Refleksi: Who Am I

May 14, 2015

Photo by Tanzim ⋈ on Unsplash

Who am I,
that the Lord of all the earth
would care to know my name,
would care to feel my hurt?


Pesawatku nyaris akan mendarat di bandara Ibukota kembali. Meski ia melayang-layang di langit malam, banyak penumpangnya tampak tak terusik, sama sekali. Kebanyakan tetap larut dalam tidur nyenyak, dalam mimpinya masing-masing. Tapi, aku tidak. Mataku, tetap terjaga. Perjalanan hanya sekitar kurang dari satu jam dari Semarang ke Jakarta, tak cukup bagiku untuk memejamkan mata. Jadi, di sepanjang perjalanan, aku hanya bisa terjaga. Sambil berbincang-bincang, dengan Tuhan Sang Kekasih Jiwa. Atau membolak-balik majalah pariwisata. Tapi, menjelang pesawat mendekati daratan kembali, mataku terpaku kepada pemandangan di luar jendela.

Meski sudah berkali-kali mengalami penerbangan di hari malam, ada yang berbeda dengan penerbangan malam itu. Aku tak bisa lepas memandangi apa yang bisa kusaksikan di balik jendela, sembari pesawat yang kutumpangi melayang-layang di udara dalam kendali penuh sang pilot, masih mempersiapkan proses pendaratan kami.

Di balik jendela, beribu titik-titik putih dan kuning, menghias daratan yang adalah ibukota negara. Sangat banyak. Sangat luas. Dan mengagumkan, di hari malam. Beberapa cahaya berpendar, bergerak. Berasal dari mobil-mobil yang memadati jalan-jalan tol. Cahaya lain berderet di satu jejer memanjang ke bawah—gedung-gedung pencakar langit Jakarta. Dari ketinggian, semuanya itu bagai lukisan yang tak terkatakan dalam kegelapan. Indah. Dan aku melihat kehidupan, di dalamnya. Teduh. Hangat.

Tapi bukan itu titik penting perenunganku malam itu. Ada satu hal yang jauh lebih penting dan lebih indah, lebih mengagumkan, dari segala kerlap-kerlip titik-titik cahaya ribuan lampu yang menyapu dan menghias ibukota. Perenungan mengenai diriku. Diriku sendiri. Diriku yang kecil ini, yang sangat kecil dibandingkan semuanya itu, yang adalah juga bagian dari semuanya itu. Bagian kecil, bagian yang sangat amat kecil. Dan meski diriku ini sangat kecil, Tuhan mengenalku. Tuhan mencintaiku. Tuhan mengetahui tempat tinggalku, tempat dimana aku berada. Secara percis. Bahkan, yang tak bisa kulacak dan tak bisa kutemukan dari ketinggian saat itu. Betapa kecilnya, aku.

Itu baru perbandingan dengan apa yang kulihat di dalam Ibukota Indonesia. Aku tak bisa membayangkan jika aku mengingat jumlah penduduk total di seluruh belahan dunia. Lebih dari tujuh milyar manusia. Sungguh, ada lebih dari 7.000.000.000 orang manusia di muka bumi ini, dan aku hanyalah 1 (satu!) dari semuanya itu—tapi Tuhan mengenal namaku! Tapi Tuhan mengenalku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tapi Tuhan mengenalku dari dalam dan luar, bahkan ketika aku masih dibentuk di dalam kandungan ibuku. Aku hanya 1 dari 7.000.000.000 manusia di muka bumi ini—tapi Dia begitu peduli padaku. Tapi Dia sangat mencintaiku.

Mataku panas. Air mata menggenang di sudutnya. Aku sadar betapa kecilnya aku, dan betapa besarnya Dia. Aku sadar apalah aku dibandingkan semua hal mengagumkan yang sedang kulihat, dan apalah semua hal mengagumkan yang sedang kulihat dibandingkan Diri-Nya itu. Tapi melampaui segalanya itu, Dia yang begitu besarnya itu, mau mencapaiku. Dia mau memperhatikanku. Dia mau menganggapku, sangat berharga.

Dia tak melepaskan pandangan mata-Nya daripadaku. Tak akan. Tak pernah. Aku ada di dalam telapak tangan penjagaan-Nya. Aku selalu berada dalam pengawasan biji mata-Nya. Dan Dia beserta, meski bagiku sosok-Nya kasat mata. Tuhan Maha Hadir dalam segala. Omni Presence God.



Siapalah aku ini maka Tuhan mau memperhatikanku begitu rupa?
Siapakah aku ini maka mata-Nya tetap tertuju padaku dan hati-Nya diberikan-Nya bagiku?

Hanya ada satu jawaban saja dari kesemuanya ini : anugerah dan kasih karunia.


Not because of who I am
But because of what You've done
Not because of what I've done
But because of who You are


Ada suara yang berkata: "Berserulah!" Jawabku: "Apakah yang harus kuserukan?" "Seluruh umat manusia adalah seperti rumput dan semua semaraknya seperti bunga di padang. Rumput menjadi kering, bunga menjadi layu, apabila TUHAN menghembusnya dengan nafas-Nya. Sesungguhnyalah bangsa itu seperti rumput. Rumput menjadi kering, bunga menjadi layu, tetapi firman Allah kita tetap untuk selama-lamanya." (Yesaya 40:6-8)

Dan si bunga di padang yang segera menjadi kering dan layu ini mendapat perhatian penuh dari Yang Maha Kuasa? Tidakkah itu benar-benar sebuah kasih karunia, yang luar biasa?

I am a flower quickly fading,
Here today and gone tomorrow
A wave tossed in the ocean
A vapor in the wind
Still You hear me when I'm calling
Lord, You catch me when I'm falling
And You've told me who I am
I am Yours, I am Yours

p.s. :

The same with you. Pernahkah kau menyadari betapa kecilnya dirimu, betapa sebenarnya Tuhan tidak perlu repot-repot memikirkanmu-memperhatikanmu-mencintaimu, karena apalah diri kita ini dibandingkan Ia dan segala isi bumi yang luar biasa besar dan banyaknya itu? Tapi Dia tak berpikiran seperti itu. Dia tetap memikirkanmu. Memperhatikanmu. Mencintaimu. Dengan kasih yang tidak gagal, tidak berkesudahan. Dia memilih untuk memikirkanmu, memperhatikanmu, mencintaimu. Hanya karena satu alasan: tak peduli seberapa kecilnya dirimu—entah di matamu, di mata dunia, atau di mata siapapun juga—kau yang kecil itu tetap adalah milik-Nya, sepenuhnya, seutuhnya. Dan Dia begitu menganggapmu berharga. Dia begitu mencintaimu.


And You've told me who I am
I am Yours




(Sebuah perenungan,
dalam sebuah perjalanan di akhir Maret 2015)

No comments:

Powered by Blogger.