karunia, yang luar biasa?
I am a
flower quickly fading,
Here
today and gone tomorrow
A wave
tossed in the ocean
A
vapor in the wind
Still
You hear me when I'm calling
Lord,
You catch me when I'm falling
And
You've told me who I am
I am
Yours, I am Yours
p.s. :
The same with you. Pernahkah kau menyadari betapa kecilnya dirimu, betapa
sebenarnya Tuhan tidak perlu repot-repot
memikirkanmu-memperhatikanmu-mencintaimu, karena apalah diri kita ini dibandingkan
Ia dan segala isi bumi yang luar biasa besar dan banyaknya itu? Tapi Dia tak
berpikiran seperti itu. Dia tetap memikirkanmu.
Memperhatikanmu. Mencintaimu. Dengan kasih yang tidak gagal, tidak
berkesudahan. Dia memilih untuk memikirkanmu, memperhatikanmu, mencintaimu.
Hanya karena satu alasan: tak peduli seberapa kecilnya dirimu—entah di matamu,
di mata dunia, atau di mata siapapun juga—kau yang kecil itu tetap adalah
milik-Nya, sepenuhnya, seutuhnya. Dan Dia begitu menganggapmu berharga. Dia begitu
mencintaimu.
And
You've told me who I am
I am
Yours
(Sebuah perenungan,
dalam sebuah perjalanan
di akhir Maret 2015)
No comments: