Kampanye #OceanLovers dari Greenpeace

January 24, 2015

Belum lama, saya akhirnya memutuskan untuk ikut terlibat dalam gerakan peduli lingkungan yang diperjuangkan oleh salah satu NGO lingkungan internasional yang cukup ternama—Greenpeace. Keterlibatan saya sejauh ini memang hanya berupa sebuah aksi sederhana, sesederhana melalui dunia online. Saya memutuskan memberi dukungan secara online pada Greenpeace semenjak tertarik dengan salah satu kampanye yang mereka perjuangkan, yaitu Kampanye 100 Indonesia Hijau dan Damai. Sejak saat itu, saya mulai secara rutin mendapatkan email follow up kampanye dari Greenpeace di yahoo mail saya—tetapi bagi saya, mendapat setiap email dari Greenpeace merupakan sebuah kesenangan tersendiri. Kenapa? Karena isinya selalu menarik dan signifikan untuk diperhatikan. Ya, mungkin juga karena saya sudah semakin jatuh hati pada gerakan penyelamatan lingkungan.




Kampanye 100% Indonesia Hijau dan Damai ini sendiri ternyata telah sukses menggalang 113.595 suara (yang mana 1 suaranya termasuk suara saya, hehe) dan menghasilkan kemenangan besar untuk para pencinta lingkungan di Indonesia. Inipun telah disampaikan kepada Presiden Terpilih Joko Widodo, secara khusus mengingat Bapak Presiden mengenai #PRke7—yaitu “PR Lingkungan”. Hasilnya? Bapak Presiden Jokowi benar-benar sudah melakukan salah satu langkah konkrit berupa blusukan asap ke Provinsi Riau, bersama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ibu Siti Nurbaya. Kesuksesan besar ini juga dilakukan Greenpeace bersama koalisinya, yaitu Koalisi Blusukan Asap (WALHI, Change, dan Yayasan Perspektif Baru, Jikalahari).




Mengikuti jejak perjuangan gerakan lingkungan dari Greenpeace membuat saya bernostalgia ke lima tahun yang lalu (ya ampun, ternyata sudah lama) ketika saya masih duduk di bangku kuliah dan mempelajari mengenai mata kuliah Sosiologi Lingkungan. Itu kali pertama mata saya benar-benar terbuka mengenai realita lapangan terkait masalah lingkungan—beserta segala hiruk-pikuknya. Mulai dari pergerakannya, perdebatannya, semuanya. Saya juga baru memahami betapa pentingnya bagi saya sendiri untuk benar-benar mengambil komitmen peduli lingkungan hidup. Meskipun, harus diakui, di negara Indonesia tempat kita dikandung dan dibesarkan ini, mungkin belum sesensitif negara maju mengenai isu lingkungan—sehingga banyak orang masih saja acuh tak acuh mengenai isu lingkungan. Kita harusnya tidak boleh terpengaruh.

Salah satu yang tidak akan pernah saya lupakan adalah sebuah pelajaran mengenai ecological footprints. Atau, dalam bahasa Indonesianya mungkin bisa diterjemahkan sebagai jejak lingkungan. Sederhanannya berarti, sejauh apa setiap keputusan kehidupan yang kita ambil memberi dampak bagi lingkungan? Ini sungguh sebuah pertanyaan. Ya, kita harus mempertanyakan ini pada diri kita sendiri. Seberapa plastik yang kita putuskan untuk bawa pulang ketika belanja di supermarket? Seberapa kertas yang tidak kita maksimalisasi dan kita buang-buang di kampus atau di kantor? Apakah kita memilih makanan yang ramah lingkungan, atau justru makanan yang tidak ramah lingkungan? Setiap keputusan kehidupan yang kita ambil sebenarnya memberi dampak bagi lingkungan hidup, kecil ataupun besar. Sadarkah kita?

Sampai sekarang, saya masih benar-benar berjuang untuk mengingat sekaligus mempraktikkan ecological footprints ini. Teristimewa, masalah penggunaan tissue. Ini sebuah pengakuan dosa, untuk masalah tissue saya benar-benar belum bisa. Tapi selain tissue, saya sudah mulai berusaha. Misalkan, untuk mengurangi berbelanja dengan banyak plastik di supermarket atau minimarket. Berhemat memakai kertas bolak-balik dan menulis dengan tulisan saya yang amat-sangat mini (banyak orang yang berkomentar begitu dan saya senang setiap kali mereka menyebut “tulisan lo ini bisa menghemat kertas nih yul” di kalimat akhir mereka, haha). Tidak membuang sampah sembarangan. Ini tindakan-tindakan sepele, tapi susah lo dikerjakan tanpa niat memutuskan rantai rutinitas dan kebiasaan.

Tapi, abaikanlah mengenai cerita saya di beberapa paragraf terakhir. Saya ingin kembali mengingat pada gerakan lingkungan Greenpeace. Jadi, beberapa waktu yang lalu, saya menerima email lagi dari Greenpeace di Yahoo Mail saya. Kali ini, mengenai kampanye #OceanLovers, yaitu kampanye memperjuangkan kecintaan kita akan laut. Judul emailnya saja sudah sangat membakar semangat:  “Yuliana Martha, Buktikan Cintamu Pada Laut!”. Membaca judul ini, saya langsung teringat momentum ketika saya duduk mengobrol di pinggir pantai Pulau Gangga, sebuah pulau kecil di atas Pulau Sulawesi, dengan puas memandangi lautan biru-hijau mengagumkan tepat terhampar di depan mata saya. Atau ketika saya terbang dengan pesawat mini Wings Air di atas lautan yang mengelilingi Pulau Nias, bersiap untuk pendaratan. Saya terpesona akan betapa birunya, dan betapa luasnya lautan itu. Atau ketika saya berada di sebuah pantai bernama Pantai Baron di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan kaki setengah terbenam di pasir putihnya, menahan diri untuk tidak ikut berenang bersama adik dan sepupu saya, karena tak bisa menahan rasa kagum saya pada lautan luar biasa di depan mata saya. Yes, I love oceans. I love oceans, so deep! And, I am ready to join that #OceanLovers Campaign from Greenpeace! (Sayangnya, untuk ikut mengkampanyekan ini melalui social media saya, saya belum bisa dalam waktu dekat--saya masih terikat komitmen untuk "hibernasi" dari seluruh social media saya, kecuali whatsapp & LINE karena fungsinya sudah seperti sms).

Akhirnya, tanpa banyak menunggu atau berpikir, saya langsung mengklik link yang tertera pada email tersebut. Link itu mengantarkan saya sampai di salah satu halaman blog dari Greenpeace Indonesia ini. Judulnya 7 Resolusi Untuk #OceanLovers. Apa saja isinya? Saya mengulanginya seperti di bawah ini.

1. Resolusi #OceanLovers saya: Menuntut Suaka Laut untuk melestarikan kehidupan laut.
2. Resolusi #OceanLovers saya: Berbagi cinta untuk laut dengan mengirimkan sebuah #OceanKiss!
3. Resolusi #OceanLovers saya: Pastikan mengurangi penggunaan plastik karena plastik berakhir di laut dan dapat menyakiti makhluk laut.
4. Resolusi #OceanLovers saya: Melawan polusi karbon dari pemanasan & pengasaman lautan.
5. Resolusi #OceanLovers saya: Bantu hentikan #monsterboats menguras isi lautan.
6. Resolusi #OceanLovers saya: Hindari penangkapan ikan yang berlebihan atau penangkapan dengan cara yang merusak.
7.  Resolusi #OceanLovers saya: Selamatkan lumba-lumba #Vaquita Meksiko. Hanya tinggal tersisa 97 ekor!

Resolusi ke-5 yang paling menarik perhatian saya. Resolusi itu adalah mengenai kampanye menghentikan #monsterboats. Ini kampanye dari Greenpeace Internasional. Link yang ada di halaman blog mengantarkan saya lagi ke sebuah halaman baru, halaman khusus kampanye fair fishing. What is fair fishing? Gambar yang saya copy paste ini dari halaman khusus kampanye tersebut mungkin bisa membantu menjelaskan.



Setelah memperhatikan baik-baik, saya teringat acara televisi yang saya tonton beberapa bulan lalu mengenai perjuangan para nelayan kecil. Para nelayan kecil yang terancam kehilangan pekerjaan yang sudah dari generasi ke generasi mereka geluti hanya karena jajahan monster boat owners! Dan akhirnya, ujung dari masalah ini jika tidak terselesaikan tetap sama dengan passion saya. Poverty and marginalization. Bayangkan saja, there are 12M people—those employed globally in small-scale fisheries! Tak perlu berpikir dua kali bagi saya untuk langsung memberikan dukungan suara online saya terhadap kampanye ini.

Akhirnya, saya ingin menutup tulisan kali ini dengan ajakan untuk bergabung. Bergabung sebagai pencinta lingkungan, meskipun baru new comer seperti saya ini :) Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Visit Greenpeace! :)

No comments:

Powered by Blogger.