Oceans / Where Feet May Fail: Cerita di Laut Sulawesi

May 02, 2014

(Tulisan ini ditulis dan diabadikan dalam ingatan akan sebuah cerita perjalanan demi tugas community development, menuju sebuah pulau kecil di atas Pulau Sulawesi.)


Photo by Joseph Barrientos on Unsplash

Kamis, 30 Januari 2014. Aku tidak akan pernah lupa kejadian malam itu. Sebuah malam yang gelap, namun teduh. Langitnya yang gelap menjadi terang karena taburan begitu banyak bintang yang sungguh tak terhitung jumlahnya, besar dan kecil. Seperti sebuah karya yang maha agung. Seperti sebuah keajaiban alam.

Aku masih ingat. Ketika mobil kami tiba di sebuah pelabuhan kecil, di pesisir Sulawesi Utara. Kapal-kapal, beragam ukuran, menepi. Banyak awaknya yang masih sibuk mengurusi dan mengemasi barang-barang. Malam itu malam yang cukup sibuk di pelabuhan.

Jam delapan malam, aku meningat, ketika aku melirik angka di jam tangan. Kami, enam belas orang, perempuan dan laki-laki, siap menyeberang lautan Sulawesi. Di hari malam. Yang gelap, hanya dengan beberapa lampu pelabuhan yang tak seberapa dibandingkan terang bintang-bintang yang menghampar di atas kami. Setiap orang siap dengan tas ranselnya masing-masing, setiap orang siap untuk mengunjungi sebuah pulau kecil di tengah-tengah laut sulawesi. Yang letaknya berdampingan dengan pulau-pulau yang lainnya, bukan sebuah pulau ternama, tapi kekayaannya tak kalah dibandingkan pulau-pulau ternama.

Aku ingat ketika seorang teman menunjuk sebuah perahu kecil, yang mirip sekoci di kapal titanic tapi ukurannya jauh lebih kecil, yang katanya akan menjadi transportasi yang akan membawa kami tiba di Pulau Gangga. Aku mengamini. Tantangan mulai menyesapi jiwa-raga. Pasrah sempurna. Sampai kami benar-benar naik ke atasnya, perahu kecil yang hanya kuat menampung 20 orang manusia itu.


Photo by Mohamed Sameeh on Unsplash

Kami hanya duduk bersebelahan, berenam-belas orang, belum dengan dua bapak pemilik perahu yang berbaik hati menjemput kami. Mereka duduk masing-masing di ujung kiri dan ujung kanan perahu. Udara dingin menyentuh kulit, menyadarkan kami kalau hari memang sudah malam. Motor dihidupkan. Perahu kecil kami berangkat. Menantang lautan luas Sulawesi.

Aku tak akan pernah lupa. Tak akan mungkin lupa.

Setelah sekian puluh menit yang tak sempat kuhitung kami mengarungi lautan luas, motor perahu terhenti. Tapi kami sudah berada di tengah-tengah laut, terapung-apung sempurna. Kepanikan sempat menyelimuti beberapa teman kami. Meski bukan aku, karena aku memilih menutup mata dan berdoa. Pasrah sempurna. Entah bagaimana caranya kami bisa kembali ke pelabuhan, atau meneruskan perjalanan menuju pulau bernama Gangga itu. Motor perahu belum juga bisa hidup. Sungguh, sebuah gangguan tak terduga. Aku membuka mata, saling melihat dengan beberapa teman-temanku.

Lalu aku tersenyum, lambang kepasrahan yang sempurna. Bukan pada manusia, bukan pada keadaan. Tapi pada tangan Yang Maha Kuasa. Nyawaku ada di dalam sana, aku sadar sepenuhnya.

Kami masih terombang-ambing, terapung-apung di tengah laut Sulawesi. Belum ada perahu lain yang muncul untuk menjadi harapan pertolongan kami. Sinyal ponsel juga lenyap sama sekali. Entah bagaimana caranya untuk pulang, atau pergi. Kami hanya bisa menunggu, berharap cuaca tidak berubah jadi buruk atau berhujan karena perahu kami adalah seb7ah perahu tanpa atap. Berharap tidak ada badai yang sanggup membuat perahu kami tidak hanya terapung-apung di tengah lautan, tapi juga sanggup menjungkar-balikkannya. Akhirnya semua kami menyatu dalam diam, tenang, pasrah. Kedua bapak baik hati masih terus mencoba memperhatikan mesin motor perahu. Tapi salah satunya sudah mengajak untuk siap-siap mendayung. Aku tertegun, tapi mendayung dengan apa? Dayungnya juga hanya ada dua tiga buah. Itu juga bukan dayung, itu hanya papan kayu yang mungkin bisa dialih-fungsikan sebagai dayung. Beberapa teman laki-laki berdiskusi, aku menarik diri.

Aku mengangkat kepalaku, melihat langit gelap yang terang karena titik-titik bintang. Menikmati keajaiban, keindahan alami dari alam kepunyaan Tuhan, di tengah kondisi tak menjamin keselamatan, di tengah laut Sulawesi. Mencoba meresapi ketenangan dan keteduhan langit yang terbentang luas di atas kepalaku, mencoba larut dalam keluar-biasaannya. Aku ingat ketika Petrus dan kawan-kawannya, murid-murid Yesus, terombang-ambing di dalam perahu, di tengah lautan, sama seperti kami saat itu. Hanya saja, mungkin mereka jauh lebih panik dan takut, karena mengalami badai yang mengamuk.

Di tengah lautan, terapung-apung. Lautan luas yang biru gelap di awal malam. Yang kedalamannya tak bisa disepelekan. Lautan yang benar-benar lautan tempat nyawa kami dipertaruhkan. Saat itu. Tiba-tiba, sebuah lagu bersenandung di dalam hatiku, kemudian.


You call me out upon the waters
The great unknown where feet may fail
And there I find You in the mystery
In oceans deep
My faith will stand

And I will call upon Your name
And keep my eyes above the waves
When oceans rise
My soul will rest in Your embrace
For I am Yours and You are mine

Your grace abounds in deepest waters
Your sovereign hand
Will be my guide
Where feet may fail and fear surrounds me
You've never failed and You won't start now

So I will call upon Your name
And keep my eyes above the waves
When oceans rise
My soul will rest in Your embrace
For I am Yours and You are mine

Spirit lead me where my trust is without borders
Let me walk upon the waters
Wherever You would call me
Take me deeper than my feet could ever wander
And my faith will be made stronger
In the presence of my Savior

I will call upon Your name
Keep my eyes above the waves
My soul will rest in Your embrace
I am Yours and You are mine



(Hillsong, 2013, Zion Accoustic Album,
Ocean/Where Feet May Fail)



Aku menutup mataku lagi, dan menyanyikan lagu ini, di tengah lautan. Sebuah lagu yang begitu mengena tentang iman, karena juga berjudul "ocean" (lautan). Sayup-sayup. Dengan suara yang tertelan bunyi deru ombak malam. Dengan gumaman yang menghanyutkan setiap bagian liriknya di dalam hatiku, menyesapinya sampai ke kedalaman.


In oceans deep, my faith will stand.


Sungguh, ini bagian terbaik dari perjalananku. Menikmati Tuhan di tengah lautan dengan sebuah lagu berlirik menyentuh hati. Memasrahkan diri. Bukan dalam ketiadaan iman, tapi justru dalam perjuangan menyempurnakan iman. Kemudian, badai-badai kehidupan di dalam lembar ceritaku mulai kuingat, satu-persatu. Masalah-masalah yang juga terlihat seperti lautan yang dalam, yang menenggelamkan kemampuanku sebagai manusia biasa. Tapi, aku pasti bisa melaluinya. Malam ini, di tengah lautan beratapkan langit teduh berbintang, aku mendeklarasikan imanku di setiap kata dari lagu yang kunyanyikan di dalam hati.


And I will call upon Your name
And keep my eyes above the waves
When oceans rise
My soul will rest in Your embrace
For I am Yours, and You are mine


Setelah berpuluh menit terombang-ambing tanpa kejelasan di tengah lautan luas Sulawesi, akhirnya pertolongan datang. Yang Terkasih masih terus memperhatikan kami. Sebuah perahu taxi, yang lebih besar dari perahu kami, yang memang bertugas berpatroli, akhirnya menarik perahu kecil kami kembali menuju pelabuhan. Perasaan lega membanjiri semua hati. Bersyukur karena doa-doa kami dalam kepanikan dan kepasrahan telah dijawab, pada akhirnya.

Aku tersenyum. Setelah melihat pelabuhan samar-samar dari kejauhan. Aku sungguh tidak menyesali kejadian tadi. Aku justru mensyukurinya, sambil mengagumi betapa Tuhan yang kukenal dan kukasihi itu, sungguh luar biasa. Pengalaman yang tak akan pernah kulupakan sampai detik terakhir hidupku. Sebuah cerita bersama Tuhan di tengah lautan luas, di malam yang gelap, di dalam sebuah perahu kecil yang tak bisa jalan. Aku tahu Dia sedang mengajariku lagi mengenai sebuah pelajaran iman.



Faith that will stand, in oceans deep.






p.s. :




Sekitar dua jam lebih kemudian, kami akhirnya tiba di pulau kecil di atas Pulau Sulawesi itu. sebuah pulau yang teduh dan tenang dikawal malam. Setelah mesin motor diperbaiki. Setelah semangkuk indomie. Setelah doa-doa yang meluap dari setiap hati. Setelah menantang untuk mengarungi lautan luas itu lagi. Dan pulau itu, sangat indah dan kaya untuk wisata. Alami, anggun. Langitnya biru, lautnya biru. Sebuah hadiah yang membuatku semakin mengagumi Yang Maha Kuasa.

No comments:

Powered by Blogger.