REBEKAH SAID, "I AM READY TO GO"
Photo by Caroline Veronez on Unsplash |
Her brother and mother said, “Let the girl stay a while, say another ten days, and then go.”
He said, “Oh, don’t make me wait! God has worked everything out so well—send me off to my master.”
They said, “We’ll call the girl; we’ll ask her.”
They called Rebekah and asked her, “Do you want to go with this man?”
She said, “I’m ready to go.”
(Genesis 24 : 55-58 MSG)
Beberapa hari ini
saya menikmati perenungan mengenai kisah Ribka ketika ia bertemu (dan
dipertemukan) dengan Ishak—yang kemudian menjadi pasangannya seumur hidup. Kata
“I am ready to go”—sebagaimana yang
secuplik telah saya kutip sebagai prolog tulisan ini—menjadi titik tolak
penting dari perenungan saya.
Pergumulan pasangan
hidup entah kenapa menurut saya masih dan akan selalu menjadi sesuatu yang
penting bagi banyak orang di setiap zaman di setiap generasi. Meskipun ada juga
sebagian kecil orang yang dipanggil untuk menjalani hidup selibat (tidak
menikah atau melajang seumur hidup), tidak bisa disangkal, mayoritas orang
dipanggil untuk bisa mengalami dan menjalani sebuah pernikahan. Dalam usia
dewasa muda saat ini, dengan lingkungan pertemanan di sekeliling saya, tentu
saya banyak menemui teman-teman yang juga bergumul mengenai masalah pasangan
hidup ini. Banyak sekali. Dan, ya
selagi itu tidak mengambil posisi Tuhan sebagai yang terpenting dalam hidup
kita, menggumulkan pasangan hidup merupakan sesuatu yang wajar-wajar saja
dilakukan.
Hanya saja, dalam
masa pergumulan dan penantian (yang kita tahu, tidak selamanya mudah), kadang
kita bisa salah fokus. Kita bisa saja lebih fokus kepada waktu, daripada diri kita
sendiri. Mengeluh tentang lamanya, bukan memperjuangkan bagaimana kesiapan kita. Apakah kita benar-benar
sudah siap menikah dan sudah menjadi
seorang perempuan atau laki-laki yang seutuhnya
utuh untuk menikah. Kita mungkin sering mengeluh mengenai waktu, tetapi
lupa kalau diri sendiri ini belum siap.
Berbeda dengan
Ribka. Ribka sudah siap. Ketika hamba
Abraham, Ayah Ishak, datang menjemputnya untuk pernikahan itu—Ribka sudah siap.
Ia dengan mantap menjawab, “I am ready to
go.”
Saya belajar banyak
dari Ribka. Ribka yang sudah siap. Saya
membayangkan apa rasanya menjadi Ribka, yang sudah siap. Pasti bahagia. Bahagia
bisa menjawab, “I am ready to go.” Karena,
saya pribadi merasa saya belum siap. Pernikahan merupakan sebuah pergumulan
yang tidak mudah untuk dijalani—menurut saya. Bertahun-tahun memiliki keinginan
untuk hidup selibat semenjak usia saya masih anak-anak, lalu kemudian Tuhan singkapkan
suatu hal yang lain daripada yang selama ini saya pikirkan—sungguh tidak mudah.
Saya bergumul dengan diri sendiri untuk menggumulkan sebuah pernikahan di masa
depan, terlepas dari pergumulan saya untuk bisa menjadi seorang perempuan yang seutuhnya utuh untuk menjadi seorang
istri dan ibu, yang benar-benar siap.
Perenungan saya
membawa saya menyadari bahwa untuk mengatakan, “I am ready to go” seperti Ribka, membutuhkan proses yang tidak
sepele. Rela untuk belajar banyak, berubah banyak—bersama Tuhan. Menanggalkan,
melepaskan, menyalibkan, apa yang perlu ditanggalkan, dilepaskan, dan
disalibkan—demi menjadi seorang perempuan yang seutuhnya utuh. Setapak demi setapak. Hari demi hari, bahkan
mungkin, tahun demi tahun. Ada sebuah proses pemurnian untuk menjadi seorang
perempuan atau seorang laki-laki yang seutuhnya
utuh.
Kisah Ribka bisa
dibaca di Kejadian 24. Ini merupakan salah satu kisah percintaan favorit saya
di sepanjang halaman Alkitab. Bagaimana Tuhan mempertemukan Ribka dan Ishak
juga merupakan sesuatu yang tidak biasa. Segala
sesuatu direncanakan, digumulkan, didoakan. Segala sesuatu ada dalam kontrol
tangan Tuhan, ada dalam rangkaian rencana-Nya yang istimewa untuk Ribka dan
Ishak. Lalu dalam waktu Tuhan, mereka dipertemukan. Waktu yang sempurna—karena,
saat itu, Ribka juga sudah siap.
Bukankah menarik
untuk merenungkan, kapan kita bisa siap untuk menyatakan, “I am ready to go” terkait perihal pasangan hidup dan pernikahan? :)
No comments: