Oceans / Where Feet May Fail: Cerita di Laut Sulawesi
(Tulisan ini ditulis dan diabadikan dalam ingatan akan sebuah cerita perjalanan
demi tugas community development, menuju sebuah pulau kecil di atas Pulau
Sulawesi.)
Kamis,
30 Januari 2014. Aku tidak akan pernah lupa kejadian malam itu. Sebuah malam
yang gelap, namun teduh. Langitnya yang gelap menjadi terang karena taburan
begitu banyak bintang yang sungguh tak terhitung jumlahnya, besar dan kecil.
Seperti sebuah karya yang maha agung. Seperti sebuah keajaiban alam.
Aku
masih ingat. Ketika mobil kami tiba di sebuah pelabuhan kecil, di pesisir
Sulawesi Utara. Kapal-kapal, beragam ukuran, menepi. Banyak awaknya yang masih
sibuk mengurusi dan mengemasi barang-barang. Malam itu malam yang cukup sibuk
di pelabuhan.
Jam
delapan malam, aku meningat, ketika aku melirik angka di jam tangan. Kami, enam
belas orang, perempuan dan laki-laki, siap menyeberang lautan Sulawesi. Di hari
malam. Yang gelap, hanya dengan beberapa lampu pelabuhan yang tak seberapa
dibandingkan terang bintang-bintang yang menghampar di atas kami. Setiap orang
siap dengan tas ranselnya masing-masing, setiap orang siap untuk mengunjungi
sebuah pulau kecil di tengah-tengah laut sulawesi. Yang letaknya berdampingan
dengan pulau-pulau yang lainnya, bukan sebuah pulau ternama, tapi kekayaannya
tak kalah dibandingkan pulau-pulau ternama.
Aku
ingat ketika seorang teman menunjuk sebuah perahu kecil, yang mirip sekoci di
kapal titanic tapi ukurannya jauh lebih kecil, yang katanya akan menjadi
transportasi yang akan membawa kami tiba di Pulau Gangga. Aku mengamini.
Tantangan mulai menyesapi jiwa-raga. Pasrah sempurna. Sampai kami benar-benar
naik ke atasnya, perahu kecil yang hanya kuat menampung 20 orang manusia itu.
Photo by Mohamed Sameeh on Unsplash |
Kami
hanya duduk bersebelahan, berenam-belas orang, belum dengan dua bapak pemilik
perahu yang berbaik hati menjemput kami. Mereka duduk masing-masing di ujung
kiri dan ujung kanan perahu. Udara dingin menyentuh kulit, menyadarkan kami
kalau hari memang sudah malam. Motor dihidupkan. Perahu kecil kami berangkat.
Menantang lautan luas Sulawesi.
Aku
tak akan pernah lupa. Tak akan mungkin lupa.
Setelah
sekian puluh menit yang tak sempat kuhitung kami mengarungi lautan luas, motor
perahu terhenti. Tapi kami sudah berada di tengah-tengah laut, terapung-apung
sempurna. Kepanikan sempat menyelimuti beberapa teman kami. Meski bukan aku,
karena aku memilih menutup mata dan berdoa. Pasrah sempurna. Entah bagaimana
caranya kami bisa kembali ke pelabuhan, atau meneruskan perjalanan menuju pulau
bernama Gangga itu. Motor perahu belum juga bisa hidup. Sungguh, sebuah
gangguan tak terduga. Aku membuka mata, saling melihat dengan beberapa
teman-temanku.
Lalu
aku tersenyum, lambang kepasrahan yang sempurna. Bukan pada manusia, bukan pada
keadaan. Tapi pada tangan Yang Maha Kuasa. Nyawaku ada di dalam sana, aku sadar
sepenuhnya.
Kami
masih terombang-ambing, terapung-apung di tengah laut Sulawesi. Belum ada
perahu lain yang muncul untuk menjadi harapan pertolongan kami. Sinyal ponsel
juga lenyap sama sekali. Entah bagaimana caranya untuk pulang, atau pergi. Kami
hanya bisa menunggu, berharap cuaca tidak berubah jadi buruk atau berhujan
karena perahu kami adalah seb7ah perahu tanpa atap. Berharap tidak ada badai
yang sanggup membuat perahu kami tidak hanya terapung-apung di tengah lautan,
tapi juga sanggup menjungkar-balikkannya. Akhirnya semua kami menyatu dalam
diam, tenang, pasrah. Kedua bapak baik hati masih terus mencoba memperhatikan mesin
motor perahu. Tapi salah satunya sudah mengajak untuk siap-siap mendayung. Aku
tertegun, tapi mendayung dengan apa? Dayungnya juga hanya ada dua tiga buah.
Itu juga bukan dayung, itu hanya papan kayu yang mungkin bisa dialih-fungsikan
sebagai dayung. Beberapa teman laki-laki berdiskusi, aku menarik diri.
Aku
mengangkat kepalaku, melihat langit gelap yang terang karena titik-titik
bintang. Menikmati keajaiban, keindahan alami dari alam kepunyaan Tuhan, di
tengah kondisi tak menjamin keselamatan, di tengah laut Sulawesi. Mencoba
meresapi ketenangan dan keteduhan langit yang terbentang luas di atas kepalaku,
mencoba larut dalam keluar-biasaannya. Aku ingat ketika Petrus dan
kawan-kawannya, murid-murid Yesus, terombang-ambing di dalam perahu, di tengah
lautan, sama seperti kami saat itu. Hanya saja, mungkin mereka jauh lebih panik
dan takut, karena mengalami badai yang mengamuk.
Di
tengah lautan, terapung-apung. Lautan luas yang biru gelap di awal malam. Yang
kedalamannya tak bisa disepelekan. Lautan yang benar-benar lautan tempat nyawa
kami dipertaruhkan. Saat itu. Tiba-tiba, sebuah lagu bersenandung di dalam
hatiku, kemudian.
You call me out upon the waters
The great unknown where feet may fail
And there I find You in the mystery
In oceans deep
My faith will stand
And I will call upon Your name
And keep my eyes above the waves
When oceans rise
My soul will rest in Your embrace
For I am Yours and You are mine
Your grace abounds in deepest waters
Your sovereign hand
Will be my guide
Where feet may fail and fear surrounds me
You've never failed and You won't start
now
So I will call upon Your name
And keep my eyes above the waves
When oceans rise
My soul will rest in Your embrace
For I am Yours and You are mine
Spirit lead me where my trust is without
borders
Let me walk upon the waters
Wherever You would call me
Take me deeper than my feet could ever
wander
And my faith will be made stronger
In the presence of my Savior
I will call upon Your name
Keep my eyes above the waves
My soul will rest in Your embrace
I am Yours and You are mine
(Hillsong, 2013, Zion Accoustic Album,
Ocean/Where Feet May Fail)
Aku
menutup mataku lagi, dan menyanyikan lagu ini, di tengah lautan. Sebuah lagu
yang begitu mengena tentang iman, karena juga berjudul "ocean"
(lautan). Sayup-sayup. Dengan suara yang tertelan bunyi deru ombak malam.
Dengan gumaman yang menghanyutkan setiap bagian liriknya di dalam hatiku,
menyesapinya sampai ke kedalaman.
In oceans deep, my faith will stand.
Sungguh,
ini bagian terbaik dari perjalananku. Menikmati Tuhan di tengah lautan dengan
sebuah lagu berlirik menyentuh hati. Memasrahkan diri. Bukan dalam ketiadaan
iman, tapi justru dalam perjuangan menyempurnakan iman. Kemudian, badai-badai
kehidupan di dalam lembar ceritaku mulai kuingat, satu-persatu. Masalah-masalah
yang juga terlihat seperti lautan yang dalam, yang menenggelamkan kemampuanku sebagai
manusia biasa. Tapi, aku pasti bisa melaluinya. Malam ini, di tengah lautan
beratapkan langit teduh berbintang, aku mendeklarasikan imanku di setiap kata
dari lagu yang kunyanyikan di dalam hati.
And I will call upon Your name
And keep my eyes above the waves
When oceans rise
My soul will rest in Your embrace
For I am Yours, and You are mine
Setelah
berpuluh menit terombang-ambing tanpa kejelasan di tengah lautan luas Sulawesi,
akhirnya pertolongan datang. Yang Terkasih masih terus memperhatikan kami.
Sebuah perahu taxi, yang lebih besar dari perahu kami, yang memang bertugas
berpatroli, akhirnya menarik perahu kecil kami kembali menuju pelabuhan.
Perasaan lega membanjiri semua hati. Bersyukur karena doa-doa kami dalam kepanikan
dan kepasrahan telah dijawab, pada akhirnya.
Aku
tersenyum. Setelah melihat pelabuhan samar-samar dari kejauhan. Aku sungguh
tidak menyesali kejadian tadi. Aku justru mensyukurinya, sambil mengagumi
betapa Tuhan yang kukenal dan kukasihi itu, sungguh luar biasa. Pengalaman yang
tak akan pernah kulupakan sampai detik terakhir hidupku. Sebuah cerita bersama
Tuhan di tengah lautan luas, di malam yang gelap, di dalam sebuah perahu kecil
yang tak bisa jalan. Aku tahu Dia sedang mengajariku lagi mengenai sebuah
pelajaran iman.
Faith that will stand, in oceans deep.
p.s.
:
Sekitar
dua jam lebih kemudian, kami akhirnya tiba di pulau kecil di atas Pulau
Sulawesi itu. sebuah pulau yang teduh dan tenang dikawal malam. Setelah mesin
motor diperbaiki. Setelah semangkuk indomie. Setelah doa-doa yang meluap dari
setiap hati. Setelah menantang untuk mengarungi lautan luas itu lagi. Dan pulau
itu, sangat indah dan kaya untuk wisata. Alami, anggun. Langitnya biru, lautnya
biru. Sebuah hadiah yang membuatku semakin mengagumi Yang Maha Kuasa.
No comments: